Oleh: Zubaedi (Sekretaris PWNU Bengkulu – Wakil Rektor II UIN Fatmawati Sukarno)
Dalam artikel edisi sebelumnya telah dijelaskan bahwa ibadah haji diperintahkan sebagai ujian yang menempa kadar keimanan umat Islam. Keimanan kepada Allah perlu menjadi orientasi hidup dalam seluruh kegiatan selama ibadah haji.
Jika merujuk pendapat Syekh Islam Fakhruddin Ar-Razi, jika iman sudah terpatri dalam diri seseorang, -termasuk bagi kalangan hujjaj- Allah akan memberikan sepuluh keistimewaan ruhaniah kepadanya, berupa: al-muraqabah (pengawasan), al-wilayah (pertolongan), al-muwalah (pelindungan), ash-shalah (rahmat), al-izzah (kekuatan), ath-tha‘ah (ketaatan), al-musyaqah (penentangan), al-adza (intimidasi), al-itija (kesetiaan), dan asy-syahadah (kesaksian) ath-tha‘ah (ketaatan), al-musyaqah (penentangan), al-adza (intimidasi), al-itija (kesetiaan), dan asy-syahadah (kesaksian).
Lima keistimewaan berupa muraqabah (pengawasan), al-wilayah (pertolongan), al-muwalah (pelindungan), ash-shalah (rahmat), dan al-izzah (kekuatan) telah dibahas. Kini, penulis akan mengulas lima keistimewaan lain yang dianugerahkan kepada seorang mu’min, yakni: ath-tha‘ah (ketaatan), al-musyaqah (penentangan), al-adza (intimidasi), al-itija (kesetiaan), dan asy-syahadah (kesaksian). ath-tha‘ah (ketaatan), al-musyaqah (penentangan), al-adza (intimidasi), al-itija (kesetiaan), dan asy-syahadah (kesaksian).
Keenam, Allah menganugerahi orang beriman dengan ath-tha‘ah (ketaatan). “Ingatilah Allah, dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan di antara kamu).” (QS. an-Nisa [4]: 59. Dalam suatu riwayat diceritakan, “Perkara yang baik menurut umat Islam, maka baik menurut Allah, sedangkan perkara yang buruk menurut umat Islam, maka buruk pula menurut Allah.” Terkait dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Umatku tidak bersepakat dalam suatu kesesatan.” (HR. at-Tirmidzi)
Dalam riwayat lain Rasulullah saw. Bersabda: “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah Khulafa’ ar-Rasyidin sesudahku. Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah mereka dengan kuat bagaikan menggigitnya dengan gigi-gigi geraham.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Hendaklah kalian mencontoh generasi sesudahku, Abu Bakar dan Umar.”
Semua itu membuktikan bahwa ketika kita diwajibkan taat kepada Allah swt. dan utusan-Nya, kita juga diwajibkan untuk loyal kepada ulil amri (pihak yang berwenang) dari orang-orang yang beriman.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Keberlangsungan dunia bisa terjaga oleh pedang-pedang para penguasa atau perkataan para ulama. Karena itu, hendaklah kalian taat kepada keduanya, kecuali dalam berbuat durhaka kepada Allah swt.
Muhammad Quraish Shihab, mufassir Indonesia, memberi ulasan yang menarik: “Tidak disebutkannya kata “taat” pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu: “La thaat li makhluqin fi ma’shiyat al-Khaliq“. Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).”
Ketujuh, Allah menganugerahi orang beriman dengan menyelamatkan dari dari berbagai ujian, cobaan, ancaman penentangan (al-musyaqah). Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt. dalam QS. an-Nisa ayat 11: “Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman.”
Allah swt. memiliki samudra yang sangat luas, tempat seseorang akan binasa di dalamnya apabila tidak memiliki pedoman sebagai penyelamat baginya. Dalam hal ini, Allah swt. menjadikan tauhid sebagai penyelamat dari ancaman penyimpangan. Hal ini merujuk pada firman Allah QS. Ali ‘Imran: 10, yang artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Allah swt. menjadikan kebersamaan sebagai penyelamat dari berbagai ujian dan cobaan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt.: “Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin.” (QS. an-Nisa: 115)
Orang yang memperoleh keistimewaan seperti ini biasanya memiliki hati yang sehat. Siapa orang yang memiliki hati yang sehat? Salah seorang ulama ditanya tentang hal ini, dan menjawab, yaitu: “orang-orang yang memiliki hati yang tidak ragu terhadap agamanya, tidak mengikuti hawa nafsunya dalam menjalankan perintah agama, tidak riya dalam melaksanakan amal ibadah. Orang yang memiliki hati sehat itu adalah orang yang tidak memiliki musuh.”
Kedelapan, Allah menganugerahi orang beriman dengan menjaga dari al-adza (objek intimidasi). Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt. dalam QS. al-Ahzab [33]: 57—58, yang artinya: “Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
Allah swt. berfirman kepada Nabi Musa as, dan Nabi Harun as.,
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Ta ha [20]: 44)
Kesembilan, Allah menganugerahi orang beriman dengan dengan al-iltija” (kesetiaan). Hal ini dipertegas dengan firman Allah swt. dalam QS. at-Taubah: 16, yang artinya: “Dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.
Allah swt. melalui ayat ini memuji orang-orang beriman yang bersedia berjihad serta menjadikan orang-orang beriman sebagai teman setia. Sebaliknya, orang-orang munafik menjadikan kaum Yahudi sebagai penolong mereka dan menjadikannya sebagai teman setia. Karena itu, hendaklah kita menjadikan Allah swt., utusan-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai teman setia dan sahabat dekat.
Kesepuluh, Allah menganugerahi orang beriman dengan asy-syahadah ‘ala at-tauhid (kesaksian atas tauhid). Kesaksian atas tauhid terefleksi dalam berbagai kondisi. Allah swt. bersaksi atas diri-Nya sebagai Dzat yang Maha Esa. Kesaksian Allah swt. atas diri-Nya merupakan sebuah pernyataan. Ini bermakna, ketika Allah mendeklariskan sebagai Dzat Yang Maha Esa dan Yang patut disembah, maka Dia menetapkan dan menyatakan bahwa semua makhluk adalah hamba-Nya. Rezeki hamba telah dijamin oleh-Nya. Allah swt. dalam hal ini seolah-seolah menyatakan, bertanggung jawab atas rezeki semua makhluk, menjaga dan menolong mereka semua. Bukankah Allah swt. berfirman dalam QS. Hud ayat 6, yang artinya: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.”