RISALAH NU ONLINE, YOGYAKARTA – Saat puncak perayaan hari lahir (harlah) NU (Nahdlatul Ulama) yang ke-101 yang diselenggarakan di kota Gudeg Yogyakarta. PBNU menggelar berbagai ragam acara dari mulai istighosah sampai Konbes NU. Ribuan warga NU dan santri dari berbagai daerah tumplek blekk, tak terkecuali para tokoh nasional hingga Presiden RI Joko Widodo hadir menyemarakan agenda tahunan tersebut.
Tak ketinggalan puluhan awak media dari berbagai portal berita termasuk Kru majalah Risalah NU memberitakan prosesi perayaan harlah NU dan menyaksikan wajah baru NU di awal abad kedua.
Di sela-sela rangkaian kegiatan, tepatnya pada Senin sore 29 Januari 24, selepas penutupan Konferensi Besar (Konbes) NU di Hotel Melia Yogyakarta. Kru Majalah Risalah NU menyempatkan diri melakukan tabarrukan dan ziarah ke berbagai makam para ulama yang berada di tanah Yogyakarta. Salah satunya, makam KH. M. Moenawwir bin KH. Abdullah Rosyad atau yang masyhur dikenal sebagai Mbah Munawwir Krapyak.
Meski lokasinya yang terletak cukup jauh dari area Pondok Pesantren Almunawwir, Krapyak, yakni Dongkelan, namun tak menyurutkan niat kami untuk melangkahkan kaki kesana. Mengendarai mobil Wuling berwarna hitam, kami berlima berangkat dan sampai di lokasi pemakaman sekitar pukul 17.30 sore setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit.
Setiba disana, tak banyak orang yang kami temui, hanya terlihat dua sosok santri yang sedang duduk bersilah di depan makam sang Kyai sambil komat kamit mulutnya melantunkan hafalan Qur’an.
Kami bergegas berwudhu, setelahnya kami pun langsung masuk ke area pemakaman dalam dan langsung duduk bersilah di depan makam Mbah Munawwir yang berada tepat di sebelah Masjid Pathok Negara Dongkelan dengan tawasulan, membaca surat Yasin dan tahlil serta diahiri do’a meminta keberkahan.
Dilansir dari laman NU Online. Keraton Yogyakarta membuat lima pathok negara, yakni di Dongkelan, Babadan, Mlangi, Plosokuning, dan Wonokromo. Di setiap patok tersebut, terdapat penghulu yang ditugaskan membimbing masyarakat di sana. Dongkelan merupakan Patok Selatan Keraton Yogyakarta dengan Mbah Kiai Syihabuddin sebagai penghulu pertamanya.
Ia ditunjuk oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di wilayah tersebut. Di era kepemimpinan Hamengku Buwono I lah masjid tersebut sudah dibangun. Ketika Perang Diponegoro pecah, masjid tersebut habis dibakar oleh Belanda. Lalu, pada awal abad 20, masjid itu diperbaiki bangunannya oleh Sultan Hamengku Buwono VII.
Tak hanya Mbah Munawwir, di area Pathok Selatan tersebut turut dimakamkan sejumlah Ulama yang tak kalah terkenal antara lain, Mbah Ali Makshum, Mbah Warson, dan Gus Kelik serta sejumlah istri dan zurriyah mbah Munawwir turut dimakamkan di area tersebut.
Asli Putra Kauman Yogyakarta.
KH Muhammad Munawwir lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1870. Beliau merupakan putera dari pasangan KH Abdullah Rosyad dan Khodijah. KH M. Munawwir beristrikan lima orang, yaitu Ny. R.A. Mursyidah dari Kraton, Ny. Hj. Suistiyah dari Wates, Ny. Salimah dari Wonokromo, dan Ny. Rumiyah dari Jombang. Ketika istri pertamanya meninggal dunia, KH M. Munawwir menikahi Ny. Khodijah dari Kanggotan, Gondowulung.
Sejak kanak-kanak, KH M. Munawwir belajar Al-Qur’an di Bangkalan, sebuah pesantren yang diasuh oleh KH Maksum. Selain belajar Al-Qur’an, ia juga belajar ilmu-ilmu keislaman lainnya dari para kiai, seperti KH Abdullah dari Kanggotan Bantul, KH Kholil dari Bangkalan Madura, KH Sholih dari Darat Semarang, dan KH Abdur Rahman dari Watucongol Muntilan Magelang.
Pada tahun 1888 KH M. Munawwir meneruskan belajar ke Mekkah dan menetap di sana selama 16 tahun. Dari Mekkah KH M. Munawwir melanjutkan belajar ke Madinah. Setelah 21 tahun bermukim di kedua kota suci itu, dan memperoleh ijazah mengajar tahfiz Al-Qur’an, ia kembali ke Yogyakarta pada tahun 1911. Selama di Mekah dan Madinah ia memperdalam Al-Qur’an, tafsir, dan qiraat sab‘ah dari beberapa guru, antara lain Syekh Abdullah Sanqara, Syekh Syarbini, Syekh Muqri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh Manshur, Syekh Abd. Syakur, dan Syekh Musthafa. Hafalan Al-Qur’an yang ia kuasai saat belajar di kedua kota suci tersebut lengkap dengan qiraat sab‘ahnya, sehingga KH M. Munawwir terkenal dengan alim Jawa pertama yang berhasil menguasai qiraat sab‘ah.
KH M. Munawwir berguru qiraat sab‘ah kepada Syekh Yusuf Hajar. Sanad tahfiznya, dengan qiraat Imam ‘Asim menurut riwayat Imam Hafs, mengambil dari Syekh ‘Abdul Karim ‘Umar al-Badri, dari Syekh Isma‘il Basyatin, dari Syekh Ahmad ar-Rasyidi, dari Syekh Mustafa ‘Adurrahman al-Azmiri, dari Syekh Hijazi, dari Syekh ‘Ali bin Sulaiman al-Mansuri, dari Syekh Sultan al-Mizahi, dari Syekh Saifuddin ‘Ataillah al-Fadali, dari Syekh Sahazah al-Yamani, dari Syekh Nasiruddin at-Tablawi, dari Syekh Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, dari Imam Ahmad al-Asyuti, dari Imam Muhammad bin Muhammad al-Jazari, dari Imam Muhammad bin ‘Abdul Khaliq al-Misri, dari Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Syuja‘, dari Imam Abu al-Qasim asy-Syatibi, dari Imam ‘Ali bin Muhammad bin Huzail, dari Imam Sulaiman bin Najah al-Andalusi, dari Imam Abu ‘Amr ‘Usman ad-Dani, dari Imam Tahir bin Galbun, dari Imam Ahmad bin Sahl al-Asynani, dari Imam ‘Ubaid bin as-Sabah, dari Imam Hafs bin Sulaiman, dari Imam ‘Asim bin Abi an-Najud, dari Imam ‘Abdurrahman as-Sulami, dari Zaid bin Sabit, Ubay bin Ka‘b, ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Ali bin Abi Talib dan ‘Usman bin ‘Affan, yang mengambil langsung dari Rasulullah.
Setelah kembali ke Yogyakarta, KH M. Munawwir mendirikan majelis pengajian, dan merintis berdirinya Pondok Pesantren Krapyak. Selama kurang lebih 33 tahun menjadi pengasuh PP. Krapyak, KH M. Munawwir mewariskan ilmu kepada para muridnya, dan kelak tidak sedikit di antara mereka yang mendirikan pondok pesantren Al-Qur’an. Di antara para muridnya itu adalah KH Arwani Amin Kudus, KH Badawi Kaliwungu Semarang, K. Zuhdi Nganjuk Kertosono, KH Umar Mangkuyudan Solo, KH Umar Kempek Cirebon, KH Nor/Munawwir Tegalarum Kertosono, KH Muntaha Kalibeber Wonosobo, KH Murtadlo Buntet Cirebon, KH M. Ma‘shum Gedongan Cirebon, KH Abu Amar Kroya, KH Suhaimi Benda Bumiayu, KH Syatibi Kiangkong Kutoarjo, KH Anshor Pepedang Bumiayu, KH Hasbullah Wonokromo Yogyakarta, dan KH Muhyiddin Jejeran Yogyakarta.
KH Munawwir sakit selama 16 hari sebelum meninggal dunia pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H (6 Juli 1942) di rumahnya, di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. KH Munawwir dikenal sebagai pembuka tradisi tahfiz, khususnya, di Yogyakarta dan Jawa Tengah. (dbs/yudo)