Pesan Hikmah Mbah Yai Ali Pendiri Pondok Ngunut yang Sederhana dan Tawadhu’ 

0

Choo…(konco), neng ngendi wae awakmu manggon, ojo lali karo pesenku: (1) Jogo akhlaqul karimah, (2) Pinter-pinter ndelehno awak, (3) Ngekeh-ngekehno bali maring Allah (Fafiru illallah)”

Begitulah kalimat wasiat dari Al Maghfurlah KH. M. Ali Shodiq Umman (Mbah Yai Ali) pendiri Pondok Pesantren Ngunut, Tulung Agung, Jawa Timur. Wasiat hikmah itulah yang terus mengiang ngiang dipikiran dan telinga para santri dan alumni seantero nusantara. Bagi santri, Mbah Yai Ali menjadi sosok kiai yang menjadi panutan dan suritauladan, sekaligus tokoh, kiai dan guru sejati yang penuh kesederhanaan dan ketawadh’uan.

Jika kangen dan ingin tabarukkan, ribuan santri pun berduyun duyun memadati makam Mbah Yai untuk tawasalulan berdoa dan meminta berkah serta berharap diakui sebagai santrinya. Makam Mbah Yai Ali pun ramai para peziarah dari berbagai penjuru Indonesia. Terlebih pada saat acara haul ke XXVI Mbah Yai Ali dan haul XXV al-maghfurlaha ibu nyai. Hj. Siti Fatimatuz Zahro’ pada Minggu 3 November 2024 lalu.

Pesan hikmah (Choo…) itulah yang selalu beliau sampaikan setiap kali selesai mengaji kitab bersama santri-santrinya. Mbah Yai Ali juga dikenal sangat sabar dan istiqomah dalam mendidik santri-santrinya, setiap pagi selalu dengan halus membangunkan santri-santi beliau. Dari satu kamar menuju ke kamar lainnya. “Tangi choo, sholat jama’ah shubuh,” tutur Mbah Yai saat membangunkan para santri-santrinya dengan sabar dan lemah lembut.

Dedikasi dan perjuangan Mbah Yai Ali yang tak kenal lelah tanpa pamrih dan tak bisa terlukiskan dengan apapun, tujuan utamanya hanya untuk mempersiapkan generasi-generasi muslim yang tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.

Bukan hanya pendidikan saja yang beliau perhatikan, namun dalam tuntunan hidup sehari-hari pun, beliau praktekan melalui mau’idzoh hasanah, dengan tutur bahasa yang khas, terutama saat berdo’a dalam berbagai acara, penuh khusuk dan menangis hebat hingga menembus pintu langit.

Baca Juga :  Ziarah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Kalimantan

Mbah Yai Ali lahir tahun 1929 M di dusun Gentengan lingkungan IV Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Dan wafat pada Sabtu, 14 Agustus 1999, sekitar pukul 10.00 wib (pagi) dan di makamkan sebelah barat Masjid Sunan Gunung Jati.

Kealiman dan ketawadhuan Mbah Yai Ali hingga menjadi orang sukses, tak lepas dari terkabulnya do’a kedua orang tuanya. Ayahnya bernama Pak Uman adalah kusir dokar yang hidup sederhana dan taat beribadah. Ibunya bernama Bu Marci berasal dari daerah Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Mereka selalu berdo’a dan bersedekah penuh harapan agar anaknya kelak menjadi orang ‘alim ‘allamah dalam hal agama. Wal hasil, Pak Uman pun, sangat senang dan hormat pada setiap kiai dan santri yang ia temui. Sering kali ada santri yang menumpang dokar beliau, beliau siap mengantarkannya kemanapun santri itu pergi, tanpa memungut upah darinya.

 

 

Mendirikan Pesantren

Setelah mondok dan nyantri kepada banyak kiai besar di Indonesia, dari KH. Mahrus Ali Lirboyo sampai KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang selama 26 tahun. Pada tahun 1967, Mbah Yai Ali mendirikan Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien, atas amanat dan tugas KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Ali.

Tantangan dan rintangan datang silih berganti, terutama dari masyarakat sekitar yang masih buta agama. Teror fisik atau teror yang bersifat non fisik atau rohani (seperti jengges dan santet) tak henti-henti berdatangan. Tetapi dengan penuh kesabaran, Mbah Yai Ali tetap isitiqomah menyiarkan agama Allah.

Bukti kesabarannya, saat pesantren mengadakan sebuah acara dan dihadiri KH. Mahrus Ali Lirboyo. Kejadian itu bermula saat guru beliau, KH. Mahrus Ali, sedang berkenan ke kamar kecil. Ketika melintas, KH. Mahrus Ali melihat masyarakat di sekitar pesantren banyak yang mengganggu. Mereka mengusik dengan santet, mengganggu jalannya pengajian para santri, lantas kemudian, KH. Mahrus Ali berkata.

Baca Juga :  Ziarah Makam Mbah Cholil, Mutiara dari Rembang

“Mbok dihizib nashor wae, ben ndang bar.” (Sebaiknya di-hizib nashor—semacam didoa-wiridkan—agar mereka tidak mengganggu lagi). Namun, apa jawab Mbah Yai Ali?…“Ingkang kawulo rantos anak putu nipun, Yi” (Yang saya tunggu anak cucu mereka, Yai).

Berdirinya Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Ngunut, sebuah nama yang diambil dari Pondok Pesantren Lirboyo, dengan niat tafa’ulan. Sejak saat itulah, sistem pendidikan di Yayasan Hidayatul Mubtadiien Ngunut tertata dan terus berkembang sampai sekarang.

Sistem pendidikan formalnya sebagai berikut: 1. TK PLUS dan SDI PLUS Sunan Giri (Terakreditasi A). 2. SD Islam Sunan Giri (Tahfidh). 3. SMP Islam Sunan Gunung Jati (Terakreditasi A). 4. SMP Islam Sunan Gunung Jati (Tahfidh). 5. SMA Islam Sunan Gunung Jati (Terakreditasi A). 6. SMA Islam Sunan Gunung Jati (Tahfidh). 7. SMK Islam Sunan Kalijaga dan Perguruan Tinggi STAI MAS.

Fasilitas: Masjid, kendaraan, asrama santri, kantor, asrama pengasuh, dapur, gedung sekolah, lapangan, koperasi santri, perpustakaan, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, gudang, kamar mandi/wc, klinik kesehatan.

Ekstrakurikuler: Pengajian Kitab Kuning, Sorogan Al-Quran, Tahaffudz Al-Quran, Jamiyatul Quro’, Bahtsul Masail, Jam’iyah Diniyah, Seni Sholawat Al-Banjari, Diklat Ubudiyah, Kaligrafi, Bina Karya, Paket B, Paket C, Pengajian Rutin Malam Ahad (Masyarakat Umum), Kuliah Subuh Ahad Legi (Alumni dan Masyarakat Umum), dan lainnya. (hud).

Leave A Reply

Your email address will not be published.