Saat Mantan Budak Jadi Pemimpin
Rasulullah shallallâhu alayhi wa sallam telah mengkhususkan dan membatasi tugas Risalah Kenabian yang dibawanya pada at-Tarbiyah dan at-Ta’lîm berdasarkan sabda beliau:
إِنَّماَ بُعِثْتُ مُعَلِّماً
“Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang pengajar”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini telah saya kemukakan pada penerbitan Majalah Risalah NU edisi sebelumnya.
Al-Qur’ân juga menegaskan misi risalah ta’lim dan tarbiyah Rasulullah shallallâhu alayhi wa sallam sebagai perhatian yang sangat mendasar dalam surah Al-Jumu’ah ayat 2:
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفَى ضَلَاَلٍ مُبَيْنٍ} الآية
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Ayat ini telah mengkhususkan bahwa di antara tugas Rasulullah shallallâhu alayhi wa sallam adalah mengajar (ta’lim) dan mendidik (tarbiyah). Mengajar Al-Qurán dan Hikmah, dan mendidik jiwa berjalan mengikuti keduanya.
Porsi terbesar dalam kehidupan Rasulullah shallallâhu alayhi wa sallam dihabiskan pada sisi ini. Sebab, sisi ini adalah sumber segala kebaikan. Semua sisi kehidupan, baik itu politik, sosial, ekonomi, militer, atau moral, tidak akan lurus dan benar tanpa sisi (ta’lim dan tarbiyah) ini. Musnahnya manusia, suatu bangsa, dan kemanusiaan, tidak lain karena menyeleweng dari ilmu yang benar.
As-Syaikh Yûsuf bin Husain berkata:
فِى الدُّنيَا طُغْيَانَانِ: طُغْيَانٌ فِى العِلْمِ وَطُغيَانٌ فِى الْمَالِ. وَالَّذِى يُنْجِيْكَ مِنْ طُغْيَانِ الْعِلْمِ اَلْعِبَادَةُ. وَالَّذِى يُنْجِيْكَ مِنْ طُغْيَانِ الْمَالِ الزُّهْدُ فِيهِ.
“Di dunia ini, ada dua tirani (perselingkuhan), tirani ilmu dan tirani harta. Yang bisa menyelamatkan kamu dari tirani ilmu adalah ibadah (amal sholeh). Dan yang bisa menyelamatkan kamu dari tirani harta adalah zuhud.”
Al-Imam Junaid al-Baghdâdi juga mengatakan hal yang sama persis dengan nasehat as-Syaikh Yûsuf bin Husain tersebut. Kecerdasan otak tanpa kecerdasan spiritual, berpotensi melakukan tirani perselingkuhan.
At-Tarbiyah dan at-Ta’lim harus selalu beriringan, tidak boleh terpisahkan. Keduanya sangat menentukan masa depan umat Islam, khususnya an-Nahdliyyin. Dan itu adalah Sunnatullah.
Al-Imam Ibnu Sholâh dalam kitabnya “Muqoddimah Ibnu Sholâh” dalam bab Macam ke-64: Mengenali Para “Mawali” Mantan Budak sebagai Perawi Hadis dan Ulama, beliau (Ibnu Sholâh) berkata: “Aku meriwayatkan dari Imam az-Zuhri, beliau berkata: “Aku datangi Abdul Malik bin Marwân (Khalifah Dinasti Bani Umayah 65-86 H/685-705 M), beliau bertanya, “Kamu datang dari mana, Hai Zuhri?” Aku menjawab, “Dari Makkah”. Lalu Khalifah bertanya, “Siapa penggantimu di Makkah memimpin penduduk Makkah?” Aku menjawab, “Imam Athô’ bin Abi Robâh”. Khalifah bertanya, “Keturunan Arab (asli) atau mantan budak?” Imam az-Zuhri menjawab, “Dari mantan budak.” Khalifah lalu bertanya, “Dengan apa dia memimpin penduduk Makkah?” Aku menjawab, “Dengan agama yang kuat dan ilmu yang mumpuni”. Khalifah berkomentar, “Ahli agama dan ilmu yang mumpuni layak menjadi pemimpin.”
Lalu Khalifah bertanya (lagi), “Siapa yang memimpin penduduk Yaman?” Aku menjawab, “Imam Thowus bin Kisan”. Khalifah bertanya, “Keturunan Arab atau mantan budak?” Aku menjawab, “Mantan budak.” Khalifah bertanya, “Dengan (bekal) apa memimpin mereka?” Aku menjawab, “Dengan apa (bekal) yang dimiliki oleh Imam Athô’.” Khalifah berkomentar, “Dia layak memimpin”.
Kemudian Khalifah bertanya, “Siapa yang memimpin penduduk Mesir?” Aku menjawab, “Imam Yazîd bin Abi Hubaib”. Khalifah bertanya, “Arab atau mantan budak?” Aku menjawab, “Mantan budak”.
Pertanyaan semacam ini, terus berlanjut empat sampai lima negara. Antara lain Syam, Jazirah, Khurasân, Basrah dan Kufah, yang semuanya dipimpin oleh mantan budak dengan bekal agama dan kemampuan ilmu yang mumpuni. Hingga Khalifah Abdul Malik bin Marwân berkata, “Celaka, Hai Zuhri! Gembirakan aku! Demi Allah, mantan-mantan budak akan memimpin bangsa Arab sehingga mimbar-mimbar khutbah akan diisi mereka, sedang bangsa Arab sebagai pendengar di bawahnya”.
Aku menjawab, “Hai Amîral Mukminin! Itulah ketentuan Allah dan ketentuan agama-Nya. Siapapun yang menjaga dan mempertahankan ketentuan Allah Subhânahû wa Ta’âla (at-Tarbiyah dan at-Ta’lim, kecerdasan spiritual dan kecerdasan otak) akan unggul dan memimpin. Dan siapapun yang menyia-nyiakan ketentuan Allah Subhânahû wa Ta’âla, maka dia akan jatuh di bawah (kekuasaan) orang lain.”
Umat tanpa ilmu dan tarbiyah yang menjelaskan kepada mereka sisi-sisi perilaku yang terpuji dan membuat setiap individu mengerti kewajibannya, akan menyebabkan kekacauan. Perilaku yang tidak terarahkan oleh Tarbiyah ar-Rasûl dan Ta’lîm ar-Rasûl secara tertib dan teratur, berakibat pelaku dan semua anggota pengikutnya memiliki tindak-tanduk, adat, dan persepsi yang berbeda satu sama lain, kehilangan radar kontrolnya, sehingga mereka tidak akan beruntung dan berjaya.
Kanjeng Nabi Muhammad shallallâhu alayhi wa sallam mulai membentuk umat baru yang memiliki pilar pemikiran, perilaku, moral, tasyri’, undang-undang, dan bahasa tersendiri, dengan cara mendidik dan menumbuhkan individunya di dalam lingkungan tarbiyah beliau yang dalam segi akidah dan perilakunya terpisah dengan dunia lain. Beliau shallallâhu alayhi wa sallam juga mempersaudarakan semua umat ini secara sempurna. Kemudian membawa maju umat ini dalam satu arah (komando), setelah sebelumnya beliau tuntun mereka dalam jalan ini beberapa saat, lantas beliau biar(lepas)kan mereka berjalan menuju kebenaran sampai tujuannya.
Sejarah mencatat, mereka yang mengambil ajaran dan didikan Kanjeng Nabi Muhammad shallallâhu alayhi wa sallam secara konsisten, mereka akan selamat dan maju ke depan serta mampu meninggalkan warisan agung yang dapat kita saksikan hingga saat ini.
Hasil ta’lim dan tarbiyah Rasulullah shallallâhu alayhi wa sallam diakui oleh banyak kalangan, baik kawan maupun lawan. Sejarawan Sir William Muir, misalnya, mengatakan, “Tak ada pembaruan dan perbaikan yang lebih sulit dan lebih susah dilakukan daripada zaman munculnya Muhammad, dan kita tidak mengetahui adanya keberhasilan dan pembaruan yang sempurna seperti Muhammad tinggalkan setelah wafatnya.”
Dalam penerbitan edisi sebelumnya, kita telah mengulas dua sosok Sahabat Nabi yang telah mengalami lompatan dan capaian luar biasa setelah mendapatkan sentuhan ta’lim dan tarbiyah beliau, yaitu Umar bin Khatthab dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ‘anhuma. Hanya dalam tempo singkat setelah menerima sentuhan pendidikan Kanjeng Nabi, keduanya menjadi sosok yang sama sekali baru.
Sahabat Umar bin Khatthab RA yang gaungnya memenuhi dunia, tidak akan ada artinya apa-apa seandainya tidak terdidik dalam naungan pendidikan Rasulullah shallallâhu alayhi wa sallam. Dari beliaulah dia menimba ilmu, hikmah dan tarbiyah.
Demikian juga Sahabat Abdullah bin Masúd RA, seorang penggembala kambing yang rendah dan hina di suku Quraisy, yang kemudian menjadi salah satu pendiri madrasah terbesar dalam ilmu fiqih Islam dan Imam Abu Hanifah bernisbat kepadanya. Bahkan, Sahabat Umar bin Khatthab RA sendiri berkata kepada penduduk Kufah, “Aku utamakan kepada kalian Abdullah bin Mas’ud daripada diriku.”