Merespon maraknya isu kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menginisiasi sebuah FGD bertujuan menyediakan ruang diskusi dan menyatukan persepsi dalam upaya penanggulangan kekerasan. Berikut petikan wawancara Majalah Risalah NU dengan Ketua PBNU, Hj Alissa Qotrunnada Wahid (Mbak Alissa) di Kantor GKMNU, Jakarta Pusat pada Jumat 27 September 2024.
Nyuwon sewu Mbak, bagaimana tanggapannya terkait maraknya kasus kekerasan dan kekerasan seksual yang terjadi, baik di ranah pendidikan umum dan Pesantren?
Iya, kita semua pasti resah dengan banyaknya kasus yang bermunculan secara umum di Indonesia, karena angka kekerasan seksual meningkat drastis, intensitas, dan modus operandinya juga semakin mengerikan.
Tetapi, tentu kalau kita di NU itu kita pasti akan lebih merasakan keresahan yang berlipat ganda, ketika itu terjadi di lingkungan NU seperti Pondok Pesantren, masyarakat NU, dan komunitas NU. Ini sesuatu yang jelas harus membuat kita resah. Kalau kita tidak resah, berarti kita punya problem.
Karena ini sifatnya sudah sistemik, artinya tidak hanya ada satu penyebab saja, kekerasan seksual juga ditopang oleh banyak situasi. Kita tidak bisa kemudian menyalahkan ini karena internet. Sudah tidak ada lagi ruang untuk mengatakan penyebabnya hanya satu hal. Bahkan, ketika terjadi di pesantren, kita tidak bisa menyebut persoalannya hanya disebabkan oleh satu hal saja.
Ada banyak sekali faktornya dan semuanya sudah sangat berkelindan satu sama lain. Misalnya, cara pandang misoginis itu membuat relasi kuasa antara katakanlah dosen dengan mahasiswa, guru dengan murid, atasan ke bawahan, suami kepada istri. Itu menguatkan relasi kuasa yang akhirnya membentuk cara pandang ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai.
Kita tahu di masyarakat kita itu perempuan ‘diharuskan’ lebih lemah sehingga mereka tumbuh menjadi individu yang tidak mampu menolak dan tidak mampu untuk memperjuangkan dirinya sendiri.
Apalagi berkembang juga penafsiran ayat الرِّجَالُ قَوَّمُونَ عَلٰى النِّسَاءِ bahwa laki-laki sebagai pemimpin perempuan seluruhnya. Arti pemimpin juga dimaknai sebagai penguasa yang membuat seorang perempuan, terlebih istri kepada suami harus mutlak patuh 100% taat tanpa syarat. Ini menimbulkan pandangan saya berkuasa atas kamu.
Faktor lainnya adalah kegagalan sistem pendidikan kita. Pada kenyataannya kita dilatih dengan ilmu-ilmu yang membuat kita siap menjadi karyawan, bahkan menjadi entrepreneur saja tidak. Kita tidak disiapkan untuk bertumpu pada dirinya sendiri, mengelola dirinya sendiri, kita diajarkan untuk punya keterampilan yang bisa dijual ke perusahaan atau pemerintah.
Sehingga, pendidikan kita itu membuat kita mendapatkan keahliannya tapi tidak dengan pengembangan dirinya. Dampaknya, kemampuan kita untuk mengambil keputusan dan berbagai jenis life skill itu tidak ada karena tidak terlatih.
Ketika ini terjadi pada perempuan, dia tidak bisa menolak ketika orang lain mengambilkan keputusan untuk dia. Contohnya, santri perempuan dipaksa oleh santri perempuan senior yang realitanya lebih banyak terjadi dibandingkan santri laki-laki dengan seniornya. Jadi, kemampuan untuk mengelola diri sendirinya berkurang. Selain ini, masih banyak faktor lainnya yang menyebabkan kekerasan seksual.
Apakah peran konselor bisa menjadi salah satu pintu solusi dalam upaya pencegahan kekerasan di pesantren?
Menurut saya iya. Saat ini, pendampingan sangat penting. Pendampingan tentu yang paling baik dilakukan oleh konselor karena mereka diberi keterampilan untuk mendampingi seseorang. Sementara kalau pendampingan pihak lain yang bukan konselor, sebetulnya ini hanya kehadiran saja yang diberikan supaya orang tidak merasa sendiri, terutama untuk korban.
Konselor perannya juga bisa mencegah terjadinya kekerasan oleh pelaku ketika anak didampingi dan telah mengeluarkan semua kegelisahannya kemudian dibantu untuk mengelola dirinya, niatnya bisa diurungkan.
Sosok seperti apa yang dibutuhkan sebagai seorang konselor?
Harus yang well trained, artinya, untuk profesional yang memang berasal dari jurusan bimbingan konseling atau psikologi. Orang NU banyak sekali yang berada pada ranah ini, hanya, selama ini belum secara maksimal diminta untuk turut andil membantu.
Menurut saya, pesantren yang besar-besar dengan santri ribuan perlu juga untuk mengajak warga NU di sekitarnya yang latar belakangnya psikologi untuk bisa berkhidmah dan memberikan pendampingan. Moga-moga nanti melalui GKMNU bisa ada layanan konsultasi yang difasilitasi oleh konselor atau psikolog profesional.
Tapi lain halnya dengan korban kekerasan di pesantren yang tidak cukup hanya didampingi hanya dari dalam pihak pesantren saja. Supaya pendampingannya tidak bias, perlu ada pihak lain yang memahami kultur pesantren, berasal dari lingkungan NU juga dan memang memiliki keterampilan profesional untuk konseling.
Saya juga berharap ketika ada kekerasan di pesantren, jangan ditutup-tutupi atau denial dan berusaha ditangani sendiri karena akan kurang efektif dan lebih baik meminta bantuan. Jangan menganggap ini hanya kasus, tapi tentu ada skala tertentu yang mengharuskan adanya perubahan dalam sistem tertentu di pesantren.
Media harus seperti apa dalam memberitakan kekerasan di pesantren?
Saya berharap media lebih tidak ugal-ugalan ketika mengekspos sebuah kasus. Artinya, media perlu memahami betul dunia pesantren seperti apa, sehingga pemberitaannya lebih komprehensif. Itu satu.
Kemudian yang kedua, jelas perspektif korban penting sekali diangkat termasuk tidak mengekspos data korban, detail perlakuan yang dialami oleh korban. Ini bisa menormalisasi dan menyebabkan desensitisasi (menurunnya sensitivitas terhadap sebuah peristiwa kekerasan).
Kemudian, media jangan mementingkan sensasi saja dalam pemberitaan sampai melupakan muatan edukasi untuk masyarakat. Saya berharap media mengambil porsi untuk pendidikan kepada masyarakat, bukan hanya mencari sensasi.
Apa yang harus dilakukan jika seseorang menjadi korban kekerasan seksual?
Pertama, kita perlu mencari orang yang bisa dipercaya. Sebagian besar korban, apalagi untuk kekerasan seksual, itu traumanya berat. Proses menerima bahwa dia mengalami kekerasan seksual itu butuh waktu yang lama. Proses mentalnya yang pertama pasti menolak dan tahap keduanya adalah menyalahkan. Proses memendam itu yang membuat korban biasanya tidak bisa langsung melapor dan terlambat untuk melakukan visum.
Semua dari kita berpotensi sebagai korban. Kalau hal terburuk terjadi, kita harus mencari orang yang dipercaya dan ceritakan. Pindahkan proses memikirkan harus melakukan apa dan tindakan apa yang harus ditempuh ke orang yang dipercaya.
Agar dalam kasus ini kita tidak bergerak atas diri kita tetapi meminta bantuan orang lain. Karena jadi korban itu benar-benar traumatis, terlebih kalau diminta untuk terus menceritakan berulang kejadian yang mungkin menjadi mimpi buruk. Bantuan dari orang lain diperlukan supaya korban bisa fokus menyelesaikan traumanya.
(Ekalavya/Annisa).