Mukaddimah
Sebagai sistem ajaran komprehensif atau syâmil, Islam secara normatif berdiri di atas tiga pilar utama, yaitu akidah, syariah, dan akhlak. Seiring perjalanan sejarah, ketiga fondasi tersebut mengalami transformasi epistemologis menjadi disiplin ilmu yang lebih terspesialisasi, yaitu ushûluddîn (teologi), syarîah (yurisprudensi Islam), dan tasawuf (spiritual Islam). Proses pemapanan ketiga ranah keilmuan Islam itu melibatkan kontribusi yang sangat besar dari para ulama dan intelektual Muslim, yang jejak intelektualnya banyak direkam dalam karya-karya biografis klasik (al-Turâts). Sebagai contoh catatan al-Subkî (w. 771 H) dalam “al-Tabaqât al-Syâfi’iyah al-Kubrâ” yang secara sistematis mencatat transmisi keilmuan para fuqaha madzhab Syafi’i dari generasi awal hingga pada masanya. Di sisi lain, Abû Abdurrahmaân al-Sulamî (w. 412 H) melalui “Thabaqât al-Shûfiyyah” memberikan catatan yang cukup komprehensif mengenai perkembangan tasawuf melalui profil para sufi terkemuka di awal-awal perintisan-nya sebagai nomenklatur epistemologi.
MENGENAL PARA WANITA SUFI
Di dalam Thabaqât al-Shûfiyyah, al-Sulamî secara sistematis merekam tokoh-tokoh sufi terkemuka beserta karakteristik ajaran spiritual yang mereka kembangkan. Berdasarkan analisis kronologis, karya tersebut dapat dikategorikan sebagai dokumen biografis paling awal dalam historiografi tasawuf. Hal itu didukung oleh periode hidup al-Sulamî sendiri pada abad ke-5 H/ke-10 M berdasarkan rekonstruksi historis. Namun, yang membedakan karya ini dengan literatur biografi lainnya adalah ulasan yang tersaji di dalamnya tidak sekedar memuat profil singkat para sufi awal, namun juga memuat terminologi, serta definisi mengenai tasawuf secara integral. Hal itu yang membuat Thabaqât al-Shûfiyyah menjadi karya yang secara khusus merespons kritik yang dilancarkan oleh para teolog (mutakallimûn) dan ahli fikih (fuqahâ’) terhadap tasawuf.
Dari sisi konten, Thabaqât al-Shûfiyyah memuat biografi 83 sufi terkemuka dari abad ke-2 hingga ke-4 Hijriah. Menariknya al-Sulamî tidak sekedar memaparkan narasi hidup para tokoh sufi tesebut dalam kerangka laku lampah mereka, seperti pada sisi teologis, spiritual, dan moral. Lebih jauh, secara metodis ia berhasil menyusun kerangka analitis yang mengelaborasi praktik asketis (wara’), ritual keagamaan (ibadah), serta pengalaman illuminatif (kasyaf) para sufi tersebut. Karena itu, signifikansi Thabaqât al-Shûfiyyah ini terletak pada pengaruhnya terhadap diskursus akademik kontemporer. Hal itu tercermin dalam analisis Philipp Bruckmayr yang mengafirmasi posisi epistemologis tasawuf sebagai disiplin otonom setara dengan fikih dan teologi Islam. Bruckmayr secara khusus menekankan bagaimana al-Sulamî sukses mengkonstruksi narasi kesinambungan spiritual (al-Silsilah al-Irfaniyyah) antara para sufi dengan tradisi kenabian.
Selain Thabaqât al-Shûfiyyah yang secara singkat dipaparkan di atas, kajian dalam tulisan hendak fokus pada karya penting al-Sulamî lainnya, yaitu Dzikru al-Niswah al-Muta’abbidât al-Sufiyyât. Bila dilihat dari nama kitabnya, penulis rasa para pembaca sudah mafhum ke mana arah yang hendak al-Sulamî paparkan di dalamnya. Karya ini secara khusus mengkaji profil perempuan-perempuan ahli ibadah dan sufi dalam periode formatif tasawuf. Tidak hanya itu, substansi kitab ini juga memuat wisdom atau kata-kata hikmah yang di-nisbat-kan kepada para wanita sufi yang secara transmisi sanad bisa dipertanggung-jawabkan.
Para ahli mengidentifikasi kitab Dzikru al-Niswah al-Muta’abbidât al-Sufiyyât sebagai karya unik dan langka, yang menawarkan perspektif gender-inklusif dalam studi tasawuf. Signifikansi kitab tersebut terletak pada kemampuannya dalam mendekonstruksi struktur patriarkis yang dominan dalam wacana keagamaan pada masanya. Bila melihat fakta historis, hampir seluruh otoritas keagamaan secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Karena itulah, maka Al-Sulamî melalui karyanya ini berhasil menantang atau bahkan meluluh-lantakkan hegemoni maskulin dalam diskursus spiritual Islam dengan memberikan ruang bagi narasi-narasi perempuan sufi di dalamnya.
Dalam menyusun kitab Dzikru al-Niswah al-Muta’abbidât al-Sufiyyât, Al-Sulamî mencoba melakukan dekonstruksi terhadap epistemologi tasawuf yang oleh para penyerangnya dianggap sebagai disiplin yang sarat akan konservatisme yang bersifat inklusif. Kehadiran kitab ini, oleh sebagian ahli dianggap sebagai sebuah terobosan dalam rangka mengguncang kemapanan epistemologi pada masanya. Al-Sulamî lewat kitab ini sukses mengintegrasikan peran perempuan ke dalam narasi sejarah spiritual Islam. Setidaknya, melalui catatan biografis lebih dari 80 figur perempuan yang menonjol karena asketisme (Wara’), praktik ibadah yang rigour (penuh ketaatan), serta pencapaian spiritual yang mendalam, ia secara tegas menolak dikotomi gender dalam ranah spiritualitas.
Dzikru al-Niswah al-Muta’abbidât al-Sufiyyât tidak hanya sebagai naskah akademik klasik, ia juga menjadi argumen teologis yang menegaskan kesetaraan potensi transendensi antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam hierarki tasawuf. Karena itulah, al-Sulamî dalam karyanya ini banyak menyitir pernyataan dan wisdom para sufi perempuan yang banyak menginspirasi generasi-generasi setelahnya.
Wisdom Para Sufi Wanita
Dalam Dzikru al-Niswah al-Muta’abbidât al-Sufiyyât, al-Sulamî berhasil memotret beberapa pernyataan dari para perempuan sufi yang merefleksikan praktik spiritual mereka. Salah satu contoh signifikan adalah dari kebijaksanaan dan kesalehan Rabi’ah al-Adawiyah. Suatu ketika, Sufyan al-Tsauri mengangkat tangannya dan berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keselamatan kepada-Mu”. Mendengar hal itu, Rabi’ah menangis. Lalu Sufyan berkata kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis, wahai Rabi’ah?”. Ia menjawab: “Engkau mengingatkanku pada tangisan”. Lalu Sufyan berkata: “Bagaimana bisa?”. Rabi’ah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa keselamatan telah meninggalkan dunia ini, maka bagaimana engkau mencarinya?”.
Di lain kesempatan, Rabi’ah al-Adawiyah berkata: “Setiap sesuatu memiliki buah, dan buah dari pengetahuan (al-Ma’rifah) adalah penerimaan”. Suatu hari Rabi’ah melihat seorang laki-laki bernama Rayyah mencium seorang anak kecil. Lalu Rabi’ah bertanya: “Apakah engkau mencintainya?” Ia menjawab: “Iya”. Rabi’ah berkata: “Aku tidak menyangka bahwa hatimu menjadi tempat cinta selain kepada Allah!”. Maka Rayyah jatuh pingsan. Ketika ia sadar, ia berkata: “Bahkan, itu adalah rahmat yang Allah jadikan di dalam hati hamba-hamba-Nya”.
Selain Rabi’ah al-Adawiyah, ada perempuan sufi lain yang wisdom spiritualnya cukup menjadi motivasi dalam menapaki tasawuf, yaitu Lubabah al-Muta’abbidah, perempuan sufi dari Baitul Maqdis. Lubabah berkata: “Sesungguhnya aku sangat malu kepada Allah s.w.t., sedangkan Dia melihatku dalam keadaan sibuk dengan yang lain-Nya”. Ia juga berkata: “Aku terus bersungguh-sungguh dalam beribadah, hingga aku merasa nyaman dengannya. Jika aku lelah karena berjumpa dengan manusia, mka zikir kepada-Nya adalah penghiburku, dan jika aku penat dengan pembicaraan manusia, maka menyendiri untuk beribadah kepada Allah dan bangkit untuk mengabdi kepada-Nya adalah penyegarku”.
Perempuan sufi selain Rabi’ah dan Lubabah, ada juga nama yang termaktub dalam kitab Dzikru al-Niswah al-Muta’abbidât al-Sufiyyât, yaitu Maryam al-Bashriyah yang hidup sezaman dengan Rabi’ah al-Adawiyah. Menurut al-Sulamî, Maryam al-Bashriyah sempat menemani dan berkhidmah kepada Rabi’ah al-Adawiyah. Maryam seringkali berbicara al-Mahabbah (kecintaan kepada Allah), dan apabila mendengar ilmu mengenai mahabbah hatinya melayang. Ia berkata: “Aku tidak lagi mengkhawatirkan rezeki dan tidak bersusah payah mencarinya sejak aku mendengar Allah s.w.t. berfirman: “Dan di langit terdapat rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu”. (QS. Al-Dzariyah, 51:22).” Dikisahkan bahwa Maryam menghadiri majelis para penceramah, lalu sang penceramah berbicara tentang cinta, maka empedunya pecah dan ia pun meninggal di majelis itu.
Penutup
Banyak lagi kisah-kisah inspiratif dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh para perempuan sufi sebagai motivasi untuk lebih dekat kepada Allah s.w.t.. Kitab Dzikru al-Niswah al-Muta’abbidât al-Sufiyyât karya al-Sulamî mengulasnya dengan bahasa yang mudah dan dapat dipahami oleh para pembaca. Semoga ulasan singkat ini menjadi stimulus untuk membaca karya tersebut. Wallâhu A’lam bis Shawâb!
H. Mohammad Khoiron
Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta