Ketika Ulama Berbahasa ‘Melajeng’

0

Majalah Suara NU nomor 7 tahun pertama yang terbit  26 Syakban  1346 atu 1 November 1927, yang selama ini mempergunakan bahasa Jawa Kromo Inggil dengan tulisan Arab Pegon, kini pada satu halaman (dan sekali-kalinya) tampil sedikit beda.

Tulisan tetap pakai Jawa pegon atau Arab Melayu namun dalam satu halaman itu ia khususkan mempergunakan Bahasa Melayu (Indonesia). Uniknya, seperti tradisi orang Jawa dalam menghormati sesuatu selalu meng-kromoinggil-kan. Misalnya, kata Madura menjadi Medunten. China menjadi Cinten. Jawa menjadi Jawi. Bahkan Melayu yang seharusnya tetap karna nama suku juga di-kromoinggil-kan menjadi Melajeng.

Melayu dalam Jawa berarti lari. Ini tertera dalam judul tulisan tersebut. “Karangan Ngandap Puniko Ngangge Tembung Melajeng”  yang artinya tulisan di bawah ini menggunakan bahasa Melayu. Lantasm judul kecilnya bertuliskan: ‘Kelakuan yang perlu diperhatikan’.

Tulisan itu mengomentari keadaan pemuda dan perlunya kesadaran berorganisasi (perkumpulan) di zaman itu. Penulisnya tak dicantumkan. Hanya, redaksi yang paling rajin menulis di media itu adalah KH Mas Alwi bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai pengusul nama Nahdlatul ulama. Redaksi yang lain adalah KH Dahlan Ahyad, KH Bisri Sansuri tentu saja dibawah pimpinan KHA Wahab Hasbullah.

Baiklah kita simak tulisanya tanpa mengubah gaya tulisan dan redaksionalnya.

“Kelakukan yang perlu diperhatikan”

“Di dalam zaman  yang akhir ini bermacam-macam kesukaannya pemuda-pemuda kita. Ada yang suka sama surat kabar. Ada yang suka sama perkumpulan. Dan ada pula yang suka sama kehormatan, jika dihormati orang bagitu dirinya bertambah-tambahlah angkernya seolah-olah ia sebagi satu raja yang sedang duduk di atas majelis kerajannya, dihadapi oleh sekalian wazirnya.”

“Jika tidak dihormati  orang baginya maka berdayalah ia berbuat fitnah dan mencela kelakukan-kelakuannya orang yang tak menghormati baginya.

“Adapun tabiat yang demikian itulah yang melesetkan derajat kita kaum muslimin sebab tak boleh tidak sifat kedengkian itu musti terkandung dalam hatinya. Jika melihat bangsanya menghadap ke jurusan kemajuan maka datanglah kedengkiannya sebab takut nanti hilang kehornatannya. Jika seorang bangsanya mendapat nama yang baik merasalah kurang senangnya dan bergiatlah ia akan membusuk-busukkannya.

“Yang suka perkumpulan itu kita sangat pujikan padanya sebab perkumpulan yang menuju ke jalan kebaikan yaitu satu nama yang gilang gemilang di atas bumi ini.

“Dan perkumpulan itulah yang bisa memperhubungkan kita satu sama lainya yang bisa menjadikan tolong menolong dalam hal kesukaan dan kedukaan. Jika ada satu tujuan yang penting maka lantas bisa lekas kesampaian. Sebab itu perkumpualan sudah tentu itu satu keuntungan pada sekaliannya. Menjadi pokok artinya perkumpulan itu sangat pentingnya pada sekalian golongan.

Tapi sebegitu jauh pengetahuan kita kebanyakan perkumpulan-perkumpulan tidak bisa berdiri dengan kuat dan takut karena boleh jadi bestur (pengurus, Red.) dan led (anggota, red) nya belum mengetahui kepentingannya perkumpulan. Selainnya dari bestur perhadir yang atau led-nya perhadir yang mereka tak mau datang atau tanya.

“Dalam perhadir yang mereka diam saja terbungkam mulutnya, tetapi kalau sudah keluar baharulah keluar suaranya ini itu si anu tidak bagus kelakuannya atau tidak pantas jadi itu. Semuanya salah.

“Tetapi mengobrol di luar saja inilah satu penyakit yang berbahaya kepada perkumpulan jika ada mempunyai bestur atau sejumlah led yang bersifat seperti tersebut. Lagi kebanyakan led-nya perkumpulan punya pendapatan jika setiap bulan membayar kontribusi sudah jalankan betul kewajibannya. Jadi maksudnya, asal sudah jelas bayar konstribusi tidak menunggak lagi sudah cukup tinggal menonton saja filmnya bestur-bestur bagaimana  bolehnya menjalankan rol-nya di muka tabir.

”Yang dimaksudkan oleh perkumpulkan bukannya  bayar konstribusi  saja musti dengan tenaga pula buat di waktu apa saja ada bersedia untuk perkumpulan dan selalu berdaya supaya makin hari makin maju perkumpulannya. Dengan jalan begini barulah perkumpulan bisa menunjukkan kekuatannya  kepada led-nya.”

“Juga perkumpulan tidak bisa berdiri dengan teguh kalau bestur dan led-nya tidak tidak berusaha dengan sungguh-sunguh hati.

“Kalau orang jadi bestur atau led dari perkumpulan maka hendaklah ia menjalankan betul-betul kewajibannya perkumpulan yang dimaksudkan di atas.  Bukannya bekerja tiap-tiap hari untuk itu saja, hanya cuma bersisa waktu apa saja jika ada keperluan. Kita musti bisa lantas gunakan tenaga maupun pikiran supaya perkumpulan itu tetap bisa hidup dengan tidak ada bantuan dari led-nya.

“Bestur-bestur perkumpulan pada makna lahir adalah kepala dari lid-nya. Tapi pada makna batinnya ialah cuma bisa dibilang atau diartikan sebagai wakil dari led-nya saja. Dan di sembarang waktu bisa dipecat oleh led-nya jika tidak menjalankan kewajibannya. Adapun bestur dari perkumpulan itu terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh lid-Nya buat mewakili sekalian pekerjaan.” (MH)

Leave A Reply

Your email address will not be published.