RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengingatkan kepada seluruh kader Nahdlatul Ulama untuk tidak mengikuti gerakan atau gagasan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh ulama-ulama ahlussunnah wal jamaah.
“Saya ingatkan sejak awal jangan ikut-ikutan feminisme. Saya bilang begitu karena feminisme itu nanti kalau diperlebar (dan) dibawa lebih jauh, nanti sampai juga kepada soal pemikiran LGBT dan semacamnya,” ujarnya dalam siaran langsung di saluran TVNU pada penutupan acara Training of Trainer yang diselenggarakan Pengurus Pusat Fatayat NU. Selasa (9/06).
Sebelumnya, ketua umum yang akrab disapa Gus Yahya itu menyebut perjuangan Fatayat merupakan kerangka bagian dari ekosistem para ulama ahlussunnah wal jamaah sehingga pergerakan dan semangat yang dianut haruslah bersumber dari ulama ahlussunnah wal jamaah.
“Misalnya kita ber-Fatayat untuk memperjuangkan semangat feminisme, tidak boleh! Kita ber-Fatayat demi kejayaan kaum perempuan Indonesia, tidak boleh!,” jelasnya.
Gus Yahya menyebut terdapat berbagai macam wacana/agenda/ideologi yang saling berebut untuk diyakini. Seringkali agenda-agenda tersebut didasarkan pada pemikiran-pemikiran sekuler, tetapi dengan dukungan kekuatan ekonomi politik tertentu didesakkan kepada agama-agama.
“Agama-agama ini kemudian dibujuk-bujuk, didorong-dorong, sampai bahkan kalau perlu dipaksa-paksa untuk ikut menerima dan melegitimasi gagasan-gagasan sekuler itu,” terangnya.
Beliau memberi contoh pengkhotbah Kristen di Finlandia yang menerbitkan brosur tentang nilai kekeluargaan dengan didasari perkawinan antara laki-laki dan perempuan menurut agama Kristen. Pengkhotbah itu dihukum pidana karena telah dituduh melakukan diskriminasi terhadap kaum LGBT.
Gus Yahya menyayangkan para aktivis NU yang sekarang ini memperjuangkan gerakan yang tidak melihat referensi keilmuan para ulama ahlussunnah wal jamaah.
“Sekarang ini bahkan di antara para aktivis NU sendiri memperjuangkan gerakan-gerakan dengan isme-isme yang tidak dilihat bagaimana cantolannya kepada referensi keilmuan para ulama ahlussunnah wal jamaah,” ujarnya
Kendati demikian, beliau menyebut Nahdlatul Ulama tetap memiliki keluwesan dalam menerima realitas-realitas baru dengan cara menggunakan metodologi yang telah diciptakan oleh ulama-ulama terdahulu, agar gagasan yang diterima tidak keluar dari sanad keilmuan para ulama ahlussunnah wal jamaah.
“Kita boleh boleh saja mengartikulasikan satu gagasan baru, tapi semua harus bisa dipertanggung-jawabkan secara metodologis dengan referensi turos warisan keilmuan para ulama kita,” terangnya.
“Kita tahu ada ushul fiqih. Ulumul quran dengan berbagai macam tafsir yang di rangkai oleh para ulama kita. Kita mengenal ulumul hadis dengan mustolahnya dan sebagainya,” jelasnya menyebutkan contoh metodologi yang beliau maksud. (Anisa).