Mbah Hamzah, kiai asal Tegal yang pernah nyantri selama lima tahun kepada Mbah Ma’shum Lasem, bercerita pengalaman dengan wali ‘nyentrik’ yang bernama Mbah Liem atau KH Muslim Imam Puro.
Mbah Hamzah, kiai kelahiran 1950 asal desa Mulyoharjo Pemalang itu sudah bertekad hadir Muktamar NU ke 28 di Pondpok Pesantren Krapyak, Yogyakarya tahun 1979. Kiai yang tercatat santri kesayangan Mbah Ma’shum itu berniat datang ke Krapyak sebagai penggembira, mengingat pesantren yang diasuh KH Ali Ma’shum, anak gurunya.
“Saya beserta rombongan satu bus 49 orang sesuai tempat duduk. Sebelumnya, saya pesan kepada peserta untuk sowan ke ulama karismatik Mbah Liem alias KH Muslim Imam Puro. Tapi, hati-hati, Mbah Liem itu kalau ada tamu dijotos, diludahi dan lainnya. Tapi, itu suatu tanda akan dkabulkanya harapan kita, maka jangan marah,” kata Mbah Hamzah kepada rombongannya.
Rombongan NU Tegal itu senang mendengar akan sowan Mbah Liem. Tapi, apa dinyana. Sambutan Mbah Liem beda jauh. Mbah Hamzah dan rombongan disambut baik. “Saya diberi rokok merek Bentul satu kaleng yang isinya 36 batang dan Mbah Liem minta agar dibagi ke semua anggota syaratnya sambil membaca selawat.”
Mbah Hamzah membagikan rokok itu dan ternyata masih tersisa satu batang. Mbah Hamzah bertanya, siapa yang belum mendapat bagian? Ternyata semua sudah mendapat bagian. “Dalam hati saya bicara, berarti yang satu batang ini bagian saya.”
Mbah Hamzah tak habis pikir, bagaimana bisa rokok yang hanya 36 batang bisa cukup untuk 49 orang? Padahal semua perokok. Mbah Hamzah mencoba untuk menghitung ulang, persis jemaahnya sejumlah 49 orang dan semua mendapat sebatang rokok yang sama. Mbah Hamzah kembali mengamati kotak rokok itu yang tertera isinya 36 batang.
Kemudian Mbah Liem mengeluarkan kacang goreng dalam piring kecil. Mbah Hamzah diminta membagi ulang kepada semua jemaah dengan membaca selawat. Aneh, semua Jemaah dapat satu sendok dan kacang di piring itu seperti tak habis-habis. “Saya masih kebagian banyak,” kata Mbah Hamzah bercerita.
Ia lalu ditarik Mbah Liem masuk kamar sendiri dan di situ Mbah Liem memberinya amalan selawat yang harus dibaca 100 kali setiap malam dan dan khusus malam Jumat dibaca 1.000 kali. Lalu, romongan diminta pulang.
Ternyata, bus terjeblos parit dan diusahakan untuk berjalan dengan memanggil traktor penarik. Mbah Liem dari kejauhan memberi isyarat agar berjalan. Supir dam rombongan tidak percaya bisa jalan. Ternyata, Mbah Liem memaksa untuk jalan. Aneh, bisa jalan dan bisa mengatasi rintangan. “Kami smua heran,” kata Mbah Hamzah.
Sampai di Yogyakarta (lokasi yang sedikit jauh dari Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak) juga sudah ada yang menyambut dengan menyebut romongan dari Tegal. Rumah ini seperti sudah disiapkan untuk Jemaah M<bah Hamzah asal Tegal. (H. Musthafa Helmy)