Pengantar
Tulisan ini kami kutip dari majalah Gema Muslimin tahun 1953. Kiai Saifuddin Zuhri mewakili NU sebagai Petugas haji tahun 1953. Sebelumnya, tahun 1952 petugas haji dari NU adalah KH Idham Chalid dan KH Hasan Abdillah dari Jawa Timur. Tulisan ini semoga bisa memberi warna perhajian dalam pandangan kita. (MH)
Oleh: Saifuddin Zuhri
Oleh Kementerian Agama saya ditunjuk menjadi anggota Majelis Pimpinan Haji (MPH) yang bertugas memimpin rombongan Haji Bangsa Indonesia agar supaya perjalanan untuk menunaikan Rukun Islam yang kelima itu berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam serta berlangsung secara terhormat sebagai layaknya sesuatu bangsa merdeka.
Mula-mula oleh Pemerintah (Kementerian Agama) saya ditetapkan untuk memimpin rombongan jamaah yang memakai kapal ‘Nelly’, lalu dipindah untuk kapal ‘Mayon’ yang membawa jamaah dari Jawa Tengah. Seperti telah dirasakan oleh jamaah ini, kapal ‘Mayon’ kepunyaan kongsi nasional Inaco lalu mundur-mundur dan ditunda-tunda pemberangkatannya, sehingga kesabaran jamaah haji telah habis. Itulah sebabnja maka timbul protes yang hebat sekali dari lapisan masjarakat di Jawa Tengah kepada Inaco. Tiba-tiba saya diperintahkan untuk berangkat ke Surabaja guna memimpin rombongan jamaah yang akan naik dengan kapal ‘Tyndareus’, sedangkan perintah dari Jakarta itu diberikan 3 hari mendjelang pemberangkatannja kapal Tyndareus.
Jamaah dari kapal ‘Mayon’ jang sudah merasa gembira sekali karena saya ditundjuk pemerintah mendjadi MPH-nja (maklum sama-sama Jawa Tengah), tiba-tiba harus saya tinggalkan, karena saya ditugaskan untuk mendjadi MPH kapal lain (Tyndareus). Sedangkan paspor dan tiket untuk saya telah berada di Surabaja untuk disesuaikan dengan perintah pindah kapal ini. Jamaah kapal ‘Mayon’ mempertahankan saya supaya saya tetap mendjadi MPH mereka berdasarkan sayang-nya kepada saya. Saya berada di posisi yang sulit.
Mengikuti kehendak jamaah ini yang belum tentu dikabulkan oleh Kementerian Agama (yang menentukan dan menunjuk MPН.), sedang waktu 3 hari tidak memberikan jaminan akan terkabulnja permintaan ini, ataukah membangkang (tidak tunduk) perintah Kementerian Agama jang mengongkosi perdjalanan haji saya, sedang paspor dan tiket saya sudah ada di Surabaya dan pasti harus memimpin rombongan ‘Tyndareus’ sebagai yang telah disiapkan apa-apa jang perlu bagi saya oleh PHL (Pemberangkatan Haji Laut) Jawa Timur.
Saya mengambil putusan yang pasti. Saya berangkat ke Surabaya memimpin rombongan mentaati perintah Kementerian Agama, walaupun saya harus mengorbankan kasih sayang yang diberikan oleh teman-teman di Jawa Tengah. Apa boleh buat. Risiko pegawai-negeri.
Dalam Kapal
Kapal yang kami tumpangi bernama ‘Tyndareus’ milik maskapai Inggris The Blue Funnel Line” dari Kongsi-Tiga, besarnja 11.600 ton. Rombongan jang naik dari Surabaya sebanjak 425 orang berasal dari Jawa Timur, Kalimantan dan Sunda Ketjil, kemudian ditambah rombongan jang naik dari pelabuhan Makasar sebanyak 1300 orang berasal dari Sulawesi dan Maluku.
Tidak mudah menciptakan perjalanan yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan berlangsung secara terhormat sebagai layaknja sesuatu bangsa yang telah merdeka, yang harus dimulai di dalam kapal selama 22 hari sejak dari Surabaya sampai Jeddah. Apa pula diciptakan di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari macam-macam suku bangsa yang tingkatan berfikirnya tidak rata, ditambah dengan benih-benih pertentangan partai dan ideologi yang sedang berkecamuk di tanah-air kita sedangkan sedikit banyak benih-benih itu dipunyai oleh jamaah haji.
Maklumlah, mereka itu terdiri dari macam-macam pengikut partai. Ada anggota NU, ada Masyumi, ada PNI, ada Partai Kedaulatar Rakjat-nya segala, dan entah pengikut partai apa lagi. Tidak heran, kalau proses pembentukan kabinet oleh formatur Mr. Burhanuddin Harahap di waktu itu, diikuti oleh sebagian besar jamaah haji dengan sangat saksama dan interes. Masing-masing mengharapkan, moga-moga partai dan jago-jagonya terpilih duduk dalam kabinet yang lagi dibentuk. sekurang-kurangnya mendapat keuntungan bagi partai dan pemimpin-pemimpinnya dalam usaha pembentukan kabinet itu.
Baiknya komposisi dan personalia kabinet itu begini, kata seorang calon haji dari partai NU supaya NU dan Masyumi sama duduk di kabinet. Ah, mana bisa, musti begini, kata calon haji yang lain dari PNI. Calon haji anggota PSII mengemukakan pendapatnya yang paling jitu katanya. Tidak, kata calon haji yang lain lagi dari partai satunya, kabinet yang paling kuat musti begini susunannya dan orang-orangnya mesti ini dan ini, begitu katanja sambil bersikap gagah seperti formatur menyerahkan hasil usahanya di hadapan Kepala Negara.
Kalau di Jakarta banyak pemimpin partai yang wara-wiri dan pusing bersilat dengan formatur, juga di kapal-haji banyak jago-jago yang saling grêgêté dan nafsu besar. Bahkan kalau di Jakarta hanya satu orang formatur untuk tiap-tiap periode, maka di kapal haji terdapat formatur-formatur yang jumlahnya lebih dari satu dosin, dan semuanya itu sudah berhasil dengan kemauannya sendiri.
Sungguh menggelikan, tapi meriah! Cuma bedanya, jika pemimpin-pemimpin dan gembong-gembong politik di Jakarta menghadapi deadlock dalam perundingannya menghadapi formatur, bisa menambah simpang siurnya pertentangan-pertentangan yang sudah ada, maka jalan-buntu yang meliputi udara-politik dalam kapal-haji itu bisa dipadamkan dengan teriakan: Sudalilah, kita ini ‘kan sedang beribadah haji! Maka seketika itu terdengar suara ketawa besar yang meriah sekali, masing-masing tersadar dari lamunannya yang menghanyutkan.
Jikalau keadaan normal, artinja per-jalanan kapal tidak terganggu oleh gelombang laut, maka di bawah pimpinan MPH para jamaah haji dapat diatur segala keperluannya selama dalam perjalanan. Misalnja: diatur tempatnya dalam palkah kapal supaya masing-masing jamaah hanja mengambil tempat yang sudah ditentukan baginya; menjaga kebersihan tempatnya masing-masing: cara mengambil rangsum makanan, minuman serta air dengan antre supaya tidak berebutan: datang ke poliklinik pada jam-jam yang telah ditentukan manakala merasa sakit; mendjaga kesopanan di waktu mandi dan berhajat di kamar-kecil; membatasi pergaulannja dengan wanita (lelaki) lain jang bukan mahram (muhrim)-nya; menjaga bahaya kebakaran dengan hati-hati jika sedang merokok dan sebagainya; duduk-duduk dan mengambil udara bersih diatas dek jang tidak menjadi larangan kapten; serta mengatur alat-alat jamaah dan mendengarkan penerangan-penerangan (agama dan apa-apa yang perlu yang bertalian dengan ibadah-haji) seperti jang telah ditetapkan.
Akan tetapi jikalau kapal dihantam gelombang sampai berhari-hari (biasanya sampai 10-an hari yaitu sejak memasuki semudera India), pada umumnja hampir 80% jamaah haji kena mabuk-laut, kepala pening, perut membual-bual, muntah-muntah saja, dan tidak bernafsu makan. Tempat untuk mengambil rangsum makanan dan minuman serta toko-kapal (kantin), demikian pula kamar-mandi dan poliklinik jadi sunyi sepi, karena jamaah haji jang sedang terkena mabuk-laut itu umumnya berbaring saja di atas kasurnya sehari-harian.
Kalau sedang mabuk, yang diminta hanya air panas saja untuk mengisi perutnja, kadang-kadang makanan yang aneh-aneh semisal intip-nasi, kulit appel, ikan asin dibakar, kelapa dengan gula-kelapa, dan sesamanya, pendeknya makanan jang tidak biasa dimakan saben hari. Menurut pengalaman, ada jalan untuk mencegah pukulan mabuk laut, kalau kepala sudah berasa agak pening, segeralah makan vitamine B barang sebutir, lalu makan (nasi atau lainnja) banyak-banyak. Jangan di bawa tidur, sebaiknya segera naik di atas dek kapal, supaja dapat menghirup hawa laut jang bersih, sambil berjalan-jalan supaya anggota badan dibawa bergerak sehingga keringat bisa keluar.
Akan tetapi, jika sudah terasa hendak mabuk, lalu dibawa berbaring di atas kasur, udara palkah jadi tambah buruk karena padatnja orang, apa lagi banyak orang muntah-muntah, kadang- kadang maaf buang air juga di situ Maka hawa palkah jang memang kurang bersih bertambah buruk lagi, sehingga mabuk-laut meradjalela!