Kekerasan terhadap santri di lingkungan pondok pesantren masih kerap terjadi. Lalu bagaimana RMI PBNU melakukan pencegahan dan menyelesaikan masalah tersebut? berikut petikan wawancara Majalah Risalah NU dengan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH. Hodri Ariev di Jakarta, Senin 23 September 2024.
Sampai saat ini, perundungan di lingkungan Pesantren masih marak, bagaimana RMI PBNU menyikapi hal ini?
Iya, sebetulnya kita susah untuk memastikan semuanya selesai, semuanya berakhir, itu (perundungan) terjadi karena banyak faktor, salah satunya faktor human nature (watak manusia) artinya bahwa para kiai, para ustaz itu pada hakikatnya sama dengan yang lain. Kita menjadi sangat prihatin, karena lembaga pendidikan tidak hanya pesantren, dan lembaga pendidikan mestinya menjadi role model akhlakul karimah.
Nah, ketika ada perilaku yang menyimpang dari akhlakul karimah, maka itu menjadi sesuatu yang sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan. Kita berharap bahwa semuanya bisa selesai dan bisa berakhir.
Kita (RMI PBNU) sudah melakukan beberapa langkah proses untuk menuju pencegahan, semua ini terjadi dan menyelesaikan atau menangani yang sudah terlanjur terjadi. Bahwa pesan Ketum PBNU (Gus Yahya) sangat jelas hentikan semua kekerasan, semua bentuk kekerasan yang terjadi di pesantren dan siapa pun pelakunya.
Jadi, siapapun yang melakukan itu, kita tidak akan memberi toleransi, karena kekerasan-kekerasan dalam bentuk apa pun itu mestinya tidak boleh terjadi di dunia pendidikan.
Apakah PBNU sudah membentuk satgas anti kekerasan di Pesantren?
Sudah. jadi, PBNU melalui RMI, Lakpesdam, LKKNU dan beberapa Banom di instruksikan oleh ketum untuk membentuk satgas anti kekerasan di pesantren dan nanti kerjanya ini berada di bawah koordinasi GKMNU.
Kita sudah melakukan beberapa pertemuan untuk merumuskan program kesana (satgas), di antaranya, kita ketemu dengan opinion leaders, ya para kiai sepuh di beberapa pesantren untuk mendapatkan nasihat dari beliau, apa yang harus kita lakukan terkait semua ini. Kita sudah memulai sowan Kiai Mustofa Bisri minta izin beliau untuk musyawarah dengan Majma’ al-Buhuts an-Nahdliyah di Rembang.
Dan kemarin di Solo, kita sudah musyawarah tentang Satgas yaitu hari Jumat tanggal 22 September kemarin, kita musyawarah dengan Mbak Alissa dengan Kiai Mu’at dengan Gus Adib dengan teman-teman para kiai para gus dari Majma’ al-Buhuts an-Nahdliyah.
Karena ini sebetulnya ini musibah bagi dunia pendidikan, musibah bagi pesantren. Kita tidak melihat kasus ini kecil walaupun dibandingkan jumlah pesantren sangat banyak, ini jumlahnya tidak sampai satu persen tetapi masalah ini merupakan masalah serius yang harus kita selesaikan.
Jadi model kerjanya, Satgas anti kekerasan ini berada di bawah koordinasi GKMNU?
Iya, di bawah koordinasi GKMNU (Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama), mengapa demikian? alasan pentingnya karena GKMNU itu memiliki jenjang matarantai terstruktur yang sampai ke tingkat desa. Makanya satgas anti kekerasan ini bersama dengan GKMNU untuk menyelesaikan masalah ini.
Ada 2 program utama yang nanti akan kita kerjakan, yang pertama pencegahan, yang kedua penanganan atau penyelesaian kasus.
Yang pencegahan disitu kita akan melibatkan kiai-kiai sepuh (pengasuh pondok) meminta saran beliau, bagaimana semua ini tidak terulang apa yang harus kita lakukan. Sedangkan pencegahan di situ tentu kita akan melibatkan para psikolog para psikiater, kemudian para lawyer di lingkungan NU untuk membantu menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dan melakukan pendampingan pada korban.
Tapi satgas anti kekerasan ini sudah jalan?
Sudah, Kalau penanganan kasus sih sebetulnya kita tidak akan menunggu sampai satgas ini terbentuk rapi, kita terus bergerak untuk membantu dan mencegah kasus-kasus itu berkurang. Karena satgas ini direncanakan untuk program jangka panjang mencegah semua ini tidak terus berulang, karena sebetulnya kita susah memprediksi, karena kasus-kasus seperti itu bisa terjadi di mana pun dilakukan oleh siapa pun dan korbannya selalu satu.
Hal yang urgent seruan untuk mencegah perundungan?
Pencegahan terus kita lakukan melalui sosialisasi melalui pertama seruan moral oleh para kiai sepuh kepada para pengasuh pesantren untuk lebih serius memperhatikan para santri mendidik para santri dan mencegah semua ini terjadi.
Karena dalam analisa kami ditemukan bahwa misalnya kekerasan fisik itu dilakukan di antara para santri kemudian santri senior terhadap juniornya itu yang paling banyak melakukan kekerasan fisik, dan sangat sedikit dilakukan oleh para ustaz atau apalagi kiai.
Kita akan melakukan pendampingan-pendampingan, melakukan sosialisasi berkala tidak hanya pada kasus yang sudah terjadi tapi mungkin rencananya kami akan berkunjung pertama ketemu dengan kiai sepuh kemudian yang kedua ketemu dengan para ustaz dan pengurus pesantren yang ketiga ketemu dengan para santri secara umum.
Artinya sosialisasi bahayanya buliying itu akan terus disosialisasikan terus dan akan kita lakukan karena kita tahu setiap tahun selalu ada santri baru masuk dan ini tidak akan nyaris, tidak akan pernah selesai kecuali kalau kita sudah bisa membentuk satgas.
Kita berkomitmen untuk mencegah kekerasan semua ini tidak berulang ulang dan menyelesaikan yang sudah terlanjur terjadi. Jadi pesan ketum itu tadi sudah jelas, hentikan semua bentuk kekerasan dan saya tidak peduli siapa pun pelakunya.
Sampai hari ini, data pesantren yang sudah pernah ada kekerasan berapa jumlahnya?
Kalau jumlah keseluruhan pesantren yang sudah pernah melakukan kekerasan nggak banyak jumlahnya, ya kisaran puluhan, nggak sampai ratusan. Meskidemikian, satgas anti kekerasan ini terus berjalan dan mencegah sampai tidak ada lagi yang namanya kekerasan (bully) di lingkungan pondok pesantren.
Jadi, kekerasan itukan macam-macam, ada kekerasan verbal itu tadi yang paling tinggi angkanya, sementara kekerasan fisik jumlah dibawahnya yang dilakukan antar santri, santri senior pada junior itu paling tinggi angkanya, kemudian dilakukan ustaz atau kiai itu jumlahnya lebih sedikit.
Jadi, dari semua kekerasan yang terjadi itu yang paling banyak itu kekerasan fisik sesudah itu kekerasan verbal kemudian ada kekerasan seksual itu jumlahnya paling bawah, tapi kita tidak melihat secara kuantitatif bagaimanapun itu adalah sebuah kesalahan sebuah kekerasan. Meski jumlahnya sedikit tetapi kita tetap tidak bisa menganggap remeh kasus ini, bagaimanapun ini musibah.
Kaitannya dengan hari santri, adakah program anti kekerasan dan apa harapannya?
Tidak secara spesifik dalam rangkaian kegiatan hari santri, karena kita menghadapi masalah ini bukan karena hari santri itu, tapi akan kita hadapi terus ada atau tidak ada hari santri ini tetap menjadi program yang harus kita kita laksanakan. Kita harus hentikan kekerasan ini. Artinya kami tidak memposisikan usaha menyelesaikan mencegah dan menyelesaikan kasus kekerasan ini tidak dalam konteks hari santri.
Kami dari RMI berharap bahwa dengan peringatan hari santri ini kita mesti kembali pada jati diri akhlakul karimah para santri, jadi jejak santri ini kan pengikut para kiai, jejak dulu para kiai sudah mencontohkan akhlakul karimah, tidak hanya untuk dirinya, tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk bangsa dan negara.
Nah, akhlakul karimah itu yang menurut saya perlu direkontekstualisasi diaktualisasi tidak hanya menjadi wacana tetapi kita saling mengingatkan, jangan sampai hal-hal buruk terjadi di lingkungan pesantren, dengan kembali pada akhlakul karimah, maka jati diri para santri saya yakin kalau dengan saling mengingatkan, saling menjaga, kekerasan-kekerasan ini Insyaallah bisa kita hadapi dan bisa kita akhiri, kembali pada jati diri kita sebagai santri. (Huda Sabily)