Sekamar dengan Ulama

0

H. Ishaq Zubaedi Raqib (Ketua LTN PBNU)

Entah apa maksudnya, seseorang mengingatkan saya agar membela ulama. “Wah, itu wajib,” jawab saya. Lalu saya bertanya balik, “KH Samson Rahman, ulama bukan ?” Dijawab, “Iya.” Saya bilang, “Beliau sahabat saya.” Saya tanya lagi, “KH Dr Abi Amir Faishol Fath, MA, itu ulama bukan ?” Sekali lagi dia jawab, “Pastilah. ‘Kan beliau juri Hafiz di stasiun TV anu,” katanya. Saya bilang, “Dia kakak saya.” Saya tunggu tanggapannya. Tak ada.

Lalu saya tanya apakah KH Dr Ahmad Fauzi Tidjani, MA adalah ulama ? Dia jawab, “Itu tidak diragukan. Beliau adalah pengasuh salah satu pondok pesantren besar di Madura. Santrinya puluhan ribu. Dari seluruh pelosok Indonesia. Bahkan beberapa dari luar negeri,” jawab dia penuh semangat. Kepadanya saya sampaikan, “Beliau adalah murid saya.” Dia kembali diam. Saya menghindari kata “mematung”, kuatir dianggap syirik. Tak ada suara.

Terakhir saya tanya, “Apakah KH Moh Idris Jauhari ulama ?” “Sangat jelas. Beliau adalah ulama. Bahkan guru bagi para ulama yang Anda sebutkan di atas. Guru dari Kyai Samson. Guru dari Kyai Amir Faishol. Dan, pamanda Kyai Ahmad Fauzi,” jawabnya bangga. Saya jawab. “Saya murid beliau saat pondok baru berusia 11 tahun. Beliau yang menjadi saksi dan menikahkan saya.” Dia tampaknya tak tertarik lagi mengingatkan saya agar membela ulama.

***

Bersama Kak Samson–begitu kami saling sapa sejak di pondok sampai sekarang, tahunan kami sekamar. Enam tahun kami di kelas yang sama. Dari kelas 1B, 2B, 3B, 4B, 5B, hingga Nihaie. Kami saling berbagi buku bacaan. “Di Bawah Bendera Revolusi” Bung Karno, kami gantian baca saat SMP. “Manthiqut Thoir”-nya Attar ; salah satu bahan diskusi kami. Dari Kak Samson, terbit puluhan terjemahan buku penting. “La Tahzan” salah satunya yang epic dan legendaris.

Baca Juga :  Kursi Kiai Ma’ruf Amin

Saat ini beliau adalah pengurus pusat Ikadi –Ikatan Dai Indonesia dan pengasuh PP Al Qudwah di Banten. Lalu Kyai Amir Faishol. Ibunya adalah adik ayah saya. Hari-hari saya usia SD, selalu wira-wiri di rumahnya. Rumah kami berhadapan. Main kelereng bersama, ke pantai bersama, main sludur di jalan raya bersama, ngaji bareng. Pondok kami sama. Saya kelas 1 dia kelas 2. Kami sama-sama, selalu di kelas B sampai jadi alumni.

Pascaprogram S3, dia menekuni minatnya di dakwah. Bukan hanya di dalam negeri, Mak Amir –begitu saya menyapanya, juga berdakwah ke Eropa dan USA. Persis Kak Samson yang juga kerap melanglang buana. Meski tidak dalam rangka dakwah, saya juga sudah ke negara-negara itu. Saat ini, Mak Amir mengurangi frekuensi “pergi-perginya”, karena “manggon” mengasuh PP Fath Darut Tafsir. Ia menjadi salah seorang juri “Hafiz” di TV swasta.

Lalu Kyai Ahmad atau Kyai Fauzi. Beliau putra KH Moh Tidjani Djauhari, MA–salah seorang Trimurti Al Amien bersama dua adik beliau, KH Moh Idris Jauhari dan KH Maktum Jauhari. (Allah Yarhamuhum). Ketika khidmah di pondok, selain menjadi Wakil Kepala Bagian Pengajaran dan Wakil Direktur Litbang Yayayasan Al Amien, saya setiap tahun jadi wali kelas. Dan salah satu kelas yang saya jadi walinya adalah kelas Kyai Ahmad.

KH Moh Idris Jauhari ? Tak perlu saya jelaskan panjang lebar. Bagi saya, beliau wali majdzub. Menempati salah ruang di hati semua santri. Meski sudah lama wafat, alhamdulillah, beliau masih sudi “hudlur” lewat mimpi. Hari-hari saya selama belasan tahun, bersama beliau. Malam-malam bersama beliau. Perintis, pembela, pelindung, yang jejak telapak kakinya tak pernah pergi, walau sekejap, dari tanah pondok. Persis mengurus bayi.

Baca Juga :  MEMAKNAI ULANG PERIBAHASA “MULUTMU HARIMAUMU” DALAM PERSPEKTIF ADAB

***

Di luar nama-nama di atas, masih ada sejumlah ulama yang tidak mungkin saya membiarkan ruang memuai sehingga ada jarak dengan mereka. Salah satunya adalah KH Achmad Hasyim Muzadi. Ketua Umum PBNU dua periode. Dan sepanjang dua periode itu saya jadi penulis Abah–sapaan orang-orang dekatnya. Tak ada penjelasan soal rasa, karena sebagai santri, saya melakukannya dengan suka cita, senang hati, dan takzim mendalam.

Mengambil ruang di lantai bawah Gedung PBNU, sambil wawancara untuk mengisi sebuah rubrik di koran ibu kota, saya kerap memijit kaki Abah yang penat. Abah hanya berkaus singlet. Atau saya menemaninya ke bandara. Atau menjemputnya. Setiap sempat, Abah selalu “ngobrol” dan minta direkam. Itu tahun pertama mengurus PBNU. “Kamu udah baca (kitab) Hikam?” “Alhamdulillah sampun, Bah.” “Ya sudah. Habis ini ndak perlu rekaman lagi,” katanya.

Saya juga dianugerahi Allah nikmat “ngabdi” kepada ulama lain. Bertemu di awal reformasi dan berhubungan hingga kini. Dalam muhibah ke sejumlah negara Eropa, dengan rasa malu yang menggantung, saya sekamar dengan beliau. Duhai, perasaan seperti nano-nano ! Dipan kami hanya dipisah gang kecil. Beliau imam dan saya satu-satunya makmum tiap kali salat. “Itu pork, Ed ! Khinzir. Jo kon sentuh,” kata beliau di resto hotel. Seperti Abah Hasyim, beliau juga “megang” PBNU.

Terakhir, saya memang sengaja tidak memasukkannya dalam kategori ulama versi orang yang meminta saya membela ulama. Hampir pasti ditolak. Namanya Al Ustadz Zuhairi Misrawi. Dengan ukuran dan standar yang ketat, Zuhairi jelas alim. Banyak baca buku, banyak menulis artikel dan banyak menulis buku. Asli alim. Saya juga pernah menjadi gurunya waktu beliau mondok. Sekembali dari Al Azhar, Kairo, kami bertemu di Jakarta.

Baca Juga :  Eskalasi Konflik Israel dan Hizbullah Meningkat

Karena minat yang beririsan, kami sering berinteraksi dalam forum yang sama. Terlebih urusan politik dan tulis menulis. Sering tanpa sengaja, kami bertemu di rumah seorang tokoh. Waktu Presiden Jokowi mengamanahi dia jabatan Dubes, beliau telp. ” Antum termasuk orang pertama yang saya kabari,” katanya minta doa. Meski sudah di Tunisia, Gus Dubes–sapaan beliau sekarang, tetap berhubungan, meski hanya lewat layanan whatsapp atau fb.

***

Saya lalu teringat wejangan Imam Syafi’ie. Menurut beliau, tidak akan seseorang mendapat ilmu kecuali memenuhi enam hal. Salah satunya adalah “shuhbatu ustadzin” –berkawan atau bersahabat dengan guru. Jika menggunakan terminologi Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab “Al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah” ketika mendefinisikan “sahabat”, maka demikian pula ketika bersahabat dengan guru, ustadz, ulama.

لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ ؛ ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ

“Saudaraku ! Engkau tak akan mendapatkan ilmu kecuali memenuhi enam perkara/syarat : kecerdasan, kemauan yang kuat, kesungguhan, bekal yang cukup, kedekatan (bersahabat) dengan guru dan dalam waktu yang lama.”

Ibnu Hajar berkata : “Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam.” Dengan mengacu pada batasan ini, maka berguru itu sebaiknya bertemu dengan guru secara jasad dan ruhani sekaligus. Kalau tidak “talaqqi” atau bertemu, sulit disebut bersahabat. Sebab, sering ilmu diperoleh santri setelah “khidmah daimah” dengan kyai karena berkah talaqqi.

“Ya Robb. Haqqiqna Bi Shuhbatil Ulamaa'” (Detik.com)

Leave A Reply

Your email address will not be published.