Oleh: Riadi Ngasiran
(Ketua Tim Prasasti Monumen Resolusi Jihad NU, Surabaya).
Pada suatu apel akbar, juga rapat akbar, menjadi bagian khas kegiatan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Suatu show of power, menunjukkan kekuatan Civil Society di bawah kekuasaan tirani Orde Baru-Soeharto. Suatu kisah tutur berkembang, terjadi dalam upacara apel akbar.
Komandan Upacara: “Lapor! Upacara apel akbar Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur, siap dimulai”.
Inspektur Upacara: “Sudah tahu!”
Anekdot ini dituturkan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi, menunjuk pada pribadi Drs. H. Choirul Anam, saat memimpin GP Ansor Jawa Timur. Kata “sudah tahu” terkesan mendahului informasi menyusul laporan seseorang bawahannya. Tapi, begitulah, Cak Anam memang memahami setiap denyut nadi dalam tubuh organisasi yang dicintainya, NU – sebelum orang lain mengetahuinya dengan lebih jernih.
Kini, lelaki kelahiran Jombang kelahiran 30 September 1954, telah mengakhiri khidmah dan pengabdiannya di NU. Setelah beberapa hari dirawat di RSI Jemursari Surabaya, Cak Anam mengembuskan nafas terakhir pada Senin, 9 Oktober 2023, dalam usia 69 tahun.
Innalillahi wa-inna ilaihi rajiun.
***
Di tengah ketengangan dan jebakan rutinitas kerja, seseorang membutuhkan pelepasan. Mencari keseimbangan guna memulihkan semangat. Satu-satunya tempat di Surabaya yang menjadi komunitas orang-orang pembelajar bergaya hidup bebas: Balai Pemuda. Di kompleks yang — pada zaman Hindia Belanda terpampang papan bertuliskan ‘Verboden voor honden en inlander’ (Anjing dan pribumi dilarang masuk) — menjadi tempat mangkal para seniman, aktivis dan intelektual, terdapat gedung yang bersebelahan dengan gedung utama. Di depan gedung kecil bersebelahan dengan Masjid As-Sakinah, terdapat pohon nangka, di bawah pohon itulah orang-itu berkongko-kongko, membicarakan segala hal berkait dengan perkembangan masyarakat. Kadang bicara politik, bukan hanya soal teater, perpuisian atau soal keseniannya, kadang isu-isu lain yang berkaitan headline berita suratkabar pada hari itu.
Suatu hari, saya menyaksikan Chusnul Huda Sholeh, membaca buku bersampul tebal dengan ukuran yang tak lazim, 22 cm x 21 cm. Judulnya, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Sebagaimana watak ‘egois’ orang-orang yang bermangkal di Bengkel Muda Surabaya (BMS), Chusnul Huda Sholeh, yang — kemudian saya mengetahui dia adalah putra KH Sholeh Qosim Sepanjang, kemenakan KH Imron Hamzah, Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur pada saat itu — dikenal sebagai aktor jumawa. Ia pernah memainan drama karya sutradara Basuki Rakhmat, juga sutradara Akhudiat yang cukup mengesankan bagi publik kesenian di Surabaya, berjudul Laboratium Gila. Setelah tadi membacanya seraya menutupi sampul buku agar tak diketahui orang, ia langsung memasukkannya ke lemari di ruang tengah gedung itu.
Sebagai tempat mangkal yang nyaman, saya pun mengenal banyak orang dengan latar belakang sangat beragam. Terkhusus dari pesantren, ada nama yang sempat mangkal di Bengkel — sebutan akrab para seniman terhadap BMS — seperti D. Zawawi Imron (Desa Batang-Batang, Sumenep), Acep Zamzam Noor (Cipasung, Tasikmalaya), Ahmad Syubbanuddin Alwy (Cirebon). Terdapat juga nama Masduki Baidlawi yang — saya ketahui dari salah satu kumpulan puisi yang diterbitkan BMS — jurnalis Majalah Tempo, kemudian Editor, kini menjadi kepala staf Wakil Presiden. Saya pun menjumpai figur-figur lain di kompleks gedung itu: Bambang Sudjiyono, Agil Haji Ali, Saiful Hadjar, Arif Bagus Prasetyo, Akhudiat, Rendra, Teguh Karya, Wiji Thukul, Oka Rusmini, Sosiawan Leak, Emha Ainun Nadjib, Arif Afandi, Yusron Aminulloh, Aribowo, Sirikit Syah, M. Anis, dan deretan nama dari pelbagai profesi dan bidang pengabdian, yang menghiasi perjalanan negeri ini.
Saya pun mengenal Halim H.D. Seorang yang dikenal sebagai networker kebudayaan asal Solo, inilah yang menerbitkan buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (cetakan pertama, Januari 1985). Halim bercerita, pada suatu hari di tahun 1984 melalui Saiff Bakham, mantan aktor Yogya yang mejadi jurnalis Tempo di Surabaya, ia mendapat info ada skripsi mahasiswa IAIN Sunan Ample yang menarik.
Halim HD pun dikenalkan kepada Choirul Anam, yang juga waktu itu reporter Tempo, majalah berita mingguan dengan Goenawan Mohamad sebagai pemimpin redaksinya, di kantornya di Jalan Kembang Jepun. Halim meminjam skripsi itu. Dalam dua-tiga hari di antara Surabaya dan Malang, Halim selesai membaca. “Minggu berikutnya saya kontak Cak Anam, mengundang ke Solo untuk teken kontrak.” Akhirnya, cetakan pertama perdana buku tersebut, dengan sampul didesain Ari Wijaya dari Bengkel Grafis Gelanggang, berhasil diterbitkan Penerbit Jatayu, Jalan Gumuk 10-B, Solo.
Memang, dari buku karya Cak Anam inilah, di antara kita bisa mengenal perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama lebih utuh, ditulis dari “orang dalam”. Saya kira, tak seorang pun menolak penilaian ini, sebagai buku babon NU. Meski kemudian pada waktu berikutnya, M. Ali Haidar pun menulis buku berjudul Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), dari disertasi yang dipertahankan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Saya pun mengetahui ketika Martin van Bruinessen, melakukan obrolan bersama Cak Anam bagi pengembangan kajian-kajiannya terkait semesta Pesantren, NU dan Islam di Indonesia. Bagi santri “gila NU” kurang sah bila tak mengenal karya ahli antropologi asal Belanda ini, khususnya karnya berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Termasuk buku wajib karya Choirul Anam, terdapat penulis lain seperti Andree Feillard, Mitsuo Nakamura, Gred Fealy, dan Gregorius Barton. Di tengah semangat para pengkaji NU, saya teringat nama Indonesianis, Benedict Anderson, yang pertama-tama menyayangkan sepinya NU sebagai ranah kajian pada era 1960-70an. Saat itu, hanya seorang, Mochtar Naim yang terpikat NU. Orang Minang ini, menulis tesis Master of Arts di McGill University (di Montreal, Quebec, Canada, berdiri sejak 1821), berjudul The Nahdlatul-Ulama Party (1952-1955).
Mochtar Naim, betapa pun, telah melakukan suatu kajian serius tentang asal muasal kesuksesan pada Pemilihan Umum 1955: Dari perjalanan NU di Kongres ke-19 (saat itu belum dikenal istilah “muktamar”) yang diselenggarakan di Palembang pada akhir bulan April 1952 merupakan suatu peristiwa yang menentukan. Hal ini membuka halaman sejarah perkembangan NU. Merupakan titik puncak tradisi gerakan yang telah berlangsung selama seperempat abad. NU, yang pada saat itu murni merupakan gerakan sosial, pendidikan dan keagamaan Islam, juga menjadi sebuah partai politik. NU telah diakui dalam kajian itu, menjadi seperti struktur miniatur Islam yang mencakup setiap aspek kehidupan.
Kita pun kemudian mengenal nama-nama Mahrus Irsyam dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Kacung Marijan (Universitas Airlangga, Surabaya), Ahmad Mansur Suryanegara (Univeritas Padjadjaran, Bandung), yang bertebaran tulisan soal NU dan perubahan sosial di Indonesia pada zaman pemerintahan Soeharto.
Begitulah, saya mengenal nama Choirul Anam sebagai penulis buku tentang perjalanan dan perkembangan NU, lalu ada yang menyebut sejarawan NU. Ia menulis NU dari dalam”. Istri Cak Anam, Emi Syamila binti KH Mudjri Dachlan, cucu Wakil Rais Akbar NU KH Achmad Dachlan Akhyad (almaghfurlah), sehingga memundahkan jalan bagi pengumpulan data-data penulisan sejarah awal berdirinya NU. Energi kreatifnya terpacu secara optimal, ketika menemukan data-data dan dokumen historis NU dari KH Umar Burhan, santri kesayangan Kiai Hasyim Asy’ari (almaghfurlahum), sebagai arsiparis NU. Di mataku, Cak Anam juga sebagai jurnalis dan tokoh media serta sebagai aktivis.
Kini, Cak Anam telah mengakhiri tugas-tugas kemanusiaan dan pengabdiannya di NU. Tapi, torehan pemikiran disertai tetesan air mata dan darah dalam menggerakkan energinya untuk NU akan tetap diingat. Cak Anam telah menorehkan nama harum dalam setiap langkah dan jejaknya. []