Genap 100 tahun lalu, Kongres Al-Islam Hindia yang pertama digelar di Cirebon. Dalam hitungan tahun Masehi, seabad yang lalu jatuh pada tahun 1922. Bertepatan dengan tanggal 31 Oktober hingga 2 November 1922 atau 10-12 Rabiul Awwal tahun 1341 Hijriah, Maulid Al-Barzanji berkumandang di arena pembukaan kongres tersebut.
Kongres Al-Islam I dihelat dengan tujuan untuk menumbuhkan kembali persatuan dan kerjasama antarorganisasi Islam dalam mengaplikasikan ajaran agama. Dua orang tokoh Sarekat Islam (SI), yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Agoes Salim merupakan tokoh yang memprakarsai kongres agar tujuan tersebut dapat terlaksana (Suryanegara, Api Sejarah Jilid I, Penerbit Surya Dinasti, Bandung, 2015; halaman 465-466).
Saat itu, NU sebagai organisasi resmi belum lahir sehingga para kiai yang hadir masih mewakili Taswirul Afkar dari Surabaya. Organisasi lain yang hadir di antaranya adalah Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Beberapa organisasi dari Yogyakarta, Majalengka, dan Cirebon sendiri turut hadir dalam kegiatan tersebut.
“Kongres diadakan di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922 atau bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi dengan tujuan konsolidasi. Pada hari Selasa, 31 Oktober 1922 pukul 8 pagi, pertemuan besar diadakan di Alun-alun. Haji Agoes Salim berkesempatan menyampaikan pidatonya tentang maksud dan tujuan Kongres Al-Islam. Pada saat yang sama, dana dari para peserta dikumpulkan untuk konferensi berikutnya.” (Lestari, Respons Sarekat Islam terhadap Kebijakan Pendidikan Pemerintah Kolonial Belanda [1905-1933], Jurnal Sejarah Islam, Volume 01 Nomor 01, 2022: halaman 7-40).
Uniknya, pada kongres tersebut, diadakan pembacaan Maulid Barzanji yang diikuti oleh semua hadirin. Fakta ini justru terungkap dari sumber Al-Irsyad sebagai berikut:
“Ketika Kongres Al-Islam pertama yang diselenggarakan di Cirebon 31.10.1922 s/d 2.11.1922 dibuka, Surkati ikut pada upacara ritual berupa pembacaan Maulid Barzanji. Pada acara itu, semua yang hadir diminta untuk berdiri….Surkati sendiri pada upacara itu ikut berdiri.” (Hussein Badjerei, 1996, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Penerbit Presto Prima Utama, halaman 36).
Tokoh yang disebut dengan nama Surkati tidak lain adalah Ahmad Surkati, seorang pemuka Al-Irsyad. Tokoh Taswirul Afkar yang hadir pada saat itu di antaranya adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Tokoh Muhammadiyah yang hadir diantaranya adalah Haji Fachrudin.
Dari kalangan Habaib, Sayid Alwi Alaidrus merupakan perwakilan guru sekolah Bahasa Arab Cirebon yang menghadiri Kongres Al-Islam Hindia pertama itu. Acara Maulid Nabi menjadi saksi bahwa berbagai organisasi Islam yang hadir pernah dipersatukan dengan rasa cinta yang sama dengan membaca Maulid Barzanji.
Meskipun datang dengan berbagai pandangan, mereka bersatu dalam semangat yang sama di awal acara dengan mengekspresikan rasa cinta kepada Nabi melalui pembacaan Maulid Barzanji.
Selain Haji Agus Salim dan Tjokroaminoto, beberapa nama penting panitia yang merancang acara tersebut adalah Moerdoko sebagai ketua dan Bratanata sebagai sekretaris. Nama-nama yang lain adalah Soejat dan Sastrosoewirjo serta dibantu oleh Sarekat Islam Cirebon. Terlepas dari perbedaan pendapat yang berkembang dalam acara tersebut, Kongres Al-Islam I merupakan momen penting untuk membangkitkan kesadaran tentang pendidikan Islam di Hindia Belanda.
KH Abdul Wahab Chasbullah mewakili kaum tradisional menyampaikan pandangannya tentang pendidikan Islam dalam acara tersebut sebagai berikut: “Dalam kongres tersebut Haji Abdul Wahab dan pendukungnya mengemukakan bahwa kaum tradisi pada prinsipnya setuju dengan perubahan dalam proses pembelajaran agama Islam dengan menggunakan sistem modern, seperti yang dikemukakan oleh kalangan ulama reformis (yang sering pula disebut kaum muda). Namun, mereka tidak sependapat kalau kitab-kitab kuning disingkirkan, karena menurut mereka kitab-kitab mazhab masih belum dapat diganti.” (Azra, Burhanuddin dan Abdullah, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Institusi dan Gerakan Jilid III, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud, 2015: halaman 30).
Haji Abdul Wahab yang dimaksud adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Beliau bersama dengan KH Asnawi merupakan wakil dari golongan tradisi yang tercatat oleh sejarah bermaksud menyatukan langkah umat bersama dengan SI, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad.
Buktinya, tidak hanya masalah pendidikan Islam, beberapa pembahasan di dalam kongres tersebut juga mencerminkan upaya persatuan. Pembahasan mengenai hubungan umat Islam di Hindia Belanda dengan Turki Utsmani yang waktu itu masih berdiri, pembentukan Majelis Ulama Hindia Belanda, dan diskusi mengenai permasalahan haji merupakan isu penting yang dibahas.
Upaya-upaya penyatuan ini umat ini selalu ada, tetapi kurang diangkat dalam berita yang cenderung menonjolkan perbedaan pendapat di antara ormas-ormas Islam pada waktu itu. Khusus yang terkait dengan pendidikan, beberapa hal penting yang mendukung penyatuan umat Islam disampaikan di akhir Kongres Al-Islam Hindia pertama sebagai berikut:
“Sehingga akhir dari kongres ini mengambil keputusan mengenai pendidikan dan pengajaran Islam yang dibacakan oleh Haji Agoes Salim yang intinya:
- Menetapkan sumber utama adalah Al-Quran dan hadits,
- Tidak sembarang orang memiliki kewenangan untuk menerjemahkan kitab suci kepada bahasa lain kecuali orang-orang yang mumpuni menguasai ilmu-ilmunya,
- Diberitahukan bahwa mereka menghormati empat mazhab fiqih (Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hanbali), tetapi juga menyatakan keinginan mereka untuk melanjutkan studi karya-karya keagamaan berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.” (Lestari, 2022: 7-40).
Meskipun saat itu NU belum lahir, keempat hal tersebut masih konsisten diterapkan di NU hingga hari ini. Keberkahan pembacaan Maulid Al-Barzanji terpancar dari perkembangan situasi setelah kongres tersebut untuk umat Islam, termasuk yang ada di organisasi-organisasi lain.
Bergabungnya seluruh organisasi Islam menjelang masa-masa kemerdekaan Indonesia merupakan rangkaian peristiwa sejarah yang menunjukkan hal ini. “Sejak Oktober 1922 sampai dua dekade ke depan diadakan beberapa kali kongres Al-Islam. Tempat inilah yang menjadi cikal bakal bergabungnya seluruh organisasi Islam ke dalam MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia) di akhir masa pemerintahan kolonial Belanda, dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang didirikan di masa pendudukan Jepang yang kemudian direorganisasi kembali setelah Indonesia merdeka.” (Rambe, Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU Sang Penggerak Nahdlatul Ulama KH Abdul Wahab Chasbullah Sebuah Biografi, Madani Institute, 2020: halaman 145-146).
Berdasarkan rangkaian peristiwa sejarah seabad lalu, maulid bisa menjadi momen penyatuan umat Islam. Sudah selayaknya kaum muslimin masa kini mengambil teladan dari pendahulunya agar meskipun berbeda organisasi, selalu ada persatuan cinta nabi yang salah satunya terwujud melalui peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu ‘alam bis shawab.
(Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, ahli farmasi peminat sejarah – NU Online).