Umat Islam dituntut untuk mengajarkan asmaul husna dalam kehidupan sebagai bagian dalam pendidikan akhlak-tasawuf. Ketika Rasulullah saw. ditanya para sahabat, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus mempelajari kalimat-kalimat itu (asmaul husna-maksudnya-pen)?” Nabi menjawab, “Ya, siapa pun yang telah mendengarnya (dariku), ia harus mempelajarinya.
Peneladanan atau pembumian nama dan sifat Allah dalam diri manusia bisa ditelisik dari makna ayat Al-Qur‘an: [1]
Hendaklah kamu menjadi orang rabbani, karena (selalu) mengajarkan al-kitab dan karena kamu tetap mempelajarinya.
Ayat ini telah diriwayatkan dalam tiga redaksi, yaitu “kalian mengetahui’, “kalian diajari”, dan “kalian mengajarkan”. Jadi, ada tiga bentuk di sini: pengetahuan, pembelajaran, dan pengajaran. Pengetahuan itu sendiri adalah cahaya. Jika pengetahuan itu diamalkan, pelakunya akan menjadi cahaya yang menyinari dirinya dan menyinari orang lain. Pengetahuan itu baru akan menjadi produktif jika diamalkan. Sementara itu, pengertian manusia rabbani dalam ayat ini adalah orang yang merealisasikan ajaran Allah dalam dirinya, sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Hendaklah kalian mewujudkan akhlak Allah (yaitu asma-Nya) dalam diri kalian” Beliau juga bersabda, “Sesunggahnya Allah memiliki seratus akhlak, dan barang siapa bisa mewujudkan salah satu di antaranya, ia akan masuk surga.’ (H.R. al-Hakim).
Contoh mempelajari kalimat-kalimat itu adalah mengetahui kesesuaian antara nama dan sifat Allah yang diseru dengan doa atau permohonan yang dipanjatkan. Seorang ulama mengatakan, “jika berdoa menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah, serulah nama dan sifat yang sesuai dengan apa yang dimohonkan. [2] Misalnya, Anda mengatakan, “Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang (al-Rahim), sayangilah hamba;” “Wahai Tuhan Yang Maha Memberi rezeki (al-Razzaq), berilah hamba rezeki;” “Wahai Tuhan Yang Maha Memberi petunjuk (al-Hadiy), berilah hamba petunjuk,” dan seterusnya.
Siapa pun yang berhasil meneladani sifat-sifat Allah, maka akan lahir dari tingkah lakunya-lahir dan batin-secercah dari sifat-sifat Allah yang diteladaninya. Misalnya, meneladani sifat Allah ar-Rahman (Pelimpah kasih bagi seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini), seorang mukmin akan berusaha memberi kasih kepada semua makhluk, tanpa kecuali-manusia, Muslim atau non-Muslim, binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan makhluk-makhluk tak bernyawa sekalipun-karena demikianlah Allah dengan sifat Rahman-Nya.
Para ulama mengatakan, “Sesungguhnya rahmat yang sempurna adalah jika pemberianmu mengalir kepada orang yang membutuhkan, didasari kehendak, dan kemudian engkau mengerjakan apa yang kaukehendaki itu. Dengan begitu, kau pantas disebut Rahim.
Allah Swt. adalah ar-Rahim (Maha Penyayang), karena memenuhi semua yang dibutuhkan manusia. Sebagai contoh, Anda disebut rahim jika Anda memiliki kerabat dan kemudian memenuhi kebutuhan mereka dari sebagian harta yang Allah berikan. Kemudian Anda juga memenuhi kebutuhan mereka di saat mereka benar-benar membutuhkan; Anda menemani ketika mereka menghadapi hari-hari penuh kesulitan, niscaya Allah akan mengangkat derajat Anda hingga semakin dekat kepada-Nya.
Sebagian ulama membagi rahmat ke dalam dua kategori, yaitu rahmat umum (rahmah ‘ammah) dan rahmat sempurna (rahmah tammah). Rahmat sempurna adalah rahmat yang diberikan karena dorongan kehendak dan kemudian diikuti perbuatan. Sementara, rahmat umum adalah rahmat yang didapati, baik oleh orang yang berhak maupun orang yang tidak berhak. Misalnya, hujan yang turun dari langit dan memberi manfaat kepada seluruh manusia sehingga dikatakan bahwa hujan adalah rahmat yang bersifat umum. Sebaliknya, rahmat khusus yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang berhak mendapatkannya.
Perumpamaan lainnya adalah seorang bapak yang memiliki lima orang anak. Masing-masing anak memakan makanan yang tersaji di atas meja; mereka juga diberi pakaian, tidur di atas kasur yang k empudi ruangan yang hangat; semuanya mendapatkan pemberian yang sama dari si bapak; semua itu adalah rahmat umum. [3] Namun, ada salah seorang anak yang sangat dekat kepada si bapak. Ia patuh, setia, dan sangat menyayangi ayahnya. Ia juga tulus dan sangat berbakti sehingga kadang-kadang ayahnya memberinya perhatian dan pemberian khusus yang tidak didapatkan saudara-saudaranya yang lain. [4]
Dengan meneladani sifat-Nya ar-Rahim (Pelimpah rahmat di Hari Kemudian), sang peneladan memberi kasih kepada saudara-saudara seiman sambil meyakini bahwa tiada kebahagiaan, kecuali bila rahmat-Nya yang di Hari Akhir itu dapat diraih.
Dengan sifat al-Quddus (Mahasuci), seorang mukmin menyucikan dirinya-lahir dan batin-serta mengembangkan potensi-potensinya sehingga ia selalu akan berupaya mencari yang benar, mewujudkan yang baik, dan mengekspresikan yang indah karena “suci” adalah gabungan dari kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Mencari yang benar melahirkan ilmu, mewujudkan yang baik, melahirkan budi, dan mengekspresikan keindahan menciptakan seni.[5]
Konsekuensi dari keyakinan Allah Yang Maha Suci tercermin dalam iktikad manusia untuk membersihkan dan mensucikan jasmani, hati dan akalnya. Dari sisi jasmaniah, Rasulullah memuji orang yang menjaga dirinya untuk selalu dalam keadaan berwudhu. Orang yang marah dan keruh hatinya juga disarankan untuk berwudhu. Artinya, kesucian jasmaniah akan mempengaruhi kesucian hati, jiwa dan pikiran seseorang. Secara personal, kesucian diri diawali dari niat. Yaitu, niat untuk selalu berada dalam ridla-Nya. Jika niat seseorang mengerjakan kebaikan tidak karena Allah, maka di akhirat ia tidak akan mendapatkan apapun dari Allah. Bisa jadi ia akan mendapatkan keuntungan di dunia, namun ia tidak akan mendapatkan keberkahan hidup dari Allah. Niat suci dalam hati seseorang menjadi dasar bagaimana seseorang berperilaku terhadap dirinya dan orang lain.[6]
Adapun cara meneladani asma Allah al-‘Afuw (Maha Pemaaf) adalah memaafkan orang yang berbuat buruk kepadamu. Ia akan selalu bersedia memberi maaf dan menghapus bekas-bekas luka hatinya, serta tidak pernah terlintas dalam benaknya, apalagi terucapkan oleh lidahnya kata-kata: “Tiada maaf bagimu.”
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa menutupi aurat seorang mukmin maka Allah menutupi auratnya pada Hari Kiamat kelak” Mahasuci Dzat yang menampakkan yang indah dan menyembunyikan yang buruk.
Terdapat beberapa kisah yang dapat diambil sebagai pembelajaran dalam mengamalkan asma Allah al-‘Afuw (Maha Pemaaf). Diriwayatkan bahwa Isa a.s. pernah berjalan bersama Hawariyun melewati bangkai kambing yang berbau busuk. Orang-orang Hawariyun berkata, “Alangkah busuknya bangkai ini?” Maka Isa a.s. berkata, “Alangkah indahnya gigi putih bangkai ini.’ Isa a.s. bermaksud mengingatkan kepada kaum Hawariyun agar menyebut dari segala yang ada ini pada sisi kebaikannya.[7]
Sebagian ahli hikmah berujar, “Jika seekor anjing menggonggong kepadamu dan engkau melawannya, bertambahlah gonggongannya kepadamu. Tetapi, jika engkau meminta tolong kepada sang pemilik anjing, ia akan menghalaukan anjingnya darimu.”[8] Dendam adalah api yang membakar kalbu! Sedangkan, memaafkan adalah air yang menyegarkan kalbu! Orang yang menanami kebun berlelah-lelah dalam menyiapkan tanah, menaburinya dengan benih, mengairinya, memeliharanya, dan menyingkirkan berbagai gangguan darinya. Apabila telah melakukan hal itu, ia dibalas dengan tanaman yang tumbuh subur serta buah-buhan yang manis dan lezat. Itulah penderitaan yang merupakan keharusan.
Berkaitan dengan sikap memaafkan, Abdullah al-Jala’ pernah bertutur sebagai berikut: “Barang siapa pujian dan cacian sama baginya, ia adalah zahid. Barang siapa menjaga berbagai kefarduan pada awal-awal waktunya, ia adalah abid. Dan, barang siapa memandang seluruh perbuatan [berasal] dari Allah, ia adalah orang bertauhid. Karena itulah salah seorang arif, ketika seseorang menentang dan menamparnya dengan sangat keras, justru bertawajuh kepada Allah dengan doa:
Ya Allah, ampunilah dosaku yang dengan sebab dosa itu Kaukuasakan orang ini atas diriku.[9]
Dengan meneladani sifatnya al-Ghaffar (maha pengampun), seseorang akan memaafkan kesalahan orang lain, walaupun kadang-kadang hal ini sulit dilakukan, menutupi aib orang lain, dengan dengan tidak menceritakannya kepada siapa pun, serta membicarakan kebihan orang lain. Allah adalah al-Ghafir. Bila manusia zhalim (gemar berbuat zalim), Allah adalah al-Ghafur. Dan bila manusia zhallam (sangat banyak berbuat zalim), Allah adalah al-Ghaffar. Dengan sifat mana manusia melakukan kemaksiatan, ada nama Allah yang sesuai dengan itu. [10]
Poin penting dari nama al-Ghaffar adalah bahwa sifat yang dimiliki manusia itu terbatas. Jelasnya, ketika manusia melakukan dosa maka dosanya itu memiliki ukuran. Ketika manusia berbuat maksiat, maksiatnya itu juga memiliki ukuran. Jika dosa dan maksiat manusia terbatas, sesungguhnya ampunan Allah tidak terbatas—yang tidak terbatas mengalahkan yang terbatas. Dengan begitu, tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali orang yang kafir dan bodoh.
Maksudnya, Allah mengampuni dosa-dosa kita yang telah Ialu, dosa-dosa yang kita perbuat sekarang, dan dosa-dosa yang mungkin kita perbuat di masa depan, karena Dia adalah pemilik ampunan yang mahaluas. Kapan pun dan di mana pun, Dia adalah al-Ghaffar, Sang Maha Pengampun. Apa pun dosa yang Anda lakukan, Dia adalah al-Ghaffar yang selalu berkenan mengampuni bila Anda bertobat. Kalau manusia zhalim, Dia adalah al-Ghafır. Kalau manusia zhalim, Dia adalah al-Ghafur. Dan kalau manusia zhallam, Dia adalah al-Ghaffar. Dosa apa pun, dalam bentuk apa pun, baik di masa lalu, masa kini, dan masa datang, Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pasti mengampuninya bila kita bertobat disertai penyesalan.[11]
Sebenarnya, dari sisi etimologis, kata al-maghfirah (ampunan) mengandung arti al-sitr (tutup/tirai). Ini bisa dilihat dari kata al-ghufrah yang berarti tutup. Tetapi Allah Azza wa Jalla menyebutkan beberapa makna lain dalam Al-Quran, seperti dalam firman-Nya tentang Nabi Musa a.s.:
Musa berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri. Karena itu, ampunilah aku” Maka, Allah mengampuninya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [12]
Di sini, kata al-maghfirah tidak bermakna al–sitr, tetapi bermakna al-shafh (pengampunan) dan al-afw (maaf)—keduanya mengandung makna yang sama, satu makna. Jadi, makna al-maghfirah yang pertama adalah al-shafh dan al-afw, yakni tidak menimpakan hukuman/bencana—bahwa Allah adalah al-Ghafür yang memaafkan hamba-Nya sehingga tidak menimpakan bencana atasnya. Kita tidak boleh berhenti pada ayat ini saja. Kita juga perlu membaca ayat berikutnya: [13]
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).
Maksud ayat ini Allah Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang datang menghadap-Nya, Maha Pengampung bagi hamba-Nya yang bertobat, Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang kembali ke jalan-Nya, Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang bersandar kepada-Nya, Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang memperbaiki kesalahannya, Maha Pengampung bagi hamba-Nya yang memohon ampunan-Nya. Tetapi, kalau ada manusia yang selalu berbuat maksiat, bahkan berniat terus melakukan maksiat, lalu mengatakan, “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, berarti ia orang bebal. [14]
Dua sahabat yang duduk berdampingan mungkin tiba-tiba akan saling bermusuhan jika orang pertama mengetahui apa yang terbersit dalam pikiran sahabatnya. Kalau seorang suami mengetahui apa yang terlintas dalam hati istrinya, mungkin akan menceraikannya. Sebaliknya, bila seorang istri mengetahui apa yang dipikirkan suaminya, mungkin ia akan meninggalkan suaminya. Kalau seorang ayah mengetahui apa yang di ada benak anaknya yang menghendaki kematiannya, pasti ia akan membenci anaknya. Ada anak yang berkata kepada ayahnya, “Ayah, berikan tanganmu, aku akan menciumnya,” sementara hatinya berkata lain. Seandainya si ayah mengetahui isi hati anaknya, ia pasti akan membenci atau bahkan mengusirnya. Namun, Allah adalah penjaga rahasia terbaik. Inilah makna doa Rasulullah saw.:
Jadi, dalam perlindungan Allah, Anda seperti berada di sebuah benteng
Adapun sikap meneladani asma Allah al-‘Adl (Maha-adil) tercermin dalam kesediaan seseoranguntuk menegakkan keadilan terhadap dirinya sendiri sebelum menuntutnya dari orang lain. Sikap menegakkan keadilan terhadap diri adalah dengan meletakkan syahwat dan amarah sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah agama, akal, dan budaya; bukan menjadikan nafsu dan syahwat sebagai tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
Sementara itu, dengan meneladani sifat Allah aI-‘Alim (Maha Mengetahui), akan lahir darinya upaya berkesinambungan untuk menambah ilmu. Dalam upaya tersebut, yang bersangkutan dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya, yakni pancaindra, akal, dan kalbu untuk meraih sebanyak mungkin ilmu yang bermanfaat, bukan hanya yang berkaitan dengan dunia empiris, tetapi juga ilmu yang bersifat non-empiris yang hanya dapat diraih dengan kesucian jiwa dan kejernihan kalbu.
Dengan meneladani sifat Allah as-Salam (Mahadamai/Pemberi kedamaian kepada siapa dan apa pun yang wajar menerimanya), seseorang semestinya menyebarkan kedamaian ke setiap sudut persada bumi ini, sekaligus menyadari bahwa damai ada dua macam, damai pasif dan damai aktif. Jika Anda tidak memuji, tidak juga mencela, tidak menjauh, tidak juga mendekat, tidak memberi dan tidak pula menghalangi. tidak berkorban, tetapi tidak juga mengorbankan, maka ketika itu Anda akan hidup damai bersama siapa pun, walaupun ini baru terbatas pada damai Pasif. Sedang damai aktif adalah memberi sesuatu yang positif kepada pihak lain.[15]
Sifat-Nya al-Qawiyu (Mahakuat) perlu juga diteladani oleh manusia sehingga ia menjadi sosok yang kuat, baik lahir maupun batin, mental dan spiritual, tapi harus diingat bahwa sifat Allah ini dipaparkan al-Qur’an dalam konteks menghadapi para pembangkang. Perhatikan ayat-ayat berikut. Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa (QS. Hud [11]: 66). Demikian juga flrman-Nya: Mereka tidak mengenal/mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa (QS. Al-Hajj [22]: 74).
Dalam QS. al-Anfal [8]: 52, Allah berfirman: Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi amat keras siksaan-Nya. Kekuatan yang dimiliki pada prinsipnya dimaksudkan untuk menggentarkan musuh agar mereka tidak berani melakukan pelecehan/pelanggaran hak. Firman-Nya dalam QS. al-Anfal [8]: 60 menegaskan prinsip di atas: Siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh-musuh) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, dan musuhmu, serta orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
Meskipun sifat yang hanya dimiliki Allah SWT, kita dapat meneladani sifat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-contoh prilaku yang meneladani sifat Allah al-Qawiyu seperti: selalu berusaha untuk mandiri dalam melakukan sesuatu, berusaha dengan keras dalam menyelesaikan permasalah hidup dan meyakini secara sepenuh hati bahwa segala sumber kekuatan berasal dari Allah SWT.[16]
Sifat Allah al-Mutakabbir (Maha-angkuh) pun wajar dihayati untuk diteladani dalam kehidupan, dengan menghindari sikap sombong (takabbur). Allah aI-Mutakabbir adalah yang memandang selain-Nya hina dan rendah. Sifat ini tidak mungkin disandang, kecuali oleh Allah swt. karena hanya Dia yang berhak dan wajar bersikap demikian. Setiap yang memandang keagungan dan kebesaran hanya miliknya secara khusus, tanpa selainnya, maka pandangan tersebut salah, kecuali Allah swt., demikian pendapat al-Ghazali. Namun, perlu dicatat bahwa sifat kibriya’ (keangkuhan) ini ditujukan oleh-Nya kepada mereka yang angkuh, yang memandang serta memperlakukan selainnya hina dan rendah. Karena itu pula, populer ungkapan yang menyatakan bahwa: “Bertakabbur atas orang-orang yang bertakabbur adalah sedekah.” Sifat ini tidak mungkin disandang kecuali oleh Allah. Karena hanya Dia Yang Berhak dan Wajar bersikap demikian. Setiap yang memandang keagungan dan kebesaran hanya miliknya secara khusus tanpa selainnya, maka pandangan tersebut salah! Kecuali Allah SWT.
Berikutnya kita perlu mengambil pelajaran dari asma Allah: al-khaliq, albari’, dan al-mushawwir. Secara singkat, al-khaliq adalah penentu, al-bari’ adalah yang mengadakan dari ketiadaan, sedangkan al-mushawwir adalah yang memberikan rupa yang cocok bagi setiap makhluk ciptaan. Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an Surat Al Hasyr ayat 24: هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ , artinya: “Dialah yang maha menciptakan (al-khaliq), mengadakan (al-bari’), dan memberi bentuk (al-mushawwir)”, maka al-khaliq berarti yang menentukan (takdir), al-bari’ berarti yang mengadakan sesuatu dari ketiadaan, dan al-mushawwir berarti yang memberikan gambar, rupa, atau bentuk.[17]
Dengan demikian, manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan kehendak dan pengetahuan Allah. Seluruh bagian tubuh dan jiwa manusia diciptakan dengan pengetahuan. Manusia diciptakan dari tiada menjadi ada, kemudian diberi bentuk dan rupa. Allah memberikan rupa pada ciptaan-Nya sebagaimana manusia menyempurnakan pembangunan sebuah gedung. Inilah jawaban atas pertanyaan: “Apakah perbedaan antara menciptakan dan mengadakan?”
Sebagai perumpamaan, seorang insinyur sipil membangun sebuah bangunan megah dimulai dengan menggambar rancangannya di atas kertas. Seluruh pengetahunnya tentang bangunan itu digambarkan pada gambar rancangan yang meliputi bahan-bahan yang dibutuhkan, gambaran lantai dasar, lantai kedua, tiang-tiang penyangga, fondasi, balkon-balkon, dan lain-lain. Semua itu digambarkan di atas kertas. Dengan demikian, menciptakan adalah menentukan ukuran (al-khaliq), sedangkan al–bari’ mengandung arti mengadakan dari ketiadaan, “jadilah maka jadilah”. Setelah gambar rancangan selesai, cetak biru bangunan itu diberikan kepada kontraktor bangunan yang melaksanakan proses pembangunan gedung itu sehingga berdiri. Mereka menggali fondasi, menanam pasak, memasang rangka beton dan rangka baja, lalu secara bertahap membangun gedung itu sampai semua yang digambarkan di atas kertas berdiri di atas tanah. Maka, menciptakan adalah “menentukan ukuran” sedangkan al-bari’ adalah mengadakan dari ketiadaan. [18]
Kita dituntut berakhlak dengan Al-Khaliq, Al-Bari’, dan Al-Mushawwir. Apabila kita mampu meneladani Allah dalam sifat-Nya sebagai Al-Khaliq dan Al-Bari’, maka kita akan dituntut untuk mampu menciptakan hal-hal baru yang bermanfaat. Penciptaan itu pun memerlukan pengetahuan dan kemampuan. Selain diperlukan g tekad dan usaha, kita juga harus membekali diri dengan pengetahuan yang sesuai, agar kreasi dan ciptaan kita melahirkan kesejahteraan lahir dan batin, bagi makhluk Allah swt.[19]
Jadi, jika Anda hanya mencukupkan diri dengan mengetahui nama-nama dan sifat Allah Swt. maka jalan Anda masih panjang, karena yang penting bukanlah pengetahuan, melainkan respons terhadap apa yang telah Anda ketahui. Poin penting yang harus diingat adalah tindak lanjut atau pembuktian pengetahuan Anda dengan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah.
Demikian seterusnya sehingga menjadilah seorang Muslim yang berakhlak mulia, sebagaimana digambarkan dalam satu riwayat bahwa: Ma’rifat adalah modalnya. Keadilan adalah tumpuan ajarannya. Pengendalian diri dasar aktivitasnya. Kasih asas pergaulannya. Kerinduan kepada Ilahi kendaraannya. Zikir pelipur laranya. Kepuasan setelah usaha maksimal adalah harta simpanannya. Kesadaran akan kelemahan di hadapan Allah adalah kebanggaannya, Sabar adalah busananya. Zuhud merupakan profesinya. Kepercayaan diri kekuatannya. Keprihatinan tunggangannya. Kebenaran andalannya. Ketaatan adalah kecintaannya. Jihad/perjuangan kesehariannya. Sedang buah matanya adalah ketika menghadap Allah swt. di dalam shalat.
- Zubaedi (Wakil Rektor 2 UIN Fatmwati Sukarno Bengkulu dan Sekretaris PWNU Bengkulu).