M. Ustov Abi Sri (Mustofa Bisri)
Pengantar: Tulisan ini pernah dimuat majalah Risalah NU Jawa Tengah nomor 2 tahun kedua tahun 1399 H atau 1979 M untuk mengenang wafat ayahandanya KH Bisri Mustofa.
Mengungkapkan memori seorang tokoh besar yg syumul/all round seperti Al-Maghfur lah KH. Bisri Mustofa rasanya terlalu sempit lembaran Risalah ini untuk memuatnya. Betapa tidak; beliau adalah seorang Kiai Pondok Pesantren, seorang organisator dengan jabatan Rois Syuriyah NU Jawa Tengah. Beliau adalah seorang Muballigh kaliber Nasional yang sekaligus juga pengarang, dua jabatan yang sulit dirangkap, dan seorang negarawan sebagai anggota MPR, RI.
Tentu saja tidak boleh dilupakan bahwa disamping jabatan-jabatan tersebut, beliau adalah seorang pribadi yang kepala keluarga, yakni kepala keluarga KH. Bisri Mustofa yg tinggal di desa Leteh dalam kota Rembang. Tentang jabatannya sebagai Kiai Pondok pencetak kader idiologis Ahlis Sunnah Wal Jama’ah telah terbukti dengan tersebarnya para Kiai bekas santri beliau diseluruh pelosok Pulau Jawa.
Sebagai Muballigh Nasional yang humoris dan sekali-kali beragitasi, sebagai pengarang yang hasil karyanya telah banyak dipelajari orang- orang tua seperti tafsir Al-Ibriz (konon dipelajari juga di SURINA ME, Amerika Latin) dan oleh siswa madrasah seperti terjemah Jurumiyah dan Alfiyah, sebagai anggota MPR-RI dan sebagai Rois Syuriyah NU Jawa Tengah, semuanya telah banyak dimaklum bahkan sampai orang awam pun mengetahuinya.
Akan tetapi tentang jabatan beliau sebagai pribadi dan kepala keluarga rupa-rupanya tidak banyak diketahui kecuali oleh orang-orang terdekat dan keluarga beliau sendiri. Oleh karenanya, maka dalam kesempatan ini penulis mengajak para pembaca untuk mengenal lebih dekat pribadi Al-Maghfur lah KH. Bisri Mustofa, walau dalam hal-ihwal yang ringan-ringan saja.
HUMORIS YANG LUWES
K.H. Bisri bin H. Mustofa yg. dilahirkan pada th. 1914 dg. nama kecil “MASHADI”, adalah seo- rang humoris yangluwes. Banyak banyolan-banyolan nya yang tidak dapat dilupakan oleh rekan-rekan seangkatannya. Humornya berisi dan luwes; menyenangkan orang-orang tua dan muda. Dengan keluwesannya beliau dapat bergaul akrab dengan segenap lapisan masyarakat, mulai da- ri rakyat kecil, bakul bumbu di pasar hingga pejabat tinggi tingkat istana. Mulai dari kiai-kiai sufi sampai para kiai intelek.
Kiai-kiai yang jarang tertawapun akan banyak tawanya kalau sudah jagongan dengan KH. Bisri, bahkan seorang kiai yang akan marah tidak jadi marah terhadap kiai Bisri Mustofa yang luwes dan humoris itu. Pada suatu ketika kiyai Bisri dengan bersepatu pergi ke Lasem sowan mbah K.H. Ma’shum yang terkenal konsekwen pada garis non cooperatif ternadap penjajah Belanda, sehingga berpakaian ala Belanda-pun tidak disukai. Melihat Kiai Bisri bersepatu, mbah Ma’shum memperingatkan agar tidak usah bersepatu.
Lalu dengan sopan, luwes dan dengan gaya humoris KH. Bisri menjawab “Mbah, sepatu puniko ahshonu li- nnajasah” (maksudnya: “Mbah, sepatu itu lebih menjaga percikan najis”). Dengan jawaban itu mbalı Ma’shum bukannya marah tetapi tertawa geli, bahkan seketika itu juga sepatu Kiai Bisri diminta dan dipakainya.
Ada kalanya humor beliau mahal beayanya. Ini terjadi ketika pada suatu hari seorang kiyai (sebut saja Kiyai A dari suatu kota yang jaraknya tak kurang 300 km. dari Rembang, dipanggil via telepon untuk datang ke Rembang masalah penting sekali. Setelah beberapa kali angkat telepon barulah kiai A datang. Begitu datang dihidangkan nasi liwet hanya dengan satu macam lauk model pondok yaitu “sambal ces”; sambal kelapa ditumpangi batu bakar. Sambil makan Kiyai A bertanya: ‘Ada masalah penting apa?” “Saya rindu dan ingin makan bersama seperti waktu kita di pondok dulu?” kata Kiai Bisri. “Jadi, saya dipanggil, dan jauh-jauh datang kemari hanya untuk makan? Masya Allah, hanya begini dikatakan penting sekali.” Dengan dialek Rembang yang humoris dan santai KH. Bisri menjawab:” Silaturrahmi itu penting.
Keduanyapun tertawa bersama. Kemudian ketika makan dengan sambal ces tadi hampir selesai (hampir kenyang) tiba-tiba KH. Bisti memanggil seorang santri dan menyuruhnya mengambil su- lai, sate dan bermacam-macam lauk-pauk yang rupa-rupanya sudah disiapkan sebelumnya dan sengaja baru akan dihidangkan ketika hampir selesai atau hampir kenyang. Kiai A berkomentar: “Apa-apaan nih, makan hampir kenyang lauk-pauk baru dihidangkan.” Keduanya tertawa geli.
MENCOBA ADU KEKUATAN
Banyak orang heran melihat Kiai Bisri kuat berdiri berjam-jam di atas podium dalam usia yang sudah sepuh. Tetapi penulis yang kebetulan adalah orang terdekat dengan beliau, lebih heran lagi menyaksikan beliau betah duduk di muka meja (mengarang) sampai empat jam lebih, Penulis pernah mencoba adu kekuatan dengan beliau yang waktu itu usianya mendekati 70 tahun. Sedangkan penulis masih jauh lebih muda dan berkekuatan muda. Penulis bermaksud mencoba adu kekuaatan duduk di muka meja tulis, bukannya adu keahlian dim mengarang.
Ternyata penulis kalah dan mengakui keunggulan behau. Waktu itu kira-kira jam 20.00 istiwa. sesudah shalat ‘Isya’ belau mualai duduk di muka meja dan mulai mengarang. Kurang lebih 15 meter dari situ penulis pun duduk menghadapi meja tulis sendiri dengan maksud menyaingi beliau duduk. Beliau menulis dan terus menulis dengan selalu tampak bersemangat. Sedang penulis sendiri diam menyaingi hanya sekali-sekalı, menulis, membaca, melamun dan merokok, Setiap kali menengok ke aralı beliau; selalu tampak pemandangan yang sama, beliau selalu tampak menulis dan menulis dan tetap bersemangat. Terdengar lonceng dua belas ka li; sudah jam 12 tengah malam, punggung penulis terasa pegal, pan tat terasa panas, mata mengantuk. Sementara beliau tetap menulis menghadapi meja tulis sendiri dengan tetap sigap seolah-olah terpaku.
Empat jam telah berlalu penulis makin merasa lemah, lesu dan lelah. sedang beliau masih tampak sigap, dan terus menulis. Akhirnya penulis mengaku kalah, dan ber- henti. Hanya penulis sendiri jadi heran; bahwa dengan tidak terasa selama itu penulis telah menyelesaikan penterjemahan sebuah kitab walau kecil, yaitu Diba’. Apakah ini karena barokah dari beliau?. Wallaahu A’lam.
MENDESAK RATU DAPUR
Mungkin banyak orang mengira bahwa Kiai Bisri yang menyandang beberapa jabatan tinggi seperti tersebut dimuka, kalau sedang bersantap atau makan selalu dilayani oleh para khadim (pelayan) dengan penuh khidmat. Ternyata tidak demikian halnya. Al-Maghfurlah Kiai Bisri yang berpendidikan pesantren; pesantren Rembang di bawah asuhan ΚΗ. Kholil Harun (mertua), di pesantren Tebuireng oleh KH. Hasyim Asy’ari, di Saudi Arabia oleh Syeh Baqir dan Syeh Umar Huda dan lainnya.
Namun dalam hal makan beliau mempunyai kebiasaan tersendiri; tidak selamanya dilayani, tetapi sering beliau masak sendiri bahkan belanja sendiri di pasar. Ini biasanya terjadi pada saat-saat beliau selesai menamatkan sebuah karangan/tulisan. Kalau sudah berjam-jam beliau duduk di muka meja tulis tiba-tiba terdengar: “Alhamdulillah,” pertanda satu karangan telah diselesaikannya. Pada saat seperti ini biasanya beliau terus memanggil putra-putra atau santrinya: “Ayo cung nang pasar” (Mari anak-anak ke pasar) Maka dengan membawa perlengkapan belanja serta diiringi putra atau santrinya beliau pergi berbelanja di pasar; membeli daging, ikan sayur-mayur, cabe, bawang dan lain-lain bumbu yang diperlukan. Sampai di rumah langsung ganti pakaian koki pondokan (kaos o- blong) dan terus masak apa saja dikehendaki. Dalam keadaan seperti itu biasanya beliau sama sekali mendesak kedaulatan ratu dapur.
TUKANG YANG TRAMPIL
Akan tetapi akan sulit memba- yangkan bagaimana seorang anggota MPR yang kiai pondok, rois Syuriyah Wilayah, muballign Nasional dan pengarang yang mempunyai ketrampilan dalam bidang pertukangan kayu. Beliau memiliki kotak-kotak berisi alat-alat pertukangan gergaji, pasah, tatah, martil dan lainnya. Kalau sudah mulai menukang para asistennya (santri maupun putra-putranya sendiri) kikuk menghadapinya, sehingga mereka terdorong untuk bekerja lebih giat. Banyak perkakas/perlengkapan rumah tangga yg beliau buat sendiri meja, kursi rak buku, salon, sekat dinding yang semuanya dikerjakan dengan baik, Bahkan rumah beliau di jalan Mulyono no 3 Rembang mulai dari gubug bambu, lalu dinding dari kotak sabun sampai bentuknya yang sekarang, beliau sendirilah arsitek, mandor dan salah satu tukangnya. Mungkin itu semua adalah salah satu hasil dari sistim pendidikan pondok, dimana para santri harus belajar hidup berdikari.
Berpulang
pada 3 Pebruari 1977/17 Shofar 1397, kira-kira lima hari sebelumnya, sesudah menghadiri Harlah Partai Persatuan Pembangunan di Gedung Olah Raga Semarang, beliau pergi ke Jakarta mengantar putra beliau yang hendak pergi belajar ke Arab Saudi. Pulang dari Jakarta terus menghadiri Harlah NU di Kradenan Purwodadi Grobogan. Dan sebagai mana biasa, sesudah pengajian pulang ke Rembang jam 04.00 dinihari, lalu mengajar sesudah subuh. Istirahat sebentar sesudah mengajar lalu pergi ke Jombang untuk suatu keperluan NU. Pulag dari Jombang beliau jatuh sakit, dan dua hari kemudian dipanggil menghadap Allah SWT.
K.H. Bisri Mustofa telah tiada, tinggallah amal jariyah beliau yg dapat kita temui; pondok pesantren, kitab-kitab karangan dan lain sebagainya. Sayang seribu kali sayang bahwa tercapainya tujuan Jam’iyyah NU yang sangat beliau gandrungi ternyata sampai hari wafat beliau masih belum sepenuhnya terwujud Semoga putra-putri, para santri dan segenap pengurus serta warga NU dapat melanjutkan perjuangan beliau.