Yahya bin Muadz berkata: “Al-Wara’ ‘Alâ Wajahaini, Wara’un fî al-Dzâhir, An Lâ Yataharraka Ilâ lillâh, wa Wara’aun fî al-Bâthin wa Huwa an Lâ Yadkhula Qalbaka Illâllâh”.
Artinya: Sikap wira’i itu ada dua, yakni: Wira’i Lahiriah, yaitu seseorang tidak bergerak kecuali karena Allah, dan Wira’i Batiniah, yaitu tidak membiarkan masuk apapun ke dalam hatimu, melainkan Allah s.w.t..
Para pembaca yang budiman mungkin bertanya, mengapa dalam edisi ini, kalimat pembuka tidak diucapkan oleh Ibnu Athâillâh al-Sakandarî, sebagaimana lazimnya pada edisi-edisi sebelumnya? Baik, untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan memberikan uraian singkat menganai sosok Yahya bin Muadz, salah seorang ulama ahlusunnah wal jamaah yang juga tokoh tasawuf awal yang hidup pada abad ke-3 hijriyah.
Nama lengkapnya adalah Abû Zakariyâ Yahyâ bin Mu’âdz bin Ja’far al-Râzî, lahir di Kota Rayy, saat ini Iran dan wafat pada tahun 258 H. Menurut catatan Abu Thâlib al-Makkî dan al-Ghazâlî, Yahya bin Muadz berguru langsung kepada Abu Yazîd al-Busthamî, Ishaq bin Sulaiman al-Râzî, dan Makki bin Ibrahim al-Balkhî.
Dalam spektrum tasawuf, kata wara’ atau wira’i bermakna ketakwaan tingkat tinggi. Ia bermakna sikap seseorang yang tidak hanya menjauhi sesuatu yang haram, namun juga menjauhi sesuatu yang syubhat demi menjaga kesucian hati dan kedekatan dengan Allah s.w.t..
Maka dalam hal ini, al-Qarâfî memberikan definisi mengenai wirai’i dengan: “Tarkun Mâlâ Ba’sa Bihî Hadzaran Mimmâ Bihî al-Ba’su”, Meninggalkan sesuatu yang tidak bermasalah (diperbolehkan), demi kehati-hatian terhadap sesuatu yang mengandung masalah (terlarang).
Senada dengan itu, al-Kafawî juga memberikan definisi mengenai wira’i, yaitu: Al-Wara’ al-Ijtinâbu ‘Anis Syubuhâti, Sawâ’un Kâna Tahshîlan Au Ghaira Tahshîlin. Idz Qad Yaf’alu al-Mar’u Fi’lan Tawarru’an Wa Qad Yatrukuhu Tawarru’an Aidhan. Wa Qad Yusta’malu Bima’nâ al-Taqwâ Wa Huwa al-Kaffu ‘An al-Muharramât al-Qath’iyyah.
Sikap wara‘ atau wira’i adalah menjauhi hal-hal yang syubhat (meragukan), baik dalam bentuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Karena bisa jadi seseorang melakukan suatu perbuatan sebagai bentuk wara‘, dan bisa juga ia meninggalkannya karena wara‘ pula. Istilah ini juga digunakan dalam makna takwa, yaitu menahan diri dari hal-hal yang haram secara pasti.
Berkenaan dengan sifat wira’i ini, ada kisah yang cukup unik bahwa dahulu ada salah seorang wali Allah bersemangat ingin melihat seseorang yang memiliki sifat tersebut. Dengan antusias yang tinggi, ia mencari cara bagaimana bisa berjumpa dengan orang yang memiliki sifat wira’i yang ciri-cirinya sesuai dengan definisi di atas. Ketika menemukan orang yang dimaksud, wali Allah itu mengambil sebagian dari hartanya, lalu memberikannya kepada orang-orang fakir dan miskin.
Ia berkata kepada setiap orang yang diberinya harta tersebut: “Ambillah, ini bukan untukmu”. Mereka pun menerimanya tanpa seorang-pun dari mereka yang menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan yang diharapkannya. Sejauh ini, wali Allah itu belum menemukan seseorang yang di maksud, hingga pada suatu hari, ia menemukan orang yang dicarinya. Setelah memberikan hartanya, ia berkata kepada orang tersebut: “Ambillah, ini bukan untukmu”. Maka orang itu menjawab: “Aku menerimanya, bukan darimu”.
Apabila seorang hamba memiliki hasrat atau keinginan terhadap makhluk, atau telah mendahulukan pandangannya kepada mereka, baik sebelum datangnya rizki maupun sesudahnya, maka hal ini menuntut sikap wira’i. Maksudnya, apabila terbesit dalam hati seorang hamba sebuah harapan sepenuhnya kepada manusia, terutama mengenai rizki, maka itu pertanda bahwa hatinya belum sepenuhnya bergantung kepada Allah.
Dalam ajaran tasawuf, sikap seperti itu perlu diwaspadai, karena sejatinya, semua rizki datangnya dari Allah s.w.t., manusia hanyalah perantara. Konsekuensinya adalah apabila seorang hamba lebih dulu memikirkan atau mengandalkan manusia sebelum memikirkan Allah, itu artinya yang bersangkutan telah mendahulukan makhluk dari-Nya. karena itu, dalam rangka menjaga kebersihan hati, seseorang yang pada fase tertentu mengalami hal itu, dianjurkan untuk bersikap wira’i, agar hatinya kembali terpaut hanya kepada Allah s.w.t..
Sebagian dari adab yang kudu dilakukan seorang hamba adalah dengan tidak memberikan bagian apapun, meskipun kepada dirinya sendiri dari rizki yang ia harapkan dari manusia. Dalam pandangan tasawuf, sikap seperti itu merupakan sebagai hukuman bagi dirinya karena telah condong kepada kepada sesama makhluk dan mengesampingkan pengharapan kepada Allah.
Hal itu senada dengan sebuah kisah yang cukup masyhur, antara Ayub sang pemikul barang dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Kisah serupa juga terjadi di mana hal itu diriwayatkan oleh Syaikh Abu Madyan. Pada suatu ketika pernah datang kepadanya seorang pemikul barang membawa gandum. Seketika terbesit dalam jiwa Abu Madyan untuk menggodanya seraya jiwa itu berkata: “Dari mana ya kira-kira asal barang ini?” Abu Madyan pun menjawab pertanyaan jiwanya itu: “Aku tahu dari mana asalnya, wahai musuh Allah!”.
Kemudian Abu Madyan memerintahkan salah satu muridnya untuk memberikan gandum tersebut kepada sebagian fakir miskin. Hal itu ia lakukan sebagai hukuman atas jiwanya yang telah melihat makhluk sebelum melihat Allah s.w.t.
Dari kisah Abu Madyan tersebut, setidaknya kita bisa memahami bahwa ketika seseorang yang membawa gandum datang kepadanya, tiba-tiba muncul dalam hatinya rasa penasaran dan keraguan tentang dari mana asal gandum itu. sebenarnya, pertanyaan yang dilontarkan oleh hatinya, bukan pertanyaan biasa, namun sebagai indikasi yang menunjukkan bahwa jiwanya mulai memperhatikan sang pembawa gandum, bukan melihat kepada Allah sebagai pemberi rizki.
Abu Madyan, sebagai seorang sufi besar yang sangat menjaga kejernihan hati, segera menyadari bahwa itu adalah bisikan buruk dari hahwa nafsunya. Seketika ia langsung menjawab bisikan hatinya tersebut, bahkan ia menyebut nafsunya itu sebagai “musuh Allah”. Sebagai bentuk Mujâhadah al-Nafsi atau melawan hawa nafsunya, ia tidak mengambil manfaat sedikit pun dari gandum itu, melainkan memberikannya kepada orang-orang fakir sebagai bentuk hukuman terhadap dirinya sendiri.
Para ahli tasawuf pernah berkata, atau dikatakan dalam sebuah kredo-magis bahwa Halal yang paling murni adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak seseorang, dan hal itu (halal) tidak pernah ditanyakan kepada siapapun, baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Menurut Abû Muhammad Abdul Azîz al-Mahdawî, bahwa wira’i adalah tidak adanya hubungan antara diri seseorang dan makhluk dalam hal mengambil, memberi, menerima, ataupun menolak. Hendaknya yang perlu didahui dalam hatimu seorang hamba adalah pandangan kepada Allah s.w.t., yaitu bahwa ia datang kepada-Nya dalam keadaan bersih dari segala sesuatu, baik harta, ilmu, maupun amal.
Di sini kita bisa memahami bahwa rizki yang paling bersih dan yang paling suci pada hakikatnya datang dari Allah secara langsung, tanpa campur tangan keinginan, rencana, dan harapan kepada makhluk. Artinya, rizki itu datang secara murni, tidak dicari-cari, tidak diminta-minta, dan tidak ditopang oleh harapan kepada manusia.
Selanjutnya, pandangan al-Mahdawî sebagaimana disinggung di atas sebenarnya merupakan penegasan bahwa makna wira’i pada hakikatnya adalah bentuk kehati-hatian seorang hamba dalam menjaga hubungannya dengan Allah. Maksudanya adalah bahwa segala bentuk hubungan materi dan niat batin tidak seharusnya terikat kepada manusia.
Seorang hamba yang benar-benar wara’ tidak merasa dirinya berhutang kepada manusia karena telah diberi, atau merasa tinggi karena memberi. Semua interaksi itu ia lihat sebagai bagian dari kehendak dan perintah Allah, bukan karena kekuatan atau jasa makhluk. Karena itulah, seyogyanya, hati seorang hamba selalu mengarah kepada Allah terlebih dahulu, bukan kepada makhluk.
Artinya, seorang hamba yang betul-betul menerapkan sikap wira’i dalam laku lampahnya, tidak akan pernah menggantungkan nilai dirinya kepada apa yang ia miliki, apa yang ia ketahui, ataupun apa yang telah ia lakukan, bahkan dalam hal ibadah. Ia tidak merasa lebih baik karena ilmunya, tidak merasa aman karena amalnya, dan tidak pula merasa berharga karena hartanya.
Ia datang kepada Allah dengan penuh kerendahan hati, mengakui bahwa semua itu hanyalah titipan dan karunia dari-Nya, bukan miliknya sendiri. Wallahu A’lam bis Shawab.
(Transkip sebagian pengajian rutinan Syarah Al Hikam oleh Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar live di TVNU pertemuan Ke-89).