Bapak Ibu hadirin yang saya hormati, ini adalah investasi yang dilakukan pemerintah pada dasarnya untuk menjaga memelihara kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai negara Pancasila berdasarkan UUD 45 dan persendikan Bhineka Tunggal Ika ini prestasi yang strategis. Bahwa Kementerian Agama bekerja sama dengan LPDP karena yang diikut sertakannya adalah Gus-gus dan Ning-ning. Ada Gus Idror, ada Gus Adib dan lain-lain, Masyaallah.
Kalau soal wawasan, makom panjenengan semua, para Gus dan para Ning yang berangkat ini sebetulnya makom ngajari daripada diajari, orang-orang Jerman harus belajar dari sampean semua.
Nah, selama sekian puluh tahun urusan moderasi, toleransi, harmoni antar agama ini menjadi aktivisme bahkan menjadi tradisi di kalangan para pengampunya, saya jadi aktivis dialog antar agama itu sejak tahun 80-an, saya melihat bahwa para aktivis dialog antar agama itu makin lama semakin bingung mau ngapain dengan dialog tersebut.
Tahun 2017 Wakil Presiden Amerika Michael Pence datang ke Indonesia, kemudian diadakan forum interface dialog di Istiqlal, kebetulan saya diperintah untuk datang mewakili PBNU, dan Kebetulan saya diberi waktu bicara agak akhir.
Saya katakan, sudah sejak kapan kita bikin kegiatan seperti ini, kita lakukan kegiatan seperti ini sudah berapa lama? kita melakukan kegiatan seperti ini How long have we been doing all this and what’s the result? apa hasilnya? apakah keadaan menjadi lebih baik? nyatanya keadaan tidak menjadi lebih baik bahkan memburuk.
Sejak tahun 80-an yang namanya konflik terkait dengan agama itu semakin memburuk secara global maupun secara domestik. Bahkan di negara yang katanya negara Bhineka Tunggal Ika seperti Indonesia, konflik antar agama justru juga tetap bermunculan dalam skala yang semakin besar.
Saya bilang, ini semua melakukan dengan cara yang salah. Kita harus mencari cara lain supaya kegiatan lebih berguna, dan menurut saya, pertama-tama harus dimulai dengan kejujuran. kita semua harus jujur tentang masalah yang harus kita hadapi, ini baru kita bisa melangkah ke depan.
Dulu, ketika Indonesia ini dijajah Belanda, ketika orang-orang pribumi menjadi warga negara kelas rendah dari orang Arab dan orang Eropa, nggak ada orang bicara soal toleransi beragama.
Kemudian berubah ketika masyarakat nasional mencapai konsensus untuk membangun Tata dunia baru yang didasarkan atas perdamaian, sehingga lahirlah piagam PBB disusul kemudian dengan Universal Declaration Human Rights dan seterusnya jadi konteks dari kebutuhan untuk toleransi moderasi dan sebagainya, itu asalnya dari konsensus politik Internasional
Lebih parah lagi karena kemudian ada kepentingan-kepentingan politik yang sengaja menciptakan konflik-konflik, sengaja menciptakan konflik-konflik ya, sehingga hubungan yang memang sangat rentan antara kelompok yang berbeda agama ini menjadi mewujud ke dalam konflik yang menjadi-jadi di berbagai belahan dunia.
Ajibnya buat bangsa Nusantara toleransi antar beragama bukan barang baru. Dari dulu bangsa Nusantara menerima Islam begitu saja tanpa mempersoalkan mereka yang yang mungkin belum mau menerima atau belum sepenuhnya menerima, makanya misalnya di kalangan masyarakat Jawa itu tidak dikenal terminologi kafir. Semua orang Jawa Itu Islam.
Tantangan Sekarang
Nah, tantangan kita sekarang adalah bagaimana meletakkan semua ini ke dalam bingkai wawasan keagamaan. Semua kitab-kitab yang dipelajari sebagian besar merupakan wawasan, buah dari wawasan yang mapan. Sejak abad pertengahan tumbuh di tengah masyarakat yang konteksnya adalah konflik antar kelompok identitas, maka tidak heran kalau kemudian wawasan tentang hubungan antar kelompok agama yang berbeda ini masih wawasan-wawasan yang berdasarkan konflik.
Jadi kalau kita bicara soal wacana akademis, wacana intelektual dalam wawasan keagamaan, kita ini sama saja dengan Syria, Irak, Yaman, Libya, Saudi Arabia, wong kita ngaji kitabnya sama.
Trus dari mana asalnya toleransi beragama tumbuh di kalangan umat Islam Indonesia khususnya di kalangan Nahdatul Ulama ini, dari budaya asal Nusantara. Karena budaya wawasan budaya Bhinika Tunggal Ika sudah dimulai sejak abad ke-14 Bhineka Tunggal Ika.
Pertama kali dalam sejarah peradaban umat manusia, ada kerajaan menolak identitas agama adalah di nusantara yaitu kerajaan Majapahit. Ketika menyatakan Bhineka Tunggal Ika, itu adalah penolakan terhadap identitas agama bagi negara belum ada sebelum itu abad ke-14.
Jadi kalau NU ini sekarang, kiai-kiai NU toleran itu marojehnya bukan dari kitab, dari budaya. Nah, tantangan kita adalah bagaimana kita memasukkan elemen budaya ini, mengintegrasikan elemen budaya ini, ke dalam wawasan akademis, wawasan keagamaan yang muktabar.
Sampai hari ini ya kita belum sepenuhnya ketemu jawabannya, kita baru sampai pada jawaban bahwa karena kita sudah menyetujui satu konsensus internasional, maka kita terikat dengan konsensus itu ya atas dasar prinsip almukminuna ala syurudihim.
Walaupun tadinya norma dasarnya adalah konflik, karena sudah tanda tangan damai ya sudah kita terikat dengan perjanjian damai dan itu dilakukan juga oleh Rasulullah Muhammad SAW. Kita belum sampai pada jawaban dan sekarang kalau sudah tanda tangan damai tapi pihak lain ternyata tidak setia pada perjanjian itu, sikap kita bagaimana? kita belum sampai ke jawaban itu. ini masih sesuatu yang harus terus digali. Jadi ini pesan yang pertama.
Soal begini orang Jerman enggak ngerti apa-apa, serius. Orang Jerman bahkan mereka yang katanya ahli-ahli studi Islam itu gak ngerti apa-apa, saya sudah ketemu semua orang-orang itu goblok semua mereka. Sampean yang harus ngajari mereka ke Jerman, makam sampean makam mengajar, bukan diajari.
Yang kedua, penting buat sampean semua para peserta untuk melihat dunia. Sampean selama ini cuma apa namanya mengetahui bahwa hum fi dholalimubin itu cuma dari kitab. Nah, sampean sekarang ke Jerman saksikan bagaimana dolalnya orang-orang itu. Supaya sampean ngerti mereka dolalnya itu karena apa, dengan mindset seperti apa, sehingga sampean nanti tahu bagaimana caranya bicara kepada mereka dengan cara yang strategis. Bagaimana bertindak dalam muamalah bersama orang-orang ini dengan cara yang lebih strategis, bukan dengan cara cah ndeso.
Karena cah ndeso itu, punya dua kebiasaan yang sulit dilupakan dan sulit dihapus, pertama, kebiasaan nyolong pelem, sama kebiasaan nguber layangan pedot. Saya lihat teman-teman semua ini susah sekali merubah mindset, ngertinya itu cuma satu kali kerja, dapat satu hasil, satu kali kerja, ini kerjaan ndeso. Harus kita rubah, harus bekerja secara lebih strategis.
Sampean sudah hafal khawa’id tapi untuk apa namanya ilzamul hukum itu, kan butuh tasawur, sampean butuh ngerti surahnya dunia, kayak apa yang sebenarnya, untuk ngerti betul ya, termasuk Pilpres itu butuh ngerti surahnya Pilpres itu kayak apa, itu kan butuh paham. Jangan asal layangan pedot diuber-uber, ndak karuan, ini sia-sia.
Nah, makanya ini penting sekali pengalaman begini, sebagai awalan dan dan ke depan nanti masih ada banyak hal yang perlu sampean lihat sendiri dan perlu sampean cerna ya, supaya kita betul-betul bisa membangun satu wawasan tentang strategi Islam, wawasan tentang strategi peradaban, yang hendak kita jalankan ke depan.
Ini hal-hal yang berat tapi penting dan saya tidak ragu-ragu menyampaikan karena ini sudah makamnya sampean semua ini sebagai Gus-gus dan Ning-ning besar ini, pokoknya yang pertama-tama siap kerah gitu saja sudah dan jangan kecil hati karena Gus gede menang kerahe. Terima kasih, Wallahul muwafiq ilakum Thariq, Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
(Arahan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf pada penerima beasiswa pengembangan wawasan moderasi beragama ke Jerman, Jakarta 19 Januari 2024).