Hadirin yang di rahmati Allah. Ibnu Abbād al-Nafazī al-Randī (w. 792 H) pensyarah kitab al-Hikam al-Athā’iyah berkata: Dzikir yang paling baik adalah keinginan yang lahir dari hati sanubari seseorang yang selalu mengingat Dzat Yang Maha Tinggi, yakni Allah s.w.t.. Kondisi semacam ini disebut Dzikir Khafi, di mana menurut Ahli Sufi pengertiannya adalah kontinyuitas atau keistiqamahan seseorang dalam menempatkan Allah s.w.t. di dalam ingatannya di kala sendirian.
Al-Qur’an dalam beberapa ayat banyak menyinggung dzikir dalam bentuk derivasi yang bermacam-macam seperti: “Dia memberikan hidayah kepada seseorang karena ketaatan terhadap petunjuk-petunjuk-Nya. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram. (QS. Al-Ra’ad, 13:27-28).
Apabila zikir itu diejawantahan dalam ucapan seorang hamba, ia mampu menempatkan dirinya seolah-olah istighrāq atau tenggelam dalam ingatan kepada Allah semata, sehingga ia tidak sadar dengan apa yang telah dilakukannya. Hanya saja, yang perlu digaris-bawahi di sini, kondisi seperti itu bukan bagian dari konsep Hulūl dan Ittihād. Dalam diskursus Ilmu Tasawuf, Hulūl merupakan salah satu konsep yang merujuk pada pemahaman bahwa Tuhan (Allah) dalam pengertian letterlijk atau harfiah hadir atau menetap dalam diri seseorang.
Seseorang yang mengalami Hulūl diyakini memiliki dzauq atau rasa akan keberadaan Tuhan secara mendalam. Ia merasa bahwa Tuhan hadir dalam dirinya, atau bahkan bahwa dirinya sama dengan Tuhan. Konsep ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Abū al-Mughīts bin Manshūr al-Hallāj (w. 922 M), hingga kini masih dianut oleh sebagian kecil komunitas seperti Sekter Bayramiyah, di Turki.
Sedangkan konsep Ittihād dalam diskursus Ilmu Tasawuf adalah kondisi spiritual tertinggi di mana seseorang merasa dirinya menyatu dengan Tuhan (Allah) secara langsung dan erat. Dalam kondisi tersebut, seseorang yang menempati maqam ini, kehilangan eksistensi individual dan melebur ke dalam eksistensi Tuhan (Allah).
Meskipun begitu, bukan berarti ia kehilangan individualitasnya secara total, melainkan pencapaiannya dengan bersatu bersama Tuhan, dengan tetap mempertahankan identitas dirinya yang terpisah. Karena itu, menurut konsep Ittihād, penyatuan seorang hamba yang telah mencapai maqam ini terjadi secara spiritual, bukan secara fisik. Konsep ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thaifūr bin Īsā Abū Yazīd al-Busthāmī (w. 874 M).
Kedua konsep di atas menurut sebagian ulama dianggap kontroversial karena akan melahirkan persepsi bahwa Tuhan mempunyai kesamaan dengan makhluk-Nya. Dalam ajaran ahlusunnah wal jamaah, mustahil bagi Tuhan untuk bersatu dengan makhluk, baik dalam Dzat, Asmā’, Af’āl dan Sifāt. Lebih jauh, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa keterpisahan Tuhan dengan makhluk meliputi segala hal, termasuk batasan, arah, dan fisik. Karena itu, wajar apabila konsep Hulūl dan Ittihād dianggap menyimpang dalam spektrum kajian tasawuf, karena apabila dipahami serampangan, akan menjerumuskan seseorang ke dalam penyimpangan akidah.
Lagi pula, menurut al-Ghazali, kedua konsep tersebut tidak memiliki landasan yang kuat dari al-Qur’an maupun al-Sunnah. Ditegaskan dalam al-Qur’an: “(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan (menjadikan pula) dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan(-nya). Dia menjadikanmu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Syura, 42:11).
Jika merujuk pada pernyataan pensyarah kitab ini, yakni Ibnu Abbād al-Nafazī al-Randī, ada perbedaan fundamental antara istighrāq, Hulūl dan Ittihād. Secara defenitif, istighrāq adalah tenggelam atau terlena, yaitu kondisi jiwa seseorang yang seolah-olah kehilangan kesadaran diri dan tenggelam dalam kecintaan terhadap Allah s.w.t.. Istighrāq merupakan puncak tertinggi dari maqāmāt perjalanan spiritual seseorang dari taubat, zuhud, faqr, sabar, dan sebagainya. Ia merupakan hikmah dan kuasa Allah s.w.t.
Untuk menjadikan kalbu seseorang waktu berzikir kepada-Nya kosong dari segala sesuatu, kecuali yang ada hanya Dia yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Dengan demikian, maka kalbu seseorang menjadi rumah Allah dalam pengertian majazi, bukan hakiki, karena Dia tidak membutuhkan tempat dan tidak terikat oleh sesuatu apapun. Artinya adalah bahwa setiap apapun dari aktivitas yang kita lakukan, senantiasa berpijak pada dzikir kepada Allah s.w.t., kapan dan di manapun, secara otomatis karena Dia telah memenuhi ruang di dalam kalbunya.
Konsekuensinya adalah apabila Allah telah memenuhi relung hati seseorang, maka Dia akan menjaga segala tindak tanduknya, laku lampahnya, dan ucapan lisannya. Hal ini selaras dengan firman Allah s.w.t. dalam hadits qudsi yang berbunyi: “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (nawafil) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya”. (HR. Bukhari, 6502).
Allah s.w.t. akan menguasai relung hati seorang hamba apabila senantiasa berzikir kepada-Nya, selalu menempatkan-Nya dalam ruang hati, seningga tidak ada apapun dalam hatinya melainkan Dia. Penguasaan Allah terhadap hati seorang hamba akan membersihkan Amraadh al-Qulub atau penyakit hati yang menggerogotinya. Dalam konteks ini, penyakit hati yang biasa menggerogoti manusia adalah
(1) Riya’ atau ingin selalu dipuji, (2) Takabbur atau sombong, (3) Hasad iri atau dengki, (4) Bakhil atau enggan mengeluarkan harta di jalan Allah dengan alasan yang tidak benar dan tidak masuk akal. Selanjutnya adalah (5) Nifaq, yaitu sikap menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan, serta (6) Sum’ah, yaitu melakukan kebaikan dengan tujuan agar dipuji dan didengar oleh orang lain.
Begitu juga dengan lisan seorang hamba yang dikuasai oleh Allah akan senantiasa menghindari ucapan kotor dan keji, sebaliknya ucapan yang keluar senantiasa bernilai dzikir seperti alhamdulillah, ketika mendapat nikmat dan anugerah, subhanallah ketika mendapatkan kejutan, serta astaghfirullah ketika menerima sesuatu yang tak sesuai harapan.
Penguasaan Allah terhadap hati seorang hamba merupakan nikmat dan anugerah yang luar biasa, di mana tidak semua orang mendapatkannya. Nikmat dan anugerah Allah s.w.t. sangatlah banyak, manusia tidak akan mampu menghitungnya, meskipun ia menggunakan air laut sebagai tinta dan pepohonan yang ada di bumi sebagai pensilnya. Bagi umat manusia secara umum, nikmat kehidupan merupakan pangkal dari segala nikmat.
Tanpa anugerah ini, niscaya manusia tidak akan akan mampu menikmati anugerah lainnya, seperti nikmat akal pikiran, kesehatan jasmani dan rohani, terlebih nikmat yang paling agung, yakni nikmat Islam dan iman. Hanya orang-orang yang bertakwa dan senantiasa mengingat Allah yang mampu mendapatkan anugerah tersebut. Mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah yang dikehendaki-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan yang berbuat kebaikan”. (QS. Al-Nahl, 16:128).
Allah memberikan anugerah-Nya yang sangat luas sebagaimana disebutkan di atas itu berdasarkan kriteria takwa. Artinya, ukuran kemuliaan manusia di hadapan Allah bukan berdasarkan keturunan, kekayaan, status sosial, atau faktor lahiriah lainnya. Karena itu, ketakwaan yang dimiliki seorang hamba merupakan manifestasi dari keimanan yang kuat dan amal shaleh yang dilakukan secara istiqamah.
Karena itu, dalam Khutbatul Wadā’ Nabi Muhammad s.a.w. menegaskan: Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (Esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (puith) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya” (HR. Ahmad, 22978).
(Transkip Pengajian Syarah Al-Hikam, Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, pertemuan Ke-76).