Oleh: Riadi Ngasiran
(Ketua Tim Prasasti Monumen Resolusi Jihad NU, Surabaya).
“Jangan kalian jadikan keengganan mereka untuk mengikuti kalian, sebagai alasan untuk perpecahan, pertikaian dan permusuhan. Sesungguhnya perpecahan, pertikaian dan permusuhan adalah kejahatan yang mewabah dan dosa besar yang bisa merobohkan tatanan kemasyarakatan dan bisa menutup pintu kebaikan.”
Demikian Fatwa Mawaizh disampaikan Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, disampaikan pada forum Muktamar ke-11 Nahdlatul Ulama (NU) di Banjarmasin pada 1935.
Fatwa legendaris ini berpengaruh luar biasa bagi gerakan umat Islam tentang semangat persatuan (ukhuwah) dan perjuangan: “Bahwa kemenangan kita semua bergantung kepada bantu-membantu dan persatuan yang padu di antara kita”.
Dalam fatwa itu, Pendiri Pesantren Tebuireng Jombang menyematkan semangat nasionalisme melalui kalimat “Daerah kita satu belaka: Jawi”. Kata “Jawi”, dalam naskah diterjemahkan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) tersebar secara luas lewat majalah Panjimas untuk menyebut Indonesia.
Fatwa Kiai Hasyim Asy’ari direspon positif oleh umat Islam, khususnya para pemimpin kelompok-kelompok Islam. Seperti Muhammadiyah, Partai Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama dan sebagainya, membentuk suatu gerakan. Gerakan itu diekspresikan dengan mendirikan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937.
MIAI mengusung semboyan dari Al-Quran: Wa’tashimu bihablillahi jami’aw wala tafarraqu, wadzkuru...(QS Ali Imron: 103). Artinya,”Berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah, jangan berpecah belah”.
Meski telah dibentuk organisasi, masih ada kelompok Islam yang bergerak dengan haluan sendiri. Misalnya, Haji Madrais melakukan gerakan dikenal Perlawanan Karangampel, dan Kiai Zainal Musthafa dengan Perlawanan Sukamanah, Tasikmalaya. Disadari betapa perlawanan ini tak menemukan titik kemenangan sehingga memberi pemahaman kepada Kiai Hasyim Asy’ari agar para santri yang berjuang mendapat pendidikan militer (milisi santri, kelak tergabung dalam Barisan Hizbullah dan Sabilillah).
Dari fakta sejarah inilah, Muhammad Asad Syihab menulis kitab Al-Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari waadli’u Labinati Istiqlaali Indonesia (“Mahakiai Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia” atas terjemahan KH A Mustofa Bisri).
KH Abdul Hakim Mahfudz, Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, mengingatkan soal perjalanan bangsa Indonesia, tak lepas dari peran leluhurnya. Kami, saya bersama Gus Miftah (Sekretaris PCNU Surabaya) serta Andri dan Prayitno, ingatan saya tersegarkan kembali. Silaturahim pada ujung Juli lalu, kami tersadarkan betapa peran Kiai Hasyim Asy’ari bukan sekadar pendidik dan pejuang di tengah masyarakat yang berubah. Tapi, mempersiapkan secara cermat sejak awal abad ke-20, sebelum Kebangkitan Nasional 1908.
Pertempuran 10 November 1945, demikian Gus Kikin (panggilan akrab cicit Mbah Hasyim) menegaskan, jangan dibayangkan seperti tawuran warga kampong secara besar-besaran. Tapi terdapat milisi organik yang telah dipersiapkan: para santri dalam Barisan Hizbullah dan Sabilillah. Darimana para santri itu mampu memegang senjata (hasil rampasan dari Tentara Jepang yang kalah perang) bila mereka tak pernah dilatih?
Gus Kikin berkisah tentang muktamar NU pada 1940, Kiai Hasyim Asy’ari menyebut nama Sukarno sebagai pemimpin Indonesia kelak. Di kemudian hari, Sukarno ternyata kagum pada Mustafa Kamal Attaturk, tokoh revolusi Turki yang menggulingkan Dinasti Utsmaniah, menimbulkan reaksi dari kalangan ulama pesantren. Tapi, Kiai Hasyim Asy’ari meyakinkan: Kusno-lah (nama kecil Proklamator Kemerdekaan RI itu), figur yang memahami masalah pemerintahan.
Ketika Indonesia telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, langkah-langkah Presiden Pertama RI itu ragu ketika menghadapi tentara Sekutu. Dalam suasana kecamuk api Revolusi menyusul terbunuhnya Jenderal Mallaby di Surabaya, Bung Karno justru berusaha meleraikan Arek-Arek Surabaya agar menghentikan pertempuran. Saat itulah, para santri yang telah mendidih darahnya dari Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad NU, justru secara tegas membela Negara yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta itu, sehingga pecah Pertempuran 10 November 1945.
Saat membacakan Proklamasi, Bung Karno harus dipaksa para pemuda revolusioner setelah diculik di Rengasdengklok. Pertempuran di Surabaya itu tak akan terjadi bila sikap Bung Karno yang menyuruh berhenti dituruti. Para santri dan arek-arek Surabaya lebih terdorong Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad hingga mampu mempertahankan RI. Sementara daerah lain telah luluh-lantak, seperti Pertempuran Ambarawa, Semarang, dan daerah lain di Indonesia telah dikuasai Sekutu.
Jas Merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Para kiai pun mengingatkan Jas Hijau; Jangan sekali-sekali hilangkan jasa para ulama. Saat Revolusi di Surabaya, Bung Karno bersusah payah menghentikan adanya pertempuran. Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad NU, katalisator pertempuran Arek-arek Surabaya 1945, justru mendidihkan semangat Api Revolusi demi tegaknya Negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Di tengah keragu-raguannya, revolusi Indonesia membuktikan Bung Karno terlebih dulu harus dipaksa dan diculik di Rengasdengklok, sebelum bersedia membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bersama Bung Hatta. Jas Merah!
Berikutnya pun di tengah gejolak politik yang berubah di ujung kekuasaannya, Bung Karno pun ragu untuk membubarkan PKI, setelah terbukti melakukan makar, berkhianat pada Negara di ujung September 1965. NU pun melayangkan Resolusi Mengutuk Gestapu tertanggal 5 Oktober 1965. Tetap ingat sejarah, Jas Merah!
Dialog bersama Gus Kikin begitu bersemangat. Semangat yang diwariskan leluhurnya, demi kemajuan Indonesia.
*) Nahdliyin journalist cum historian.