Cahaya dari Serambi Sunyi

0

 

Oleh: Fahmi Idris

(Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Al-Qolam Malang)

 

Di sebuah desa kecil di pinggiran Jawa, berdiri sebuah pesantren tua yang menjadi cahaya bagi masyarakat sekitar. Ahmad, seorang santri sederhana, tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan kesabaran, keikhlasan, dan kecintaan pada ilmu. Sehari-hari, ia akrab dengan kitab-kitab kuning, suara azan, serta nasihat para kiai. Namun, ketenangan itu mulai terguncang.

Dunia luar, melalui gawai dan media sosial, menyusup ke ruang-ruang kecil desa mereka. Berita-berita palsu beredar cepat, menyalakan api kebencian dan kecurigaan di antara warga. Fitnah melahirkan pertengkaran, bahkan persaudaraan yang dulu hangat perlahan retak. Ahmad tidak tinggal diam. Ia teringat sabda Rasulullah SAW: “Cukuplah seseorang disebut pendusta apabila ia menceritakan setiap apa yang ia dengar”. (HR. Muslim).

Hadits itu menghujam hatinya. Baginya, seorang santri bukan hanya belajar membaca teks, tetapi juga menjaga masyarakat agar tidak terseret arus kebohongan. Dari titik itulah, Ahmad bertekad untuk berdiri melawan hoaks yang meracuni negerinya. Hari itu, suasana balai desa mendadak panas. Sebuah kabar beredar di grup WhatsApp warga: katanya pemerintah desa akan menggelapkan dana bantuan, dan nama Pak Lurah langsung jadi bulan-bulanan. Padahal kabar itu tak pernah jelas sumbernya. “Ini buktinya nyata! Lihat tangkapan layarnya!” seru salah satu warga dengan wajah merah padam. Ahmad yang kebetulan hadir hanya bisa menghela napas. Ia tahu, pesan berantai itu palsu. Hanya editan murahan yang sengaja disebarkan oleh pihak tak bertanggung jawab. Namun, sebagian warga sudah terbakar emosi. Fitnah itu nyaris berubah menjadi amarah kolektif.

Dengan tenang, Ahmad berdiri. Suaranya tidak keras, tapi tegas dan cukup jelas untuk menembus riuhnya suasana. “Bapak-bapak, Ibu-ibu. Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita, ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam. (HR. Bukhari-Muslim). Apakah kita ingin menodai iman hanya karena kabar yang belum tentu benar?” Sejenak ruangan hening. Pandangan warga beralih ke Ahmad. Ia lalu mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkan sebuah bukti berita resmi, kemudian membandingkannya dengan kabar yang beredar. Dengan sikap yang Ahmad lakukan perlahan, keraguan mulai muncul di wajah orang-orang yang tadi marah. Seorang bapak tua akhirnya angkat bicara, “berarti selama ini kita dibohongi, Mad?” Ahmad mengangguk. “betul bapak/ibu, seperti pepatah mengatakan bahwasanya Fitnah itu ibarat api, Pak. Sekali ditiup, ia bisa membakar semua yang dijangkaunya.

Tugas kita sebagai santri bukan hanya memadamkan api, tapi juga mengajarkan bagaimana agar api itu tidak kembali menyala”. Kata-kata itu mengendap di benak warga. Untuk pertama kalinya, mereka melihat seorang santri muda berdiri bukan hanya sebagai murid pesantren, melainkan sebagai penjaga kebenaran. Beberapa hari setelah kejadian di balai desa, suasana desa kembali tenang. Warga mulai berhati-hati dalam menerima kabar. Namun, ketenangan itu ternyata hanya sementara. Suatu sore, Ahmad dipanggil oleh Kiai Mahfudz, pengasuh pesantren tempat ia menimba ilmu. Di ruang tamu yang sederhana, sang kiai menunjukkan layar ponselnya. “Mad, lihat ini”. ucap beliau pelan. Di layar terpampang sebuah unggahan di media sosial. Akun anonim menuliskan tuduhan bahwa pesantren tempat Ahmad belajar adalah “sarang radikalisme dan tempat mencuci otak anak muda”. Darah Ahmad berdesir. Ia menggenggam tangannya kuat-kuat.

“Itu fitnah keji, Yai! Bagaimana mungkin pesantren yang sejak dulu mendidik akhlak tiba-tiba dituduh seperti itu?”, Kiai Mahfudz tersenyum tipis. “Begitulah zaman, Mad. Fitnah kini lebih cepat dari angin. Yang penting jangan mengkritik dengan marah, tapi kritiklah dengan berlandaskan ilmu dan akhlak”. Ucapan itu membuat dada Ahmad sesak sekaligus tertantang. Ia sadar, melawan hoaks maupun fitnah bukan sekadar membantah, tapi membuktikan dengan tindakan yang sopan dan berbudi.

Malamnya, Ahmad tak bisa tidur. Ia menuliskan catatan kecil di buku tulisnya: “Santri hari ini tidak cukup hanya membaca kitab. Santri harus bisa membaca zaman”. Sejak malam itu, tekad Ahmad semakin kuat. Ia ingin membuktikan bahwa santri adalah benteng kebenaran ilmu, bukan sekadar penghafal teks saja. Kabar fitnah tentang pesantren itu semakin ramai dibicarakan. Ahmad merasakannya bukan hanya di balai desa, tapi juga di warung kopi, bahkan di kantin kampus saat ia mengikuti perkuliahan luar. Beberapa temannya sempat menatapnya dengan tatapan ragu. “Mad, bener nggak sih… pesantrenmu ada kaitannya dengan paham itu?”, tanya seorang mahasiswa dengan nada tinggi. Ahmad menarik napas panjang.

Ia tidak langsung menjawab. Sejenak, ia teringat pesan Kiai Mahfudz: bahwasanya beliau mengatakan jangan membantah dengan emosi, tapi jawab dengan ilmu dan akhlak. “Itu tidak benar”, ucap Ahmad tenang. “Pesantren kami sejak dulu mengajarkan Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta Tanah Air adalah Sebagian dari Iman), Bahkan setiap kali upacara Hari Santri, kami mengibarkan bendera merah putih sambil bershalawat. Apakah itu yang disebut radikal?”. Temannya terdiam, wajahnya memerah menahan rasa malu. Beberapa mahasiswa lain yang mendengar justru mengangguk, seolah baru sadar bahwa kabar yang beredar hanyalah tuduhan tanpa bukti (palsu).

 

Serambi Musala

Malamnya, Ahmad kembali duduk di serambi musala. Kali ini, ia membuka kitab hadits Shahih Muslim yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan pesantren. Matanya berhenti pada sebuah hadits: “Barang siapa menipu kami, maka ia bukan golongan kami”. (HR. Muslim).

Hadits itu semakin meneguhkan hatinya. Menyebarkan hoaks bukan sekadar salah informasi, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap umat. Dan seorang santri tidak boleh membiarkan pengkhianatan itu terus berlangsung. Sejak saat itu, Ahmad mulai menyusun strategi kecil. Ia mengajak beberapa temannya sesama santri untuk membuat forum literasi digital di pesantren. Tujuannya sederhana: membekali para santri dengan kemampuan menyaring informasi, agar mereka tidak mudah terjebak dalam arus fitnah. Forum itu perlahan berkembang. Di setiap pertemuan, Ahmad membagikan panduan sederhana: memeriksa sumber berita, mencari referensi yang valid, dan tidak terburu-buru menyebarkan kabar.

Ia bahkan menuliskan panduan singkat berjudul “Tabayyun di Era Digital”, yang ditempel di papan pengumuman musala, yang mana dibalik judul tersebut terdapat sebuah cara bagaimana seorang muslim mampu memilah dan memilih sebuah informasi secara selektif dan mampu dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dan para santri menyambutnya dengan antusias. Mereka merasa, inilah cara baru menjaga marwah (kehormatan) pesantren: bukan hanya lewat kitab kuning, tapi juga lewat kecerdasan menghadapi gempuran teknologi informasi. Namun, Ahmad tahu, perjuangan belum selesai. Kabar fitnah tentang pesantren masih terus beredar di luar. Dan suatu saat, ia pasti akan berhadapan dengan ujian yang lebih besar.

Beberapa minggu berlalu, forum literasi digital yang digagas Ahmad mulai memberi dampak. Para santri kini lebih kritis terhadap berita yang mereka terima. Bahkan, beberapa warga desa pun ikut belajar menyaring informasi dari mereka. Suasana yang dulu mudah terpecah karena isu-isu tak bermutu, kini perlahan kembali teduh. Namun, ketenangan itu lagi- lagi diguncang. Suatu pagi, Ahmad menerima pesan di grup WhatsApp alumni pesantren. Sebuah artikel dengan judul besar mendadak viral di berbagai platform.

Dan lebih mengejutkan lagi, artikel itu memuat foto Kiai Mahfudz sedang berceramah, dipotong dari video pengajian yang aslinya penuh nasihat kebaikan. Potongan itu dipelintir seolah-olah beliau sedang menyerukan permusuhan. Ahmad terdiam, jantungnya berdegup kencang. Tangannya bergetar saat menggulir komentar-komentar warganet. Ribuan orang sudah menghujat, bahkan ada yang menuntut agar pesantren ditutup. “Ya Allah…,” lirih Ahmad. Ia merasakan dadanya sesak. Ia tahu, ini bukan lagi sekadar isu lokal. Ini adalah fitnah yang bisa menghancurkan nama baik pesantren, bahkan mengikis kepercayaan masyarakat pada lembaga pendidikan Islam tradisional.

Sore harinya, Ahmad menemui Kiai Mahfudz. Wajah sang kiai tetap teduh, meski sorot matanya menyimpan kesedihan. “Mad, inilah ujian yang sesungguhnya. Jangan hanya berani bicara di desa atau kampus. Kalau kau benar-benar santri, buktikan bahwa ilmu yang kau pelajari bisa menjaga umat di tengah badai fitnah,” ujar beliau lembut. Kata-kata itu menusuk ke dalam hati Ahmad. Ia merasa kecil di hadapan ujian sebesar ini. Namun, ia juga tahu, inilah saatnya santri membuktikan diri: bahwa pesantren bukanlah sumber perpecahan, melainkan benteng yang menjaga persatuan. Malam itu, Ahmad menulis kembali dalam buku catatannya: “Fitnah terbesar bukanlah hujatan dari musuh, melainkan ketika kebenaran tidak berani tampil melawannya”.

Hari-hari berikutnya menjadi beban berat bagi Ahmad. Setiap membuka ponsel, ia melihat komentar pedas dan hujatan yang diarahkan pada pesantren. Teman-teman seangkatannya mulai goyah, ada yang menangis, ada yang ingin berhenti mondok karena takut nama baik keluarganya ikut tercoreng. Ahmad mencoba menenangkan mereka.

“Kita sedang diuji. Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa berusaha bersabar, Allah akan memberinya kesabaran. (HR. Bukhari-Muslim). Kalau kita lari, siapa lagi yang akan berdiri?”. Namun, meski ia berusaha tegar, di hatinya pun timbul keraguan: apakah ia cukup kuat menanggung semua ini?.

Suatu malam, Ahmad termenung di serambi musala. Hatinya terasa hampa. Ia merasa seperti melawan badai sendirian. “Ya Allah,” bisiknya lirih, “apakah aku bisa? Ataukah aku hanya santri kecil yang terlalu berani menantang dunia?”. Air matanya menetes, saat itulah Kiai Mahfudz mendekat, menepuk pundaknya dengan lembut.

“Mad,” ujar sang kiai dengan suara teduh, “ingatlah, kebenaran itu memang selalu diuji. Api fitnah hanya bisa padam dengan cahaya kesabaran. Jangan takut, kau tidak sendiri”. Kata-kata itu laksana setetes embun di padang tandus. Ahmad menghela napas panjang.

Keesokan harinya, Ahmad mengambil langkah. Ia bersama teman-temannya membuat Posko Literasi Digital. Mereka belajar cara melacak sumber kabar, cara menulis bantahan yang sopan, dan cara menyebarkan klarifikasi tanpa emosi. Mereka menyusun slogan sederhana: “Tabayyun sebelum sebar, sabar sebelum marah”. Beberapa warga desa mulai terbantu dengan sebuah pencerahan pola pikir yang telah Ahmad berikan. Jadi bila ada berita baru yang beredar, mereka langsung mendatangi Ahmad untuk menanyakan kebenaran dan keaslian berita tersebut. Yang mana Perlahan-lahan, posisi pesantren kembali mendapat kepercayaan.

Fitnah mencapai puncak ketika salah satu media nasional menuduh pesantren Ahmad sebagai “Pesantren Garis Keras”.

Berita tersebut meluas dengan cepat dan menjadi viral. Demonstrasi kecil muncul di depan gerbang pesantren, menuntut agar pesantren ditutup. Ahmad diminta menjadi juru bicara santri. Dadanya berdegup kencang, tapi ia tahu inilah saatnya membuktikan diri. Di hadapan massa dan kamera wartawan, Ahmad berkata lantang: “Kami santri bukan pengadu domba. Kami di sini belajar untuk menebar kasih, bukan ujaran kebencian apalagi dusta. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencela, bukan orang yang suka melaknat, bukan orang yang berkata keji, dan bukan orang yang berkata kotor”. (HR. Tirmidzi). Jika ada yang menuduh pesantren ini sumber kebencian, maka tuduhan itu dusta.

Seorang pendusta akan dibalas oleh Tuhan dengan masuk ke dalam neraka jahanam, bapak/ibu bisa menyaksikan sendiri bagaimana kondisi komunikasi disini antara para santri dan warga sekalian dengan tabayyun yang kami terapkan selama ini, kami semua rukun, saling menghormati, saling bantu, tafahum kami terapkan, tasamuh juga kami perkuat, tidak ada perselisihan yang berarti”. Suasana mendadak menjadi hening atas sikap kegigihan Ahmad tersebut. Menyebabkan beberapa orang menunduk, malu dengan amarah yang tadi mereka bawa. Tidak lama berita klarifikasi Ahmad menyebar ke mana-mana melalui media massa maupun cetak. Yang pada akhirnya Media lokal mulai menulis sisi positif tentang pesantren yang justru mengajarkan literasi digital dan pesantren yang melahirkan gerakan “Santri Anti Hoaks.”.

Di desa, masyarakat kembali rukun. Forum-forum tabayyun mulai tumbuh dengan pesat, bukan hanya di pesantren, tetapi juga di masjid-masjid dan sekolah. Ahmad tersenyum kecil melihat anak-anak muda yang dulu mudah terbakar emosi, kini belajar menahan diri. Malam itu, Ahmad kembali duduk di serambi musala, menatap bintang-bintang. Suara jangkrik menemani kesunyian. Ia menulis di buku catatannya: “Santri bukan hanya penjaga kitab kuning, tetapi juga penjaga nurani umat manusia di tengah badai zaman.” Air matanya menetes. Kali ini bukan karena Ahmad ragu dengan langkahnya saat ini, melainkan karena bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kegigihannya dalam berjuang. Selama ada santri yang berani berdiri dengan ilmu dan kesabaran, bangsa ini tidak akan pernah runtuh oleh fitnah.

-TAMAT-

Leave A Reply

Your email address will not be published.