SIMPUL mata rantai emas sanad keilmuan ulama nusantara telah lama terjalin dari masa ke masa. Mata rantai sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang ada di Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari merantau itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme.
John R Bowen dalam artikelnya “Intellectual Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam” menulis, ulama Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah. Kembali ke Indonesia membawa semangat pembaruan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam.
Gerakan ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam dari campuran nilai-nilai lain. Meski awalnya organisasi ini bersifat kultural dan ke daerahan, pola tersebut kemudian berkembang men jadi gerakan modern.
Jejaring ulama Nusantara ini sudah lama diteliti Dr Asyumardi Azra dalam disertasi asli “The Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian “˜Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir 1992, guna memperoleh gelar PhD.
Dalam penelitiannya ini, Prof Azyumardi Azra, kemukakan lebih jauh, bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia. Khususnya dalam kaitannya perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
Karena tidak mungkin, pembaharuan yang terjadi di berbagai negara muslim ini tanpa adanya mata rantai yang sambung-bersambung (sanad ilmu: mata rantai keilmuan) dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Timur Tengah.
Dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di nusantara pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah. Bukanlah sekedar dilandasi faktor politis. Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12. Hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi.
Pada masa berikutnya, akhir abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas. Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran agama Islam. Sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat diantara keduanya.
Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paru kedua abad ke-17. Hubungan yang terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor politis.
Dua Kekuatan Besar
Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani. Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para penguasa di Haramayn.
Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini. Kemudian menjadikan ulama dari nusantara meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan serta intelektualnya.
Daris sinilah kemudian semenjak paruh kedua abad ke-17 ini. Hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual. Selain juga hubungan sosial-keagamaan.
Melalui pendekatan penelitian historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis, penulis dapat menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi di kawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern.
Dari penelitian little tradition yang ada di kawasan periferi ini. Terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan. Pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn. Dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition.
Jaringan ulama yang telah lama terbangun dalam wilayah internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan ulama Melayu-Indonesia. Bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi muslimin di nusantara. Karena jaringan ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim.
Ulama Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut. Dimana pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di wilayah Islam nusantara.
Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci digunakan Azyumardi Azra dalam menguak jejaring ulama nusantara yang menjadi sangat penting dan menentukan. Pertama adalah kata Jaringan.
Dengan jaringan ini maka diantara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi besar (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, diantara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah).
Kedua adalah kata Transmisi. Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan seseorang untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari daerah tertentu. Tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya.
Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang dilakukan seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di Haramayn. Tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia muslim, seperti Melayu-Indonesi (Nusantara).
Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing.
Ulama-ulama nusantara memberikan sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena, pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara ulama di Timur Tengah dengan para ulama di nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17. Terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan).
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam. Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam.
Neo Sufism
Islam di masa ini bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik). Akan tetapi Islam yang merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism). Terjadinya perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta peranan masing-masing.
Dengan adanya kesadaran yang demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme. Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama melayu dalam jaringan ulama internasional. Pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan.
Perkembangan pemikiran dan keilmuan di dunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan mata rantai sanad keilmuan (ijazah ilm) yang terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai dunia Muslim.
Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut.
Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya.
Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali Songo). Sebagian mengatakan dari India (Gujarat), sebagian lain dari China (melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan internasional yang berpusat di Haramain (Makkah).
Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramain. Kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme.
Lalu, bagaimana peran ulama di nusantara terhadap pembaharuan Islam?
Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1937, Sayid Idrus (Guru Tua) dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin, Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru, Khalid, Guru Marzuki Cipinang Muara, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhadjirin Amsar ad-Dari, KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH Fatullah Harun, KH Zayadi Muhajir dll). Sementara tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual muslim, tampil Dr Moh Hatta , KH Abdul Wachid Hasyim, Ir Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) dan lain sebagainya.
Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama baik Jumhuriyyah Indunisie maupun pergerakan nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new emergyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam moderat. Gerakan Islam yang tradisional , moderat dan toleran itu masih berkembang hingga kini telah mewarnai, bentuk dan serta corak gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya kemasyarakatan dalam bingkai NKRI. (***) Aji Setiawan
Penulis, Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta menulis lepas di banyak media online