Bermadzhab tidak Bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits

0

“Hanya para ulama yang menguasai seperangkat syarat untuk berijtihad yang boleh menggali dan menyimpulkan hukum langsung darinya. Sedangkan kewajiban setiap orang muslim yang awam adalah bertanya kepada ahlinya jika tidak tahu dan mematuhi petunjuk para ulama dalam mengikuti salah satu dari empat madzhab fikih yang paling banyak dianut di daerahnya.”

Semua kaum muslim sepakat bahwa teks-teks suci dalam Islam, berupa al-Quran dan al-Hadits, adalah sumber dan dalil hukum yang wajib diagungkan. Pengagungan terhadapnya (ta’dzim al-nushush al-syar’iyyah) tidaklah sama dengan penggalian hukum-hukum darinya, sehingga tidak setiap muslim yang mengagungkan dan mensucikannya tidak otomatis menjadi seorang yang ahli untuk memahami dan menyimpulkan hukum-hukum dari keduanya secara benar.

Hanya para ulama yang menguasai seperangkat syarat untuk berijtihad yang boleh menggali dan menyimpulkan hukum langsung darinya. Sedangkan kewajiban setiap orang muslim yang awam adalah bertanya kepada ahlinya jika tidak tahu dan mematuhi petunjuk para ulama dalam mengikuti salah satu dari empat madzhab fikih yang paling banyak dianut di daerahnya.

Empat Madzhab fikih yang telah dikenal dalam dunia Islam tidak ada yang menyimpang dari al-Quran dan al-Hadits. Orang awam dari kebanyakan umat Islam tidak perlu mengikuti slogan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits, dalam makna tidak perlu menafsirkan, merumuskan, dan menyimpulkan hukum-hukum dari kedua sumber tersebut. Sebab kebanyakan orang Islam tidak memenuhi berbagai persyaratan dan peralatan memadai untuk memahami teks-teks agama secara benar.

Kini, di negeri kita, juga bermunculan pendakwah yang mempromosikan kepada kaum muslim awam akan perlunya berpegang teguh pada hadits shahih (al-i’timad ‘ala al-Sunnah al-shahihah), padahal tidak setiap hadits shahih secara otomatis harus diamalkan, menolak keras setiap hadits dla’ if, padahal tidak setiap hadits dla’if pasti tidak diamalkan. Kadangkala para mujtahid beralih dari suatu hadits yang shahih kepada dalil lainnya karena ada ta’ arudl (kontradiksi secara lahiriah) dalam makna di antara beberapa hadits, atau antara al-Quran dengan hadits.

Baca Juga :  Bawa Kedamaian, Tokoh Hindu Apresiasi Kedatangan Grand Syekh

Bagi siapa yang mampu memahami kitab-kitab Ushul al-fiqh dan kitab-kitab fikih klasik dalam berbagai Madzhab dengan baik akan mudah menemukan contoh kasus hukum di mana seorang mujtahid yang mendapati hadits shahih namun ia tidak mengambilnya sebagai dalil hukum, seperti dalam kasus tidak batalnya wudlu’ karena menyentuh kemaluan menurut Madzhab al-Hanafi. Hal-hal demikian ini amat mustahil dilakukan sendiri oleh orang awam agama dari kalangan umat Islam, apalagi mereka hanya mengandalkan buku-buku terjemahan dari kitab-kitab hadits shahih, seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Bila saat ini ada sebagian juru dakwah yang mengklaim mampu memahami teks-teks suci agama Islam dengan benar sesuai dengan metode dari para sahabat nabi, maka itulah klaim yang penuh kedustaan dalam mengajarkan agama untuk mencari sebanyak mungkin pengikut belaka. Dari mana mereka tahu metode pemahaman agama itu berasal dari para sahabat? Apakah mereka mampu mengumpulkan seluruh pendapat para sahabat Nabi yang tersebar luas dalam berbagai referensi agama yang amat banyak jumlahnya? Tentu saja mereka tidak bakal mampu.

Oleh sebab itu, yang paling logis dan paling aman dalam memahami agama, dalam bidang fikih utamanya, adalah dengan mengetahui metode pemahaman agama menurut para sahabat hanyalah melalui cara berpegang teguh kepada salah satu dari Madzhab yang empat yang lebih dekat masanya dengan masa sahabat dari pada masa kita hidup saat ini dan lebih tahu dari kita tentang manhaj (metode) para sahabat nabi. Cukup jelas bahwa yang perlu kita pedomani dalam beragama secara benar adalah pemahaman terhadap teks-teks suci dari empat madzhab fikih yang tiada lain kecuali warisan ajaran dari Rasulullah SAW.

Klaim sebagian juru dakwah bahwa mereka dalam memahami teks-teks agama berdasarkan manhaj al-shahabat yang terlepas dari empat madzhab fikih versi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) itu tidak lebih sebagai klaim dusta, tidak ilmiah, dan tidak bisa dipertanggung jawabkan dunia akhirat.

Baca Juga :  GKMNU Siapkan Layanan Psikolog Profesional

Oleh sebab itu, dalam beragama umat Islam tidak perlu ragu untuk mengikuti salah satu dari empat madzhab, sebagaimana kebanyakan anggota NU di Indonesia yang berpegang teguh pada fikih Madzhab al-Imam al-Syafi’i. Umat Islam tidak perlu tertipu dan tidak perlu mengikuti slogan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits berdasarkan pemahaman yang shahih dari para sahabat Nabi, kecuali sebagaimana yang diuraikan dalam empat madzhab fikih Islami.*

*KH. Ahmad Ishomuddin, Penulis adalah Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, Rois Syuriyah PBNU Masa Khidmat (2010-2021) – (Liputan9.id)

Leave A Reply

Your email address will not be published.