Soroti Kasus Kekerasan Seksual di Jepara, Ketum IPPNU: Penting Edukasi Sejak Dini dan Kolaborasi Lintas Sektor

0

RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Menanggapi kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) dengan tersangka berinisial S (21), Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU), Whasfi Velasufah menyampaikan keprihatinannya terhadap korban dan menekankan pentingnya pendampingan serta dorongan agar korban berani bersuara. “Kesadaran untuk speak up sangat penting. Banyak korban merasa malu. Kita harus mendampingi dan memberikan advokasi,” tegas Vela, Senin (5/5/2025).

Menurutnya perempuan yang masih pada usia pelajar itu sangat rentan menjadi korban. Ia pun menekankan pentingnya edukasi sejak dini, termasuk mengenalkan batasan fisik dan bahaya kekerasan seksual yang kerap kali dimulai dari hal-hal yang tampak sepele.

“Anak-anak butuh banyak edukasi soal rambu-rambu kekerasan, bahkan dari hal kecil seperti sentuhan yang tidak pantas. Ini bisa dimasukkan dalam kurikulum atau masa orientasi di sekolah,” ungkapnya.

Vela mengingatkan pentingnya literasi digital untuk mencegah eksploitasi seksual yang bermula dari interaksi daring.

“Teknologi itu punya sisi positif dan negatif. Banyak orang belum paham bahayanya. Contoh kasus di Jepara, foto korban ditemukan di ponsel karena diminta pelaku yang dikenalnya lewat aplikasi pesan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan agar generasi muda lebih berhati-hati dalam menyimpan data pribadi seperti foto di ponsel, serta lebih selektif dalam berinteraksi di dunia maya.

“Kadang kita terjebak oleh tampilan digital. Orang bisa terlihat sangat baik atau saleh lewat filter, padahal kenyataannya tidak demikian. Pendekatan yang dimulai dari situ bisa berujung pada kekerasan,” ujarnya.

Terkait upaya IPPNU dalam menangani isu kekerasan seksual, Whasfi menyebut pihaknya tengah merumuskan satuan tugas khusus. Meski belum diluncurkan secara resmi, IPPNU telah bekerja sama dengan lembaga lain, termasuk dalam program edukasi, konseling, dan ruang aman bagi pelajar putri.

“Kami punya rencana membentuk Satgas khusus. Dulu pernah ada program ‘Ruang Aman’ untuk pelajar putri, bahkan menyediakan layanan konseling dengan tenaga alumni dari latar belakang psikologi dan pendidikan,” jelasnya.

Ia berharap pemerintah dan organisasi masyarakat dapat berkolaborasi lebih erat. “Karena orang tua tidak selalu bisa menjadi tempat curhat yang nyaman bagi anak. Perlu kerja sama dengan OSIS, guru, dan komunitas sebaya agar pelajar memiliki ruang aman untuk berbicara,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengkritisi kurangnya sinergi dalam penanganan kekerasan seksual di tingkat kebijakan. Menurutnya implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum optimal. Selain itu, kerja lembaga-lembaga negara terkait masih berjalan sendiri-sendiri dan belum didukung regulasi turunan yang kuat.

“(Masih) jalan sendiri-sendiri aja. Kita berharap juga lewat situ bisa menyatukan dari berbagai macam aspek kerja lembaga dan juga keluarga,” pungkasnya

(Anisa).

Leave A Reply

Your email address will not be published.