Syaikh Ibnu Athâillah al-Sakandari berkata: “Lâ ‘Âmala Arjâ li al-Qulûbi min ‘Amalin Yaghîbu ‘Anka Syuhûduhû wa Yuhtaqaru Indaka Wujûduhû”. Tidak ada amal perbuatan yang lebih diharapkan oleh hati selain amal perbuatan yang tersembunyi dari pandanganmu dan dianggap remeh olehmu. Amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang berpijak pada konsep sebagaimana yang dipaparkan oleh Syaikh Ibnu Athâillah di atas merupakan amal terbaik yang terpatri dalam hati.
Amal perbuatan yang terpatri dalam hati sanubari manusia, biasanya dilakukan dengan ikhlas karena Allah, tanpa ada niat untuk dipamerkan atau mencari pujian. Orang yang melakukan amal perbuatan tersebut, tidak pernah merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Sebaliknya, justru ia merasa amal yang dilakukannya itu sangat kecil dan tidak berarti baginya.
Namun, menurut beberapa naskah manuskrip yang dimiliki oleh pensyarah kitab al-Hikam, yakni Syaikh Ibnu Abbâd al-Nafazî dikatakan bahwa maksud dari pernyataan Syaikh Ibnu Athâillah al-Sakandari dalam lafadz “Lâ ‘Âmala Arjâ li al-Qulûbi” itu merupakan kesalahan redaksional. Setelah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah al-Hikam yang ia miliki, Ibnu Abbâd berkesimpulan bahwa redaksi yang benar adalah: “Lâ ‘Âmala Arjâ li al-Qabûl”.
Jika demikian, maka maksudnya adalah tidak ada amal yang lebih diharapkan untuk diterima daripada amal yang engkau sembunyikan (dari pandangan manusia), dan engkau anggap remeh keberadaannya. Amal yang dilakukan dengan ikhlas dan sembunyi-sembunyi memiliki nilai yang lebih tinggi di sisi Allah dan berpotensi diterima oleh-Nya dibandingkan dengan amal yang dilakukan secara terang-terangan dengan maksud tertentu seperti riya’ dan ujub.
Ibnu Abbâd menyematkan kata al-Qabûl bukan al-Qulûb pada kalimat Lâ ‘Âmala Arjâ li al-Qabûl” di atas karena beberapa alasan, yaitu: (1) Amal perbuatan harus selamat dari beberapa penyakit yang merusak. Salah satu syarat agar amal perbuatan selamat dari penyakit yang merusak adalah dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa kepada Allah s.w.t.. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah, 05:27).
Selanjutnya (2) amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan selamat apabila ada kecenderungan menyalahkan diri sendiri karena kekurangan dirinya dalam melaksanakan amal tersebut. Kecenderungan menyalahkan diri sendiri karena banyaknya kekurangan yang terdapat dalam diri manusia akan menghilangkan kesombongan. Sifat sombong yang bermuara pada superiority complex akan menjatuhkan manusia dalam kubangan keangkuhan sehingga amalnya menjadi tidak berarti dan usahanya pun juga sia-sia.
Maka, dari sini kita bisa mengambil ibrah atau pelajaran bahwa amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia itu pada hakikatnya merupakan anugerah Allah s.w.t. Tanpa kehendak-Nya, kita tidak akan mampu melakukan aktivitas yang melahirkan karya-karya besar. Dalam konteks kajian ini, Syaikh Ibnu Athâillah al-Sakandari hendak menekankan kepada kita bahwa orientasi manusia itu pada hakikatnya adalah bekerja tanpa memikirkan apakah pekerjaannya itu diapresiasi atau tidak.
Justru, tatkala manusia mengharap pengakuan dari pekerjaannya, ia akan terjebak ke dalam kesombongan akut yang bisa melahirkan superiority complex. Dalam pengertian sederhana, superiority complex adalah kondisi psikologis di mana seseorang merasa lebih unggul dan lebih baik dari orang lain. Sebagian contoh yang bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah pengakuan eksistensi personal, seperti jika tanpa dirinya, mustahil suatu pekerjaan mencapai target, dan atau jika tanpa kiprah dirinya, mustahil suatu acara akan berjalanan dengan lancar.
Superiority Complex
Memperhatikan dampak yang sangat luar biasa dari superiority complex ini, maka pada kajian yang lalu telah dijelaskan bahwa secara kodrati manusia itu merupakan tempat salah dan dosa. Hikmahnya adalah bahwa dosa bisa menjadi penghalang dari sifat ujub dan sombong. Kesombongan, yang merusak manusia, merupakan penghalang utama antara dirinya dan Allah. Hal ini terjadi karena orang yang sombong cenderung hanya fokus pada dirinya sendiri, bukan kepada Allah. Mereka lebih membanggakan ketaatan dan ibadahnya, merasa tenang tanpa rasa khawatir.
Sebaliknya, perbuatan dosa justru menimbulkan rasa takut dan sikap wasapada, membuat hamba mencari perlindungan hanya kepada Allah. Kesombongan menjauhkan seseorang dari Allah, sedangkan dosa dapat mendekatkan dia kepada-Nya. Dengan sifat sombong, seseorang terperangkap dalam personal egosentris, sementara dengan dosa, seseorang merasa butuh akan kehadiran Tuhan lewat maghfirah-Nya. Karena itu, sifat yang paling disukai Allah adalah rasa butuh seorang hamba kepada-Nya. Spiritual paling mulia bagi seorang mukmin adalah ketika ia sepenuhnya berserah diri dan menggantungkan hidupnya kepada Allah.
Abu Sulaiman r.a. pernah berpesan: “Aku tidak tidak pernah menganggap diriku baik saat melakukan amal perbuatan”. Pernyataan ini bisa dipahami bahwa sebaik apapun perbuatan yang dilakukan manusia, pasti ada celah dan kekurangannya. Hal ini menunjukkah bahwa manusia tidak punya daya untuk melakukan kesempurnaan, meskipun telah diupayakan semaksimal mungkin. Anggapan buruk terhadap diri sendiri dalam melakukan amal perbuatan melahirkan sikap bahwa amal yang diupayakan tidaklah berarti jika dibandingkan dengan kebesaran Allah.
Kosekuensi logisnya, hamba tersebut menjadi hamba yang ikhlas, tidak mencari pujian atau sanjungan dari manusia, tetapi hanya mengharapkan ridha Allah s.w.t.. Dari pesan Abu Sulaiman di atas, setidaknya ada dua klasifikasi amal perbuatan, pertama al-‘Amal al-Khâfî An al-Nâs, yaitu amal tanpa mengharapkan pujian dan pengakuan yang dilakukan semata-mata karena Allah, ia berpotensi diterima oleh Allah s.w.t.. Selanjutnya yang kedua adalah al-‘Amal al-Jâlî bi al-Nâs yaitu amal perbuatan yang masih terikat oleh pandangan manusia, seperti ingin dipuji atau diakui, ia berpotensi untuk tidak atau belum tentu diterima oleh Allah s.w.t..
Hal yang maksudnya senada juga dinyatakan oleh Ali bin al-Husein r.a.: “Setiap sesuatu dari amal perbuatanmu yang masih terlihat oleh pandangan matamu, itu merupakan bukti bahwa perbuatan tersebut belum tentu diterima oleh Allah. Dikatakan demikian, karena diterimanya amal perbuatan itu dengan cara diangkat derajatnya dan disembunyikan dari pandangan manusia. Dengan demikian maka jika amal perbuatanmu yang tidak terlihat oleh pandangan matamu, maka itu pertanda bahwa amal perbuatanmu diterima oleh Allah s.w.t..
Sebagian para bijak bestari ditanya, apakah tanda dari sebuah amal perbuatan yang diterima? Beliau menjawab, yaitu: “Engkau Lupa akan amal itu dan terputusnya pandanganmu darinya”, seraya menyitir ayat al-Qur’an: “Barangsiapa menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah. Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya. Adapun orang-orang yang merencanakan kejahatan mereka akan mendapat azab yang sangat keras, dan rencana jahat mereka akan hancur”. (QS. Fathir, 35:10).
Selanjutnya para bijak bestari tersebut menegaskan: “Sebagian dari tanda diterimanya amal perbuatan manusia oleh Allah s.w.t. adalah tidak adanya sisa apapun dari amal tersebut dalam ingatan dirinya. Apabila masih ada sisa dalam pandangannya tentang amal itu, serta belum ada pemisahan yang jelas antara sifat kepemilikanya dan sifat kepemilikan Allah, maka sudah seharusnya baginya untuk melupaknnya.
Lupa yang dimaksud di sini adalah dengan cara mencela diri sendiri serta melihat kekurangan-kekurangan diri, sehingga amalnya dapat diterima”. Jika dipahami lebih jauh, maka konteks penegasan para bijak bestari di atas adalah bahwa amal yang dilakukan seorang hamba, harus benar-benar ikhlas karena Allah. Dengan demikian, maka tidak akan ada rongga untuk berbangga diri, sombong, atau ingin dipuji.
Ia senantiasa akan merasa bahwa amal perbuatannya itu hanyalah milik Allah dan ia hanyalah pelakunya. Adapun maksud pemisahan sifat kepimilikan seorang hamba dengan sifat pemilikan Allah s.w.t. adalah bahwa segala kebaikan yang ada pada diri seorang hamba, itu semuanya berasal dari Allah semata, dan seorang hamba tidak memiliki hak atas kebaikan tersebut. Wallahu A’lam bis Shawab.
(Transkip pengajian rutinan Syarah Hikam oleh Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar pertemuan ke-81 yang disiarkan live di TVNU).