KH. Ulil Abshar Abdalla:
Masyarakat modern cenderung memilih kondisi nyaman dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam beragama. Padahal, dalam beragama tidak bisa terus menerus dalam kondisi nyaman. Untuk menjadi hamba yang punya kedudukan tinggi dihadapan Allah Swt, maka sesekali dalam perjalanan hidup seorang muslim pasti mengalami ketidaknyamanan atau inconvenience.
Di dalam agama, ketidaknyamanan itu dinilai oleh Allah Swt., misalnya sakit. Sakit bagi kebanyakan orang adalah kondisi tidak nyaman. Padahal, sakit itu adalah salah satu cara Allah membersihkan dosa kita. Karena itu, Imam Hasan al-Bashri, ulama sufi besar yang hidup pada awal abad kedua hijriah, pernah mengatakan begini:
“Saya tidak kepengin mati dengan nyaman tanpa ada sekarat. Saya kepengin mati dengan sekarat. Kenapa? Karena sekarat ini membantu saya membersihkan dosa-dosa saya.”
Membaca pernyataan Hasan al-Bashri ini, membuat nyali kita langsung ciut. Karena sekarang ini, orang mati pun kepengin mati dengan convenien, dengan nyaman. Sementara, Hasan al-Basri mengatakan, kepingin mati dengan normal, ada sekarat mautnya, ada kesakitannya. Karena kesakitan inilah yang membersihkan dosa.
Jadi di dalam agama itu, sakit ada nilainya. Tapi ini juga bukan berarti kita terus sengaja sakit, kita tetap harus sehat. Namun kalaupun sudah berusaha sehat, kemudian sakit, ini harus dimaknai bahwa sakit itu adalah cara Allah membersihkan dosa-dosa kita.
Karena itu, beragama itu harus ada suasana ketidaknyamanan. Tidak bisa kalau beragama itu nyaman semuanya. Karena kalau nayaman terus, itu sama saja dengan convenience store, supermall, supermarket, kepinginnya enak terus. Seperti nyamannya belanja di mal, yang kondisinya sangat jauh berbeda dengan belanja di pasar tradisional.
Contoh lain adalah saat umrah. Menikmati umrah dengan paket premium boleh. Tapi, sekali-kali umrahlah dengan paket yang biasa, yang ada ketidaknyamanannya. Misalnya, hotel jauh dari Masjidil Haram, sehingga harus jalan kaki untuk shalat jamaah ke Masjidil Haram. Atau, saat di Jedah harus berurusan visa yang dipersulit, mengalami pengecekan yang rigit. Kejadian-kejadian yang menyulitkan, yang membuat tidak nyaman ini, hendaknya dihayati saja sebagai cara Allah membersihkan dosa kita.
Dalam hal ketidaknyamanan saat ibadah ini, kita bisa meneladani Sayidina Abdullah bin Umar, atau lebih dikenal dengan Ibnu Umar. Suatu kali beliau pingin meniru jejak Nabi Muhammad Saw itu sampai harafiah sekali. Dalam kesempatan ibadah haji, beliau naik unta. Saat mengendarai unta tersebut, dari Madinah tidak langsung menuju Mekkah. Namun, Ibnu Umar menelusuri jejak-jejak Nabi Muhammad Saw ketika melaksanakan haji. Dimana Nabi turun, di situ dia turun. Hal demikian menyebabkan susahnya perjalanan, karena waktu tempuh menjadi sangat lama.
Nah, perilaku yang dipraktikkan Ibnu Umar dalam meniru perjalanan Nabi Muhammad Saw tersebut adalah karena dia pingin turut merasakan payahnya Nabi Muhammad saat itu. Karena dengan payah, susah, atau perihnya ibadah itu, justru akan mendapatkan bonus dari Allah Swt.
Untuk lebih memahami praktik inconvenience dalam beragama ini, ada analogi yang mudah. Terdapat dua orang mahasiswa. Seorang diantaranya kuliah dalam keterbatasan, tidak bisa bayar UKT secara rutin, makan harus ngirit, ke kampus jalan kaki. Ala kulli hal, selama kuliah harus bertirakat. Di sisi yang lain, ada seorang mahasiswa datang dari keluarga kaya, kosnya pakai AC, makan tiga kali sehari, ke kampus pakai kendaraan pribadi, pendeknya tidak kekurangan sedikit pun.
Saat kelulusan, kedua mahasiswa tersebut sama-sama meraih cumlaude. Pertanyannya, kira-kira tingkat kepuasannya besaran mana? Pasti mahasiswa yang “kekurangan” tadi persaan puasnya lebih besar. Demikianlah dalam beragama, bersusah-susah beribadah adalah demi menikmati pahala secara lebih.
Diketahui bahwa agama mengajarkan halal haram. Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah. Haram dalam bahasa Arab artinya sesuatu yang dipagari, karena membahayakan. Artinya, jangan sampai orang masuk ke situ, karena ada bahaya di sana. Jadi dapat difahami, orang beragama itu akan meningkat, bukan karena makan barang halal. Karena halal itu adalah segala hal yang tidak haram, dan jumlah barang yang halal itu tak terbatas. Makanan yang ada di muka bumi ini semua halal, asal tidak diharamkan oleh agama, yang haram itu sedikit.
Makanya kita tidak naik level sebagai hamba Allah Swt disebabkan karena makan nasi, buah-buahn, atau minum air putih. Kehambaan kita akan naik kalau dihadapkan dua pilihan, makanan haram dan makanan halal. Makanan haram itu kelihatannya enak sekali, tapi kita bisa menghindari, di situ derajat kehambaan kita dihadapan Allah Swt akan naik.
Kita menghindari sesuatu yang haram itu sakit, tidak nyaman. Memang, dalam beragama itu ada hal-hal yang membuat kita tidak nyaman, dan ini problemnya.
Jadi beragama itu kadang harus ada kesulitannya, ada effortnya. Orang Jawa bilang jer basuki mowo beo, kebahagiaan itu ada harganya, untuk mencapai kesuksesan dibutuhkan pengorbanan.
Pendeknya, jangan berpikiran beragama itu nyaman semuanya. Bila perlu, harus ada kesulitannya. Kesulitan dan ketidaknyamanan itulah yang akan meningkatkan kehambaan kita kepada Allah Swt.
Dalam QS. Al-Ankabut ayat 2 disebutkan:
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?
Dari ayat di atas dapat dipetik pemahaman bahwa jangan sampai mengira setelah kita beriman, kemudian tidak dicoba, tidak diuji oleh Allah Swt. Sehingga, bila kita menghadapi kesulitan, kesakitan, inconvenien, atau menjumpai ketidaknyamanan, bagi orang beriman, justru bonus yang harus dihayati sebagai cara Allah Swt untuk membebaskan dan membersihkan kita dari dosa-dosa.
Syeikh Ibnu Atha’illah dalam kitab al-Hikam, mengajarkan:
ليخفف الم البلاء عنك علمك بانه هو المبلي لك فالذي واجهتك منه اللاقدار هو الذي عودك حسن الاختيار
Agar ujian terasa ringan engkau harus mengetahui bahwa Allahlah yang memberi ujian. Dzat yang menetapkan takdir atasmu adalah Dzat yang selalu memberimu pilihan terbaik.
Ibnu Atha’illah mengajak kita untuk sadar bahwa Allah Swt yang mengetahui kebaikan pada diri kita. Kesadaran ini akan menjadi sebab kebahagiaan, kesenangan, ketawakalan dan kesabaran. Begitupun saat kita mengalami ketidaknyamanan, seperti penyakit, hilangnya harta, atau lainnya, maka hendaknya kita rasakan bahwa itu semua adalah kehendak Allah Swt agar kita bersabar dan berkarakter baik.
Dalam kehidupan pun kita sering menyaksikan bahwa selalu ada orang yang berbuat baik kepada kita, dan boleh jadi sewaktu-waktu bersikap buruk dan berbuat tidak baik kepada kita. Sekalipun demikian, kita tetap harus sabar menghadapi sikap buruknya, karena mungkin saja keburukan sikapnya itu didasari oleh niat baik dari dalam lubuk hatinya.
Demikian pula seorang hamba, jika ia mengetahui bahwa Allah Maha Pemurah, Maha Lembut, Maha Melihat kepadanya, maka setiap ketidaknyamanan berupa petaka dan ujian dijatuhkan kepadanya tidak perlu dipedulikan, karena Allah tidak menghendaki darinya kecuali kebaikan.
Untuk mempertegas penghayatan kita terhadap ketidaknyamanan dalam beragama, coba kita renungkan salah hikmah dalam kitab Al-Hikam, berikut ini:
اَلْفَاقَاتُ بُسُطُ الْمَوَاهِبِ
Ragam ujian merupakan hamparan anugerah.
Syaikh Abdullah asy-Syarqawi memberika syarah, bahwa ragam ujian seumpama hamparan permadani yang dipenuhi karunia dan pemberian Ilahi bagi yg duduk di atasnya. Sebagaimana halnya orang yang duduk di atas permadani raja, ia tentu akan mendapatkan kenikmatan yg diberikan raja kepadanya.
Ujian yang berupa kesulitan membuatmu selalu hadir bersama Tuhanmu dan mendudukkanmu di permadani ketulusan. Pada saat hadir itulah, kau akan diberi karunia Rabbani dan hembusan kasih sayang-Nya.
Dengan demikian kita akan berbaik sangka kepada Allah dan yakin bahwa ketidaknyamanan dalam segala bentuknya adalah pilihan-Nya untuk kita. Kita harus yakin bahwa dalam ujian itu terkandung maslahat tersamar bagi diri kita yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Swt.
Disarikan dari ceramah pengajian KH. Ulil Abshar Abdalla (Zahid).