Pembatasan Acara Keagamaan di Kalimantan

0

Dalam majalah Berita NU (NO) edisi 20 Rajab tahun 1357H atau 15 September 1938M menurunkan berita tentang pembatasan peringatan keagamaan yang dalami masyarakat muslim Kalimantan (Selatan dan Timur). Berikut berita yang disadur dari majalah yang diterbitkan PBNU tersebut. (Red)

Berhubung dengan halnya Tuan Mufti Kandangan menyiarkan maklumat kepada Muslimin Kandangan, dalam mana diterangkan bahwa barangsiapa akan mengadakan kumpulan membaca hadits Mi’raj, Maulud musti minta permisi dulu kepada Tuan Kiai (Wedono) hal mana amat merintangi Muslimin daripada menjalankan upacara agamanya, dan terasa amat berat oleh umat Islam.

Maka pada hari Minggu 27/9-1936 Komite Pertahanan Islam di Kandangan, telah melangsungkan protest meeting, yang dikunjungi oleh kurang lebih 1.000 kaum Muslimin, wakil Pemerintah, wakıl-wakil Perhimpunan, ulama-ulama Islam, dan wakil Pers.

Dalam rapat itu telah diterima baik mosi berikut ini: MOTIE COMITE PERTAHANAN ISLAM KANDANGAN. Rapat umum terbuka Komite Per tahanan Islam Kandangan bertempat di gedung Musyawaratut Thalibin cabang Kandangan pada hari Ahad tanggal 27 September 1936, mulai jam 09 pagi sampai diam 11.30, dihadiri oleh kurang lebih 1.000 rakyat umum Muslimin dan utusan Jam’iyah Asshirathal Mustaqim Negara yang membawa suara 1.200 anggota, serta hadir juga beberapa ulama-ulama, wakil-wakil perkumpulan, C. S. I., Wasah Ulu, CB AI Ç. M. Negara, P. T. B. Negara, S. M., Awak, S. Wirawan, S. T. B, M. Th., NU Kandangan, kring M. Th. Hangkakai dan P. I. 1. Martapura. Wakil Pers: dagblad (koran) Soeara Kalimantan, Perintis, Pasupati dan dagblad (koran) Tempo Soerabaya.

Wakil Pemerintah: H. PB, Districts- hoofd, Inspecteur van Politie dan Manteri Politie; sedang penjagaan Polisi lengkap.

MEMPERHATIKAN: a. Bahwa surat siaran tuan Mufti Kandangan, keseluruh kampung-kampung yang menyatakan tiap-tiap orang mau mengadakan pembacaan Hadits Mi’raj di luar tanggal 27 Rajab musti minta permisi lebih dahulu kepada Kiai, yang mana hal ini adalah menggemparkan dan mengecewakan hati sebagian besar umat Muslimin disini.

b. Menurut keterangan Tuan Ahmad Abbas sebagai wakil Pers, dan Tuan M. Arsyad sebagai guru sekolah Islam yang sudah berurusan dengan Tuan Controleur (pengawas) Kandangan, adalah siaran perintah itu tidak sah (tidak diakui) oleh Pemerintah. Hanya menurut pengakuan Tuan Mufti sendiri bahwa dengan siaran itu dimaksud kan akan menasehati orang-orang supaya kalau mau mengadakan pembacaan Mi’raj dengan mengumpulkan orang banyak, sebaik-baiknya memberi tahukan menurut adat serta akan diatur menjadikan adat, juga dalam perayaan Maulud.

c. Kemudian ada surat siaran Tuan Kiai menyusul yang menyatakan bahwa dalam hal itu tidak usah minta permisi lagi, hanya cukuplah kalau memberi tahu saja kepada Pembekal menurut adat kebiasaan, siaran mana bisa difahamkan oleh orang yang tidak mengerti sebagai suatu kemestian.

d. Bahwa kejadian di Negara yang mesti berlaku atas perintah Kiai, orang-orang yang mau membaca hadits disuruh minta permisi kepada Pembekal dan Kiai, adalah juga mengecewakan umat Muslimin umumnya.

MENDENGAR. a. Segala pembicaraan, bahwa tentang membaca Hadits Mi’raj (atau lainnya se perti Maulud, Al-Quran dan lain-lain) sebagai yang telah biasa dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengumpulkan orang banyak, adalah memang hak Islam sebagian daripada ibadah. Demikianpun tentang penyiaran agama adalah suatu suruhan dalam Islam.

b Bahwa hak bersidang dan berkumpul yang diatur oleh Pemerintah, tidaklah sekali-kali berhubungan dengan urusan pekerjaan keagamaan tersebut. Serta mengingat pula tentang kemerdekaan seseorang dalam mengerjakan agamanya. MENIMBANG. a. Bahwa siaran perintah Tuan Mufti tersebut yang meskipun sudah tidak dianggap lagi menjadikan gemparnya penduduk serta peraturan yang masih berlaku di Negara sekarang itu, adalah menyusahkan umat Muslimin dalam mengerjakan hak keagamaan, lagi pula adalah sebagai menyempitkan hak berkumpul bagi kaum muslimin dalam mengerjakan urusan agamanya.

b. Bahwa di daerah Kandangan, atau Residentie Kalimantan Selatan dan Timur umumnja tidak ada adat (hukum adat) yang diakui oleh pemerintah seperti ditempat lain, sebagai jadi aturan yang kuat. c. Dalam pekerjaan keagamaan seperti tersebut, tidak ada kemestian atau keharusan sebagai adat kebiasaan yang umum, memberi tahu kepada Kiai atau Pembekal, jauh pula meminta izin. MEMUTUSKAN, 1. Atas nama kaum Muslimin yang hadir di rapat ini dan atas nama 1.200 anggota Al-Shirathal Mustaqim Negara serta umat Islam umumnya, memohon kepada yang berwajib supaya seperti yang telah terjadi dilakukan oleh Tuan Mufti Kandangan dan Kiai Negara tersebut tidak ada lagi, dan tidak akan terjadi seterusnya.

2. Minta hak bersidang dan berkumpul serta hak kemerdekaan agama yang ditetapkan oleh pemerintah itu dijalankan sebagaimana mestinya, tidak diberi arti yang lain.

3. Menolak sedapat-dapatnya adat atau yang didjadikan adat kebiasaan dalam perkara keagamaan seperti dimestikan atau harus memberi tahu ketika berkumpul membaca Al-Quran, Hadits, Mauloed, Diba’, kitab dan lain-lain.

4. Menyampaikan mosi ini kepada: 1 Adviseur voor Moehammadaansche Zaken (penasehat urusan keislaman) Batavia Centrum, 2 Resident Selatan dan Timur Kalimantan di Bandjarmasin, 3 Assistent Resident Hulu Sungai di Kandangan, dan 4 Hoofd van Plaatselijk Bestuur (kepala pemerintahan daerah) Kandangan Rantau di Kandangan.

Atas nama Comite Pertahanan Islam Kandangan. Ketua H. Gusti Abdoerrachman S M dan Penuylis Djapri Zz. Kandangan, 27 Sepsember 1936.

Sekianlah mosi itu. Nahdlatul Ulama dengan 300.000 anggotanya mendukung sekuatnya akan maksud diatas, sungguhpun Komite sebagai itu wajib (fardlu kifayah) didirıkan didalam sesuatu tempat di Indonesia sini, karena banyak sekali hal-hal yang meminta tenaga pertahanan, komite-komite pembela Islam seumpama itu perlu dipelajari sebab-sebabnya tidak subur, padahal mestinya subur, mengingat hajatnya agama dan umat Islam pada tenaga pertahanan, boleh jadi ketiadaan subur itu disebabkan oleh karena pengurus dan anggotanya terdiri dari orang-orang partai, sehingga dengan atau tidak dengan sengaja komite itu makin ke arah partai pengendalinya, barang mustilah partai-partai atau perhimpunan-perhimpunan yang tak menyetujui partai yang pengendali komite itu semakin menjauhkan diri, bahkan yang tak baik persangkaannya, menyangka bahwa komite itu sekadar buat menjadi perkakas saja; sudah tentu persangkaan sebagai ini tak patut ditujukan kepada Pembela Agama Allah, akan tetapi apa daya, tabiat manusia sukar diubah. Kerana itu maka menurut fikiran kami yang picik ini, Komite Pembelaan itu harus dikendalikan oleh orang-orang yang tidak berpartai, dan tidak usah ber-lid (anggota), akan tetapi seantero perhimpunan Islam yang bagaimanapun bentuk dan coraknya wajib memberikan pandangannya dalam arti yang luas dan berdiri di belakangnya. Sekianlah pokok-pokoknya sudah tentu harus diheningkan dan ditafsil lebih landjut pula. Kata Al-Atsar: “Tidak ada satu golongan meninggalkan pertahanannya melainkan menjadi hina”. (MH)

Leave A Reply

Your email address will not be published.