Keliling Eropa, NU Terus Membesar dan Berkembang

0

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) berkesempatan keliling Eropa, seperti, Amsterdam, Den Haag di Belanda dan Lisbon di Portugal. Dalam perjalanannya, Gus Yahya bertemu dengan banyak Nahdliyin (warga NU) yang tersebar di berbagai negara-negara di Eropa. 

Gus Yahya bercerita saat pelantikan PWNU Kepulauan Riau masa khidmah 2023-2029 di Ballroom Golden Prawn, Bengkong, kota Batam, Rabu 22 Mei 2024. ”Di Belanda, tidak terlalu aneh menemukan banyak warga Indonesia, termasuk warga NU. Kami mengadakan kegiatan bersama di masjid milik Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda di Amsterdam,” ujar Gus Yahya mengawali ceritanya.

Ada pengalaman unik saat berkunjung ke Portugal. Hotel tempat Gus Yahya menginap bersebelahan dengan rumah Pesepakbola ternama dunia Cristiano Ronaldo. Warga Indonesia yang tinggal di Portugal yang ditemuinya menyatakan dengan bangga bahwa mereka warga NU.

“Beberapa teman mengundang saya ke sebuah warung kopi di tengah kota, yang merupakan pusat pariwisata di Lisbon. Di sana, saya bertemu sekitar 10 orang warga Indonesia dari berbagai daerah seperti Bandung, Bekasi, dan Tulungagung. Mereka semua mengaku sebagai warga Nahdlatul Ulama,” cerita Gus Yahya dengan bangga.

Gus Yahya juga berbagi pengalamannya bertemu warga NU di Amerika Serikat, Australia, Austria, Belgia, dan Inggris. “Ke mana pun saya pergi, selalu ada orang yang datang hanya untuk menyatakan diri sebagai Nahdlatul Ulama. Ini menjadi sumber keyakinan dalam diri saya bahwa Nahdlatul Ulama adalah sebuah peradaban,” tegasnya.

Menurut Gus Yahya, perkembangan pesat telah dialami oleh NU sejak didirikan oleh 33 kiai. Ketika NU ikut serta dalam Pemilu 1955, Gus Yahya mengungkapkan hanya ada 18 persen suara yang didapatkan. Namun, survei pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia merasa sebagai Nahdliyin.

Dari hasil survei tersebut, Gus Yahya menegaskan bahwa NU sebagai sebuah Perkumpulan terus mengalami perkembangan yang signifikan. “Hal ini menunjukkan bahwa NU terus membesar dan berkembang,” jelasnya.

Gus Yahya menambahkan bahwa keberhasilan NU sebagai organisasi yang ikut membangun peradaban itu, didukung oleh elemen fundamental yang kuat, yaitu sebuah ikatan antara organisasi NU dengan para warganya.

Baca Juga :  KESUNGGUHAN PUASA MAMPU SIKAPI HARI RAYA FITRI

Gus Yahya mengutip penggalan dalil Al-Qur’an, surat Al Baqarah ayat 256. “Barangsiapa meninggalkan tuhan-tuhan palsu dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang teguh pada tali yang tidak bisa putus.” “Ini adalah nash Allah, nash Qur’an, firman Allah tentang iman.

Barangsiapa telah beriman tidak akan pernah bisa putus ikatannya kepada Allah. Maka kalau ada orang yang tadinya mengaku beriman kemudian putus talinya ya berarti dia bohong pasti dia belum beriman sebetulnya,” tegas Gus Yahya.

“Ini sama dengan Nahdlatul Ulama. Sekali orang merasa NU, sampai ke mana pun juga di ujung dunia ini tidak akan pernah hilang jati dirinya sebagai warga NU. Karena NU telah menjadi tali yang kuat yang tidak bisa putus,” tegas Gus Yahya.

Perlindungan Lingkungan Berkelanjutan

Selain menghadiri pelantikan PCINU Belanda dan bertemu warga nahdliyin di belahan Eropa. Gus Yahya juga di undang menjadi pembicara utama pada forum The International Dialogue Centre (KAICIID) di Lisbon, Portugal. Pada sesi diskusi, sang moderator meminta Gus Yahya menjelaskan tentang perspektif tradisi keagaman dan ajaran dalam menginformasikan perlindungan terhadap lingkungan dan keberlanjutan.

Menurut Gus Yahya, soal lingkungan dari sudut pandang tradisi Islam sunni dan yang paling penting adalah sikap mendasar kita, dengan melihat tradisi agama daripada mencoba mengubah interpretasi tradisi untuk mematuhi setiap ide baru yang datang.

Pelayanan terhadap lingkungan kita adalah kewajiban yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, karena semua kreasi diciptakan oleh Tuhan dan Tuhan membuat manusia mendefiniskan hadiah untuk kesejahteraan umat manusia. Jadi, itu tanggung jawab manusia untuk menjaga lingkungan alam untuk menjamin kesejahteraan umat manusia.

Bahwa kesejahteraan alam dan kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan, karena kesejahteraan manusia membutuhkan kesejahteraan alam. Dan sejak Tuhan (dalam persepektif kami) menjadikan manusia sebagai wakilnya sebagai seorag khalifah di muka bumi ini. Maka tanggung jawabnya adalah untuk menjaga dan mengelola semua ini demi kesejahteraan manusia dan kesejahteraan alam.

Baca Juga :  Santri Penyambung Nilai Perjuangan

Kewajiban ini suci karena berasal dari Tuhan. Dan apapun yang kita lakukan untuk mengejar kesejahteraan dari kemanusiaan dilarang bagi kita untuk melakukan dengan cara yang akan membuat kehancuran alam. Di sisi lain apapun yang kita lakukan untuk membuat kesejahteraan alam, kita tidak bisa melakukannya dengan cara yang merugikan antar sesama manusia, karena menyakiti sesama manusia akan menciptakan ketidakadilan dan ketidakadilan akan menciptakan konflik dan konflik pada akhirnya akan membawa kehancuran pada alam.

Dua hal yang merupakan kesejahteraan umat manusia dan kesejahteraan alam adalah tidak dapat dipisahkan dan di bawah keawajiban rahasia umat manusia untuk menjaga sebagai kewajiban dari Tuhan.

Untuk itulah, pentingnya kolaborasi antaragama dalam upaya meningkatkan perlindungan lingkungan dengan melibatkan komunitas agama lain. Maka akan ditemukan konstituen yang mendukung upaya menjaga lingkungan. Bahwa keterlibatan agama harus dilakukan di tingkat akar rumput, bukan hanya melalui diskusi formal di tingkat tertentu dalam struktur umat beragama.

Dalam hal lingkungan berkelanjutan, PBNU telah mengambil langkah konkret dengan menciptakan model pendidikan yang mencakup lebih dari 26.000 sekolah dan 30.000 pesantren. “Kami membuat kurikulum yang mendidik masyarakat tentang ajaran agama kami yang relevan dengan kepedulian terhadap alam dan lingkungan,” urai Gus Yahya.

Tidak hanya di Indonesia, PBNU juga terlibat dalam upaya internasional untuk perlindungan lingkungan. Pada akhir 2022, PBNU meluncurkan gerakan yang disebut “Ekologi Spiritual” di Bali. Gerakan ini bertujuan mengkonsolidasikan berbagai komunitas agama untuk melakukan upaya nyata dalam mendidik masyarakat agar lebih sadar akan pentingnya menjaga alam dan mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan umat manusia.

Bahwa gerakan ini bukan hanya upaya di antara para pemimpin agama tetapi juga melibatkan masyarakat dari berbagai komunitas di tingkat akar rumput. Dengan melibatkan masyarakat di akar rumput, upaya kita akan menjangkau konstituen yang lebih luas dan partisipasi yang lebih luas dalam gerakan ini. Gerakan ini akan menjadi lebih konkret, bukan hanya dalam hal pemahaman konseptual tentang berbagai permasalahan, tetapi juga tindakan nyata di lapangan.

Baca Juga :  Ngaji Qonun Asasi NU Bareng Gus Yahya (4)

Banyak dinamika permasalahan di sekitar yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Oleh karena itu, gerakan perlindungan lingkungan yang melibatkan berbagai komunitas agama sangat diperlukan untuk menciptakan perubahan nyata dan berkelanjutan. Saya rasa hal ini sangat kita perlukan karena banyak sekali dinamika permasalahan di sekitar kita yang juga akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat kita sehari-hari.

Agama sebagai Senjata Politik

Fenomena atas kecenderungan sebagian aktor politik yang menggunakan agama atau identitas lain sebagai senjata politik untuk meraih dukungan masyarakat telah beberapa kali terjadi di Indonesia.

Untuk itulah, Gus Yahya itu menegaskan pentingnya mencegah penggunaan agama untuk tujuan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. “Secara umum, yang pertama-tama perlu kita cegah adalah agama atau identitas budaya kita digunakan untuk suatu usulan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kita, misalnya untuk kepentingan politik sebagai senjata politik atau untuk melegitimasi suatu hal tertentu,” tambah Gus Yahya.

Gus Yahya menekankan bahwa ide-ide yang tidak berasal dari agama, tetapi dipaksakan kepada pemimpin agama untuk mengakomodasikannya, dapat berpotensi merugikan umat. “Jika kita bisa mencegah semua itu, maka setiap masyarakat kita bisa kembali pada hakikat ajaran agama kita,” jelas Gus Yahya.

Gus Yahya optimis bahwa dengan mencegah politisasi agama, masyarakat dapat fokus pada ajaran agama yang sejati. “Kita dapat melihat bahwa dalam hal kepentingan kesejahteraan umat manusia, kita semua mempunyai pemikiran yang sama dan kita selalu dapat bekerja sama untuk mewujudkan hal tersebut,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Raudlathut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.

Berdasarkan pengalaman kami, pengalaman Nahdlatul Ulama dalam kolaborasi kami di belahan dunia lain, tantangan yang paling sering muncul dalam upaya mengembangkan saling pengertian dan kolaborasi antarumat beragama adalah senjata politik agama. “Tantangan yang paling sering muncul dalam upaya mengembangkan saling pengertian dan kolaborasi antarumat beragama adalah senjata politik agama,” tutup Gus Yahya.

(Anisa/NU Online).

Leave A Reply

Your email address will not be published.