Laku Hidup Pemimpin Idaman

0

Seorang utusan tiba dan menyampaikan kabar gembira kepada Khalifah Umar bahwa kota suci Yerussalem telah ditaklukkan. Sayyidina Umar yang tinggal di Jabiyah diminta membuat jaminan bahwa penyerahan dilakukan secara damai dan warganya mendapat perlindungan.

Memang, selama penyerangan itu, Umar tinggal di Jabiyah, sebuah kota yang terletak di antara dataran Hauran dan Dataran Tinggi Golan. Pada mulanya kota ini adalah ibu kota Ghassaniyah, yaitu suku Arab yang menjadi bawahan Kekaisaran Romawi Timur. Setelah wilayah Syam ditaklukan kota ini menjadi perkemahan utama pasukan Muslim. Khalifah Umar menggelar pertemuan tokoh-tokoh penting Muslim di kota ini, dan di pertemuan inilah mereka memutuskan pengaturan wilayah Syam dan gaji untuk militer.

Umar segera menulis surat perlindungan bahwa pasukan Islam tidak akan mengusik gereja, isinya dan juga umatnya. Bagi mereka yang menyerah akan dijamin keamanan dan darahnya. Hanya mereka diharuskan membayar jizyah. Tidak ada keharusan masuk Islam. Bagi sisa-sisa pasukan Byzantium dipersilahkan meninggalkan Yerussalem dengan jaminan perlindungan pasukan Islam.

Yerussalem atau Al-Quds dikuasai dengan jalan pengepungan bukan penyerangan karena banyaknya situs bersejarah. Khalifah Umar memerintahkan Amr Ibn Al Ash dan Syarhabil Ibn Hasanah untuk menguasai Yerusalem pada tahun 635 M. Pasukan Yazid Ibn Abi Sufyan bergereak menaklukkan wilayah selatan seperti Tyre, Acre, hingga Haifa. Usai menaklukkan Haifa, Yazid dan pasukannya bergabung dengan Amr. Dua kekuatan militer ini lantas berjalan menuju Yerusalem.

Pangeran Konstantin II, penguasa wilayah Caesarea di Palestina merasa gelisah dengan pergerakan pasukan Islam ke Yerusalem. Dari kota di pesisir Levantina ini, ia meminta bantuan pasukan Byzantium dari Siprus dan Konstantinopel. Pasukan Byzantium di bawah komando Artavon berusaha menghadang laju pasukan Islam yang harus melewati daerah Caesarea untuk bisa sampai ke Yerusalem.

Tapi, pasukan Amr dan Yazid dengan mudah mematahkan perlawanan pasukan Artavon, yang kemudian ia melarikan diri ke Yerusalem. Khalifah Umar segera memerintahkan penambahan pasukan untuk mendukung Amr. Pasukan yang dipimpin Ubaidah, Khalid, dan Mu’awiyah datang  setelah menaklukkan Suriah dan pesisir Levantina. Pasukan Islam mengepung kota ini selama musim dingin.

Artavon tidak ingin menyerahkan kota ini kepada pasukan Islam. Sebaliknya, Patriarch menginginkan Yerusalem diserahkan pada pasukan Islam secara damai. Dia yakin kedatangan pasukan Islam sebagai bentuk kehendak Tuhan. Perdebatan itu disaksikan warga Al-Quds di dalam gereja di benteng Yerussalem.

Mereka menyetujui ide pimpinan agama mereka. Utusan gereja menemui pasukan Islam dan menyampaikan pesan itu. Pasukan Byzantium dibiarkan menuju Mesir. Khalifah Umar diminta datang ke Yerusalem untuk serah-terima “kunci kota”. Abu Ubaidah yang menerima utusan gereja itu menyanggupi permintaan yang ada.

—0—

Umar begitu gembira menuju Yerussalem sampai tak sempat melakukan persiapan. Dilihatnya hanya ada seekor unta yang bisa dipergunakan sebagai kendaraan menuju Syam. Padahal Umar harus membawa serta seorang pendamping, Aslam, mantan budak yang telah dimerdekakannya.

Aslam, menerima perjalanan dari Jabiyah menuju Yerussalem yang memakan waktu tiga hari itu harus ia laksanakan dengan jalan kaki. Unta hanya akan dinaiki Amirul Muikminin. Tapi, tidak demikian dalam pikiran Sayyidina Umar. ia ingin kendaraan itu dinaikinya secara bergantian secara adil.

“Biarlah Aslam. Ini tugas penting saya. Kita nanti bergantian. Setelah aku naik satu farsakh dan engkau menuntunnya, maka giliran engkau yang naik dan aku yang menuntunnya hingga satu farsakh berikutnya.”

Aslam, sebagai bawahan dan mantan hamba sahaya Umar menolak. “Biarlah saya berjalan wahai Amirul Mukminin. Tuan saja yang menaikinya. Saya sangat bahagia mendampingi Amirul Mukmimin meski dengan berjalan kaki,” kata Aslam.

“Tidak, kau tak boleh kusiksa dengan jalan kaki. Biarlah, seperti yang sudah aku tetapkan tadi, kita bergantian naik unta secara adil.”

Semula Aslam begitu canggung menaiki unta setelah satu farsakh perjalanan. Tapi, Umar memaksanya. “Kaulah kini yang naik Aslam.” Umar ikut mendorong membantu menaikkan Aslam agar ia tak cangung menaiki unta. Setiap pergantian naik, Umar selalu mengistirahatkan untanya agar tidak terlalu terkuras tenaganya serta ia lakukan salat.

Perjalanan dilakukan selama tiga hari. Pada malam hari Umar istirahat. Umar memanfaatkan waktu istirahat ini hanya untuk salat dan melepas letih. Ia salat sangat lama. Aslam menjaganya dengan setia.

“Tuanku tidak tidur?” tanya Aslam.

“Aku bisa istirahat dengan salat. Jiwaku terasa tenang dengan salat. Letihku hilang dengan menghadapkan diriku kepada Allah azza wa jalla.”

BACA JUGA

Aslam pun kemudian ikut salat di malam itu. Ia benar merasakan keindahan dan ketenangan batin di kala gurun meniupkan angin segar di malam hari. Cahaya menguning di atas pundak gunung batu semakin memperindah malam di musim dingin ini.

Usai salat subuh dan usai minum beberapa teguk air, Umar kembali berangkat.

“Giliranmu Aslam, naiklah!”

Ketika akan memasuki Al-Quds, Umar harus melampaui jalan berlumpur yang semula memang digunakan pasukan Byzantium untuk menghambat laju pasukan Islam dengan membobol sungai. Saat itu giliran Umar yang mentuntun unta. Maka Umar kemudian melepas sandalnya dan digamit di ketiak kirinya. Sementara pakaiannya sedikit dinaikkan agar tidak terkena lumpur.

Gubernur Ubaidah bin Jarrah menyambut sebelum pintu masuk Yerussalem. Ia sangat kaget melihat atasan yang selalu menjadi panutannya jalan kaki dengan mengangkat sedikit jubahnya dan menggamit sandal di ketiak kirinya. Bajunya lusuh dan kumal dan ada beberapa jahitan mencolok mata di bagian lengannya.

“Wahai amirul mukminin, dengan cara demikiankah engkau melakukan perjalanan,” kata Abu Ubaydah bin Jarrah sambil meneteskan air mata.

“Ini bukan masalah dan tidak menderaku dalam perjalanan. Semua aku lakukan dengan senang hati.” Umar menjawab sambil tersenyum.

“Wahai Amirul Mukminin para pembesar Yerussalem dan gereja akan menemui Tuanku dan sangat tidak layak jika tuan Amirul Mukminin tampil dengan cara ini.”

Umar tak berkomentar. Ia kemudian menatap wajah Ibnu Jarrah.

“Abu Ubaydah, innama a’azzanallahu bil Islam fala ubali min maqalatin nas (Allah telah memuliakan kita dengan Islam maka aku tak peduli dengan apa yang dikatakan orang).” kata Umar yang tak sedikit pun mau melepas kekangan tali untanya meski sudah diminta oleh beberapa orang, termasuk Aslam.

Abu Ubaydah terdiam. Di depan sudah menunggu para pembesar Yerussalam dengan pakaian yang serba mewah. Mereka datang menghampiri Umar dengan sangat hormat. Mereka tak menyangka jika pemimpin umat Islam itu begitu bersahaja. Tak mengendarai unta berhias sutera. Tak ada satu legiun pengawal bersenjata, selain seorang pembantu bernama Aslam. Penduduk kota menyangka Umarlah yang naik di punggung unta. Justru sebaliknya, yang di punggung unta adalah pembantu Umar.

“Lihatlah, sungguh ini suatu kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan Nabi Daniel ketika ia datang ke tempat ini,” kata Uskup Patriarch Sophronius.

–0–

Umar disambut Uskup Patriarch dan diajak ke beberapa tempat suci di kota. Uskup membukakan Gereja Makam Suci kala waktu lohor tiba. Umar dipersilakan salat dulu di gereja itu. Namun, hal tersebut ditolak Umar. “Jika saya melaksanakan salat di gereja ini, saya khawatir para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini di masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini dan kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah salat di dalamnya. Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya salat di luar,” ucap Umar yang tetap menghormati pemeluk agama lain dalam wilayah perlindungan Islam.

Umar menyaksikan bendera dan lambang resmi dari Patriark Ortodoks Yerusalem itu dalam gambar sebuah labarum (lambang) putih, sebuah gedung gereja dengan dua menara, dan pada bagian atas terlukis sebuah bulan sabit hitam yang menghadap ke tengah serta sebuah bintang bersinar terang.

Ketika Umar meminta diantar ke bekas Kuil Sulaiman, dia mendapati reruntuhan itu tidak terawat. Ada banyak kotoran dan timbunan sampah. Umar dan sahabat lainnya membersihkan tempat itu dan menjadikannya tempat salat. Selanjutnya, di tempat ini berdiri sebuah masjid atas perintah Umar. Masjid itu kemudian dinamai dengan Masjid Umar atau Al-Qubbatusy Syakhra.

Semua merindukan Sayyidina Umar.

Dikutip dan dikembangkan dari Umar ibnul Khattab oleh Dr. Musthafa Murad dan Dzurratun Nashihin oleh Syekh Ali Al-Khubuwi. (Musthafa Helmy)

Leave A Reply

Your email address will not be published.