Alhamdulillah, kita memasuki tanggal 22 Oktober sebagai peringatan Hari Santri Nasional. Momentum perayaan hari santri ini adalah merupakan kenikmatan yang sangat besar, nikmat udzuma’ dan saya yakin ini adalah sebagai min ayyamillah.
Sebagaimana dalam al Quran disebutkan bahwa وَذَكِّرْهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِ ۚ (dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari besar Allah).
Hari Santri ini adalah hari yang sudah diperjuangkan sejak lama, dan pada 2015 lahirlah momentum peringatan Hari Santri Nasional sebagai hari kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT. Selain itu tentu sebagai tantangan untuk kita agar bisa membuktikan bahwa santri adalah sosok manusia yang mempunyai kemampuan, yang amanah, yang bukan hanya memikirkan urusan dunia akan tetapi juga urusan-urusan ukhrowi.
Saat ini, kita hidup di tengah-tengah fitnah dan sedang menghadapi beberapa situasi darurat. Mulai dari darurat ahlussunnah wal jamâ’ah (aswaja), darurat sami’na wa atha’na, darurat hoaks, hingga darurat radikalisme. Dalam situasi dan kondisi tersebut, setiap pengurus Nahdlatul Ulama tentu memiliki kewajiban moral untuk melakukan pembinaan terhadap umat Islam dan warga bangsa secara keseluruhan.
Secara khusus, kewajiban pembinaan terhadap jamaah nahdliyin juga melekat pada diri pengurus dan para tokoh Nahdlatul Ulama di semua tingkatan. Sebagaimana kita ketahui bersama, para mu’assis dan sesepuh Nahdlatul Ulama mengajarkan metode dakwah yang membina, bukan menghina. Dakwah yang merangkul, bukan malah memukul. Akan tetapi, kalau upaya pembinaan sudah tidak bisa dilakukan lagi, dan ancaman yang datang sudah sedemikian serius, bisa jadi kondisinya akan berakhir sebagaimana syair lagu Ya Lal Waton, “…siapa datang melawanmu, ’kan binasa di bawah dulimu.”
Sebagaimana para pendahulu kita telah berijtihad untuk melahirkan jam’iyah tercinta ini, maka di abad kedua ini kita perlu berijtihad untuk mengatasi kegoncangan dan erosi atau menipisnya pemahaman terhadap Nahdlatul Ulama (ghiyâbu ma’na Nahdlatil Ulama). Menjadi kewajiban kita untuk mengembalikan pemahaman yang kian menipis tersebut, sekaligus untuk menghadapi dan mempersiapkan generasi NU selanjutnya.
Sungguh kita adalah generasi yang beruntung karena diberi kesempatan untuk menjaga Nahdlatul Ulama. Saya yakin, Nahdlatul Ulama tidak akan bubar sampai hari kiamat. Akan tetapi, menipisnya pemahaman terhadap Nahdlatul Ulama bisa saja terjadi. Tanpa pembaharuan dan persiapan yang baik, bisa saja terjadi, Nahdlatul Ulama hanya tinggal rupa tapi tidak punya makna. Nahdlatul Ulama-nya besar, tetapi kalau tidak punya kekuatan akan menjadi santapan empuk bagi pihak lain.
Tiga Prinsip Santri
Bahwa 22 Oktober hari ini merupakan kebanggaan umat Islam khususnya santri. Santri itu bukan hanya yang sedang belajar di pondok pesantren atau surau-surau, tapi menyangkut semua mukmin muttaqin (orang beriman yang bertakwa).
“santri” itu dapat diartikan sebagai insan yang memiliki tiga prinsip berupa islam, iman, dan ihsan. Selama mereka punya tiga prinsip itu, merekalah disebut santri. Patut kita mensyukuri adanya Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober.
Bahwa sebenarnya Hari Santri merupakan sebuah jelmaan dari Resolusi Jihad yang terjadi di Surabaya oleh Syaikh Akbar KH. Hasyim Asy’ari dikumandangkan kewajiban berjihad untuk membela negara dan akhirnya dikumandangkan oleh Bung Tomo dengan takbirnya yang begitu heroik.
Resolusi Jihad atau yang kini diperingati sebagai Hari Santri itu melahirkan bangsa memiliki negara kesatuan Indonesia. Dengan hari santri itulah, kita akhirnya punya negara, berdaulat. Tanpa hari santri kita mungkin terus terjajah, terus menjadi bangsa yang diperbudak, bangsa yang hanya dikuras segala apa yang kita miliki.
Bahwa santri haruslah mampu membawa perubahan yang lebih baik dan tetap eksistensi menjadi pembela garda terdepan dalam menjaga 4 pilar bangsa Idonesia ini. Yakni Pancasila sebagai ideologi negara yang harus kita junjung tinggi dan UUD 45 sebagai konstitusi negara yang tak bisa diganggu gugat lagi.
Kemudian kebudayaan yang dari sejak berdirinya negara ini merdeka karena kerukunan dalam bingkai Kebhinnekaan Tunggal Eka. Dan tetap berkomitmen bahwa NKRI harga mati untuk selalu terjaga dari negara Indonesia.
Hari Santri adalah upaya bagi umat Islam untuk menampilkan keislamananya, sebagaimana Islam itu hadir dan diturunkan kepada Rasulullah SAW. Santri jika dilihat dari sisi perilakunya adalah sosok yang berpegang teguh pada tali agama Allah, mengikuti sunnah Rasullah, serta tidak condong ke kiri maupun ke kanan.
Oleh karenanya, kelak Rasulullah Saw akan menjadi saksi atas amal perbuatan para santri dan begitupula sebaliknya para santri akan menjadi saksi atas kebenaran ajaran Rasulullah saw.
Seorang santri yakni senantiasa berkutat dengan hal-hal yang berkenaan dengan agamanya dalam semua aspek kehidupannya. Santri ialah orang yang arif dengan keadaan realitas yang terjadi di masyarakat sekitarnya sehingga apa yang ia sampaikan sesuai dengan dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Kemampuan inilah yang harus dimiliki, termasuk warga NU di dalamnya. Saat ini kita dihadapkan era bonus demografi dimana usia produktif sangat dominan. Mereka akan cenderung untuk mengejar kehidupan yang sejahtera.
Jika mereka tidak diiringi dengan nilai-nilai kesantrian yang dibekalkan pada generasi seperti ini, maka kelak akan muncul generasi yang tamak dan berebut kemawahan. Oleh karenanya, kecerdasan spiritual yang termasuk di dalamnya nilai-nilai kesantrian harus diimplimentasikan kepada generasi usia produktif ini kelak, agar siap menghadapi bonus demografi. Tentu dengan cara memperkuat pemahaman agama serta memperkuat nilai-nilai kesantrian.
Inilah hal yang patut menjadi renungan kita bersama di tengah kegembiraan dan kemeriahan perayaan Hari Santri setiap bulan Oktober. Kita harus selalu mengingat bahwa Hari Santri adalah salah satu titik krusial dalam momentum perjuangan bangsa, bukan sekadar perayaan agenda suka cita. Semoga momentum peringatan Hari Santri tahun ini menjadi tambah nilai pada kehidupan kita, perjuangan kita, motivasi, untuk terus meraih yang terbaik dalam kehidupan kita.
Selamat Hari Santri dan semoga santri menjadi central sosok pemimpin kelak yang akan membawa Indonesia menjadi negara yang baldatun tayyibatun warobbun ghofur dan semoga Allah memberikan pengampunan kita semuanya, kesuksesan kita dunia
dan akhirat. (*)