Mukaddimah
Meskipun pelaksanaan ibadah haji telah selesai beberapa waktu lalu, namun sakralitasnya masih dirasakan oleh kaum muslimin yang melaksanakannya hingga kini. Hal itu terjadi karena Ibadah Haji merupakan perjalanan spiritual yang pelaksanaannya cukup berat, membutuhkan kesiapan mental dan fisik yang relatif kuat. Karena itu, Allah s.w.t. mensyaratkan pelaksanaan ibadah haji ini bagi yang mampu dalam pengertian yang luas. Untuk mengingat kembali memori tentang ibadah haji, maka dalam tulisan ini, penulis mengulas salah satu karya Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani, yang bernama “Fî Rihâbi Al-Bait Al-Harâm”.
Sejarah Pembangunan Ka’bah
Kitab “Fî Rihâbi Al-Bait Al-Harâm” ditulis oleh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki sebagai tuntunan bagi jamaah haji dan umrah untuk memantapkan hati mereka selama menjalankan perjalanan sipiritualnya di tanah haram. Kitab ini lahir setelah Sayyid Muhammad melakukan kajian pustaka berikut riset lapangan ke tempat-tempat bersejarah di sekitar kota Mekkah. Pada tanggal 06 Dzulqa’dah 1399 H\1979 M, beliau merampungkan kitab ini sebagai usaha dalam rangka memberikan edukasi kepada para jamaah haji dan umrah. Kebetulan, waktu penulis berada di Mekkah, musim haji yang lalu, mertua memberikan kitab cetakan ketiga, tahun 1405 H\1985 M untuk dimuthala’ah, sehingga mampu menguraikannya dengan bahasa yang ringkas di majalah ini.
Sayyid Muhammad, memulai pembahasan di kitab ini dengan mendeskripsikan sejarah, keutamaan, dan kelebihan Bait al-Harâm, yakni Ka’bah. Dalam sejarahnya, Ka’bah mengalami pembangungan setidaknya dua belas kali, yaitu dimulai oleh para malaikat, lalu oleh Nabi Adam a.s., Nabi Syits a.s., Nabi Ibrahim a.s., al-Umâliqah, Jurhum, Qushay bin Kilab, Quraisy, Abdullah bin Zubair, al-Hajjâj bin Yusuf al-Tsaqafi, dan Sultan Murad. Namun para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kedua belas kelompok sebagaimana termaktub di atas. Oleh sebab itu, sebagian pakar sejarah lalu membatasinya ke dalam beberapa klasifikasi saja berdasarkan referensi yang jelas, baik di al-Qur’an, al-Sunnah, kitab-kitab sejarah, dan catatan-catatan antropologi yang berkenaan dengan itu. Secara kronologis, klasifikasi yang dimaksud di sini yaitu Nabi Ibrahim a.s., Suku Quraisy, Ibnu Zubair, dan al-Hajjâj bin Yusuf al-Tsaqafi.
Pembangunan Ka’bah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. ditegaskan dalam al-Qur’an: “Ingatlah ketika Ibrahim meninggikan pondasi baitullah\Ka’bah bersama Ismail seraya berdoa: Wahai Tuhan kami, terimalah amal dari kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah, 02:127). Sedangkan pembangunan Ka’bah oleh Suku Quraisy tercatat di dalam riwayat Bukhari (1585) dan Muslim (1333) sebagai berikut: “Kalau bukan karena kaummu (Aisyah) yang baru saja meninggalkan kekufuran, aku akan meruntuhkan Ka’bah dan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim a.s.. Sesungguhnya kaum Quraisy kurang sempurna dalam membangun Ka’bah.
Jika melihat kronologi pembangungan Ka’bah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Suku Quraisy berdasarkan dua teks di atas, maka di sini kita memahami bahwa sebenarnya Ka’bah itu sudah ada jauh sebelum masa Nabi Ibrahim a.s.. Karena itu redaksi al-Qur’an tatkala menceritakan bagaimana Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail membangun Ka’bah, mengunakan istilah “Irfâ’ al-Qawâid” atau peninggian pondasi. Artinya, beliau berdua meninggikan pondasi Ka’bah yang mungkin sebelumnya tertimbun pasir atau karena hal lain, sehingga pondasi dasarnya tertutup. Hal itu bisa dilihat dari penuturan al-Qur’an bahwa kondisi Bait al-Harâm sebelum Nabi Ibrahim pergi meninggalkan Siti Hajar dan Nabi Ismail berupa lembah yang gersang tak berpenghuni. “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya di sisi rumah-Mu (Bait al-Harâm) yang dihormati. Wahai Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS. Ibrahim, 14: 37).
Menurut Sayyid Muhammad al-Maliki, Nabi Ibrahim membangun pondasi Ka’bah di atas pondasi yang dibagun oleh Nabi Adam. Dalam pembangunannya itu, beliau menggunakan batu dari lima gunung, yakni Gunung Tursina, Gunung Zita’, Gunung Tina’ (keduanya ada di Lebanon), Gunung Juhdi, dan Gunung Harra’. Para malaikat mendatangkan batu dari kelima gunung tersebut lalu memberikannya kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Pembangunan di masa beliau ini, Ka’bah hanya terdiri dari dua tiang, yaitu tiang hitam (al-Raknu al-Aswad) dan tiang yamani (al-Raknu al-Yamani). Selanjutnya, pembangunan Ka’bah oleh suku Quraisy dilakukan lima tahun sebelum Rasulullah s.a.w. diangkat menjadi rasul. Namun, terdapat beberapa kekurangan dalam pembangunannya lantaran kekurangan biaya, sehingga pondasinya mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Hal ini terekam jelas dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya kaum Quraisy kurang sempurna dalam membangun Ka’bah”. Muslim (1333). Meskipun begitu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak melakukan renovasi lantaran menjaga perasaan Suku Quraisy, mengingat mereka baru saja meninggalkan kekufuran.
Selanjutnya, pembangunan Ka’bah oleh Ibnu Zubair dilakukan karena terjadi peperangan antara Ibnu Zubair sendiri dengan Yazid bin Muawiyah. Kubu Yazid bin Muawiyah menyerang kelompok Ibnu Zubair yang pada saat itu sedang berada di dekat Baitul Harâm dengan manjanîq. Manjanîq sendiri sejenis senjata meriam yang ditembakkan dengan cara dilempar dengan sebuah alat pelempar yang besar. Akibatnya, tembakan manjanîq yang diarahkan kepada kubu Ibnu Zubair mengenai Ka’bah, hingga mengalami kerusakan yang cukup serius. Beberapa waktu setelah peristiwa itu, terjadi kebakaran hebat yang menimpa Ka’bah disebabkan salah satu kemah yang berdiri di dekatnya terbakar. Api mulai merangsak masuk ke dalam setelah terlebih dahulu membakar kiswahnya. Karena peristiwa itulah, Ka’bah direnovasi kembali menyesuaikan dengan pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s..
Namun, pada masa al-Hajjâj bin Yusuf al-Tsaqafi, ia menulis surat dan meminta izin kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk merenovasi Ka’bah kembali. Menurut al-Hajjâj, renovasi Ka’bah yang dilakukan oleh Ibnu Zubair tidak sesuai lantaran terdapat penambahan-penambahan yang tidak sesuai dengan pondasi yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s.. Dalam hal ini, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki merespons bahwa renovasi Ka’bah yang dilakukan oleh al-Hajjâj tidak lain hanya merupakan aktivitas politik daripada syiar agama. Menurut beliau, al-Hajjâj ingin menghapus ingatan umat Islam pada generasi selanjutnya perihal amal jariyah yang dilakukan Ibnu Zubair, bahkan condong untuk membencinya. “Ammâ binâ’ al-Hajjâj falaisa binâ’ mustaqillan, bal huwa taghyîrât wa Ishlâhât, wa dzâlika amrun siyâsiyyun aktsar mâ yakûnu minhu dîniyyun. Wa la’alla al-Hajjâj Ghayyara Binâ’ al-Zubair lilKa’bah likaylâ yabqâ lahû amalun wa lâ atsarun yudzkaru bihî fiz zaman bughdan lahû”.
Keutamaan Shalat di Bait Al-Harâm
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, shalat di dalam Ka’bah keutamaannya telah ditetapkan oleh sunnah Nabi Muhammad s.a.w. dengan sanad yang kuat. Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a bahwasanya pada suatu ketika Nabi Muhammad s.a.w. memasuki Ka’bah, diikuti oleh beberapa orang sahabat, di antaranya Usamah, Bilal, dan Utsman bin Thalhah. Beliau mengunci pintu Ka’bah tersebut lalu berdiam di dalamnya. Setelah Nabi Muhammad s.a.w. dan beberapa sahabatnya itu keluar, Ibnu Umar bertanya kepada Bilal: “Apa yang diperbuat oleh Rasulullah s.a.w. tatkala berada di dalam Ka’bah?”. Bilal menjawab: “Rasulullah s.a.w. berdiam di antara dua tiang di sebelah kanan dan satu tiang di sebelah kirinya, serta tiga tiang di belakangnya. Waktu itu di dalam Ka’bah terdapat enam tiang, lalu beliau shalat. (HR. Bukhari Muslim).
Sayyid Muhammad juga mengutip pendapat al-Azraqî dalam “Târîkh Ka’bah”, dari al-Fâkihî dari Atha’ yang menyatakan: “Aku lebih suka shalat dua rakaat di dalam Ka’bah dari shalat di Masjidil Haram empat rakaat”. Di sini dapat dipahami bahwa shalat di dalam Ka’bah lebih Utama dari shalat di luarnya. Dalam riwayat yang berbeda, al-Fâkihî meriwayatkan dari al-Hasan: “Shalat di dalam Ka’bah (meskipun dua rakaat) setara dengan shalat seratus ribu kali (di luar Ka’bah)”. Di sini kita memahami bahwa Bait al-Harâm mempunyai banyak keistimewaan, terutama apabila shalat di dalamnya. Keutamaan itu mungkin tidak dimiliki oleh tempat-tempat lain di belahan bumi manapun. Bahkan, dalam banyak riwayat di dalam kitab-kitab hadits, Masjidil Haram di mana Ka’bah berada di dalamnya mempunyai keistimewaan berupa pahala yang dilipatgandakan apabila shalat di dalamnya.
Dalam kitab Sunan Ibnu Majah misalnya, termaktub riwayat dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Shalat (dua rakaat) di masjidku ini (masjid Nabawi) itu lebih utama dari seribu kali shalat di masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram”. (HR. Ibnu Majah, 1404). Dalam riwayat lain yang lebih kuat, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Shalat (dua rakaat) di masjidku ini (masjid Nabawi) itu lebih utama dari shalat seribu kali di masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram. Shalat (dua rakaat) di Majidil Haram lebih utama seratus kali dari shalat di masjidku ini”. (HR. Bukhari, 1190, dan Muslim, 1394).
Penutup
Itulah pembahasan singkat dari Kitab “Fî Rihâbi Al-Bait Al-Harâm”, karya Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani, yang mampu penulis ulas dalam rangka tabarrukan sekaligus tafa’ulan. Mengingat, beliau merupakan guru dari sebagian besar ulama-ulama Nusantara dan menjadi rujukan dunia Islam Sunni. Sebenarnya banyak sekali bab-bab di dalam kitab ini yang menarik untuk diulas, hanya saja karena terbatasan space, penulis hanya mengulas dua bab saja dalam kitab ini sebagai tambahan literasi bagi pembaca yang budiman. Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahan rizki sehingga mampu berziarah ke kota Mekkah dan Madinah untuk melakukan ibadah di dalamnya. Aamiin.
Mekkah, 01 Juni 2024
Mohammad Khoiron
Wakil Sekretaris LBM PWNU DKI Jakarta