Hadirin yang saya hormati, konsolidasi jam’iyah menyangkut tiga matra. Yang pertama adalah konsolidasi tata kelola. Organisasi ini harus dikelola dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga kinerjanya baik. Kalau tata kelolanya tidak baik, pasti kinerjanya juga akan tidak baik, akan buruk.
Jadi kita harus konsolidasikan tata kelola ini supaya kinerjanya baik. Yang kedua adalah konsolidasi agenda, supaya jelas kita melakukan layanan kepada jamaah itu dengan perspektif yang aktual, yaitu dengan melihat realitas dari jamaah, sehingga kita bisa mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan jamaah, dan kemudian membangun agenda-agenda yang sistematik untuk sebesar-besarnya memenuhi hajat dari jamaah itu sendiri.
Kemudian yang ketiga adalah konsolidasi sumber daya. Sumber daya itu menyangkut sumber daya manusia dan sumber daya waktu, dalam pengertian waktu adalah uang. Jadi, ada sumber daya manusia dan sumber daya pembiayaan organisasi, karena organisasi butuh biaya. Ini harus dikonsolidasikan. Konsolidasi sumber daya ini kita tempuh dengan, pertama, pembangunan sistem pelatihan kader untuk meningkatkan kapasitas dari para pengampu organisasi. Untuk sumber daya pembiayaan, kita melakukan langkah-langkah menuju tersedianya sumber-sumber pembiayaan yang independen dan lumintu.
Jadi kita butuh sumber pembiayaan yang independen. Maksudnya independen itu uang yang kita bikin sendiri dan kita pakai sendiri, semau-mau kita. Itu namanya independen. Kita harus punya itu, dan lumintu. Kalau kita ini cuma mengharapkan donasi atau sumbangan sebagaimana yang selama ini kita lakukan, sekian lama kita bergantung kepada donasi, jelas banyak yang akan mau memberikan donasi, membantu NU.
Semua program kita nanti, ukurannya, skalanya, pasti akan luas sekali, dan akan membutuhkan dukungan pembiayaan yang yang besar, dan pembiaayaan dukungan itu harus sustainable, makanya tidak sekadar ngasih uang. Mungkin sebetulnya Pak Jokowi sebagai presiden dalam posisi untuk manggil orang-orang kaya, “Sudah, sekarang iuran, kasihkan ke NU,” misalnya. Mungkin beliau dalam posisi itu. Tapi kalau cuma diberi uang begitu saja itu namanya tidak lumintu, tidak sustainable. Nah, ini alhamdulillah.
Walaupun tentu tidak boleh kita hanya berpikir tentang fasilitas kebijakan presiden ini sebagai satu-satunya sumber yang independen dan sustainable itu. Kita harus mengembangkan macam-macam kreativitas untuk membangun sumber-sumber pembiayaan yang lain, yang sekali lagi, harus independen dan sustainable. Kemudian konsolidasi agenda. Itu berarti bahwa kita harus bergerak sebagai satu kesatuan organisasi bersama-sama melakukan upaya untuk memberi layanan umum kepada jamaah yang sekian banyak itu.
Ini berarti agenda-agenda, program-program dilakukan oleh seluruh jajaran pengurus harus merupakan satu agenda yang koheren, yang semuanya mengarah kepada cita-cita yang sama, tujuan-tujuan yang sama, dan target-target yang dirancang secara sistematis. Yang dilakukan oleh pengurus NU di satu desa dengan pengurus NU di desa lain ini harus nyambung, harus sama. Yang dilakukan oleh pengurus Ranting NU Sumobito, Jombang, dengan Ranting NU di satu desa, misalnya, di Sumatra Utara sana – saya enggak hafal nama-nama desa di sana – itu harus nyambung, tidak boleh terlepas sama sekali. Ini berarti kita butuh konsolidasi agenda secara nasional.
Untuk melakukan itulah, maka lalu kita transformasikan salah satu lembaga yang kita punyai, yaitu Lakpesdam ini, untuk berfungsi – kalau namanya tidak bisa kita ubah, karena masih dicantumkan di AD/ART sebagai Lakpesdam, dan fungsi-fungsinya yang sebagaimana diatur dalam AD/ART itu juga masih harus dijalankan, tapi kita kembangkan fungsi baru bagi Lakpesdam ini, yaitu fungsi – sebagai Bappenu. Bappenu itu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional NU. Alhamdulillah, kemarin kita sudah menyelesaikan Renstra NU, rencana strategis nasional NU, seperti yang dibuat oleh Bappenas untuk pemerintah negara, dan Renstra yang dihasilkan oleh Lakpesdam ini nanti akan menjadi dasar dari agenda nasional NU secara menyeluruh di semua tingkatan.
Nanti akan kita breakdown menjadi agenda-agenda kelembagaan, antara lembaga satu dengan lembaga yang lain. Kemudian kita breakdown lagi menjadi agenda di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Ini adalah konsolidasi agenda. Yang ketiga, konsolidasi tata kelola. Ini kita lakukan, pertama, dengan merapikan regulasi-regulasi tentang mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur.
Maka kita lakukan berkali-kali Konferensi Besar untuk mengesahkan peraturan-peraturan perkumpulan yang diperlukan bagi konsolidasi tata kelola itu, supaya semua hal menyangkut kegiatan organisasi ini ada aturannya, tidak semau-maunya sendiri.
Mengapa perlu Transformasi Digital?
Yang kedua, dalam kerangka tata kelola ini, yang kita lakukan adalah transformasi digital. Transformasi digital yaitu menyelenggarakan urusan-urusan organisasi ini melalui platform digital. Sekali lagi, semua konsolidasi tadi itu adalah wajibat, itu dharuri semua. Kita bukannya mau sekadar supaya kelihatan modern, enggak, butuh kita ini, sudah. Ini kayak orang lapar butuh makan. Ini bukan aksesori. Kalau ini kita tidak lakukan, kita bisa mengalami disfungsi, organisasi ini bisa rusak fungsinya kalau wajibat ini tidak kita lakukan. Maka transformasi digital ini termasuk wajibat, ini harus dilakukan, kalau enggak kita akan mengalami disfungsi. Kalau sekarang PBNU tidak tahu urusan organisasi yang beredar di tingkat kecamatan, itu namanya disfungsi.
Tidak tahu, tidak punya catatan, tidak bisa mengevaluasi sama sekali, itu namanya disfungsi, tidak boleh begitu. Sementara, sekarang kita berhadapan dengan realitas bahwa ukuran dari struktur yang harus kita kelola ini pun sudah begitu besar. Kita ini punya 38 PW, setiap provinsi. PC itu 548, kalau tidak salah, PCNU. MWC, mestinya, ada yang bolong-bolong, kalau sesuai dengan jumlah kecamatan – jumlah kecamatan seluruh Indonesia itu lebih dari 7.000 kecamatan – 7.000 sekian ratus. Ranting, karena kita harus punya ranting di desa seluruh Indonesia ini, itu lebih dari 81.000 desa di seluruh Indonesia. Ini skala yang besar sekali. Nah, menghadapi skala urusan yang begini besar ini tidak mungkin – sekali lagi, tidak mungkin – kita bisa mengelola dengan baik kecuali melalui platform digital, ini satu-satunya cara. Ini dharuri, sudah.
Kalau kita gagal melakukan ini, risikonya adalah disfungsi organisasi. Kalau organisasi disfungsi, tanggung jawabnya juga disfungsi. Itu berarti organisasi tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya. Kalau organisasi tidak bisa menjalan tanggung jawab, berarti pengurusnya – yang jadi pengurus itu – juga tidak becus.
Tanggung jawab Pengurus NU
Masalahnya, persoalannya buat kita semua ini, yang jadi pengurus semua ini, ini semua itu nanti ditanyakan di yaumil hisab. Itu masalah kita, dan kita sudah terlanjur baiat, baya’tu, sudah sudah baya’tu, sudah baiat semua. Kalau tidak ada pertanyaan di yaumil hisab, kita bisa lebih santai. Kalau perkumpulan-perkumpulan yang cuma hahahehe mungkin enggak ada hisabnya, mungkin. Tapi NU ini jelas, semuanya didasarkan, kita melakukan semua ini karena iman, kita berbaiat karena iman, dan kita menjalankan tugas dalam kerangka iman, memenuhi apa yang wajib.
Wajib itu kalau dalam syariat: kalau dilakukan dapat pahala, kalau ditinggalkan dosa. Karena kita sudah terlanjur mau jadi pengurus, mau dibaiat, maka semua ini menjadi wajib. Jadi pengurus (NU) itu tidak wajib. Kalau teman-teman kemarin-kemarin menolak, “Enggak mau saya,” itu enggak dosa, sebetulnya, karena enggak wajib jadi pengurus NU itu. Tapi kalau sudah mau, ini jadi kewajiban pekerjaan, tanggung jawab ini semua jadi kewajiban.
Ini beban kita semua. Karena ini merupakan yang bukan hanya tanggungan dunia, tapi juga tanggungan akhirat, kita tidak punya pilihan. Makanya saya juga begitu kemarin, saya bilang: “Saya sudah pamitan dablek 5 tahun,” misalnya itu. Itu maksud saya, karena saya harus mendahulukan pertimbangan tentang tanggung jawab yaumil hisab itu. Kalau tanggung jawab persepsi masyarakat, misalnya, itu sudahlah, biar saja.
Kalau tanggung jawab tentang citra di tengah masyarakat itu, itu bukan hisab yang terlalu penting. Yang bahaya itu hisab yang nanti itu, yaumul hisab, bahaya. Maka saya ajak kepada teman-teman semuanya untuk secara sungguh-sungguh. Semua aplikasi terintegrasi NU Online Visinya itu nanti – saya sudah sampaikan tadi kepada Pak Amin Said Husni dan tim digitalnya – bahwa semua ini harus dikonsolidasikan menjadi satu platform raksasa. Ini bukan hanya super app, nantinya, tapi menjadi giant app.
Sekarang ini masih terpisah jadi satu aplikasi tersendiri, Digdaya Persuratan ini, tapi saya sudah minta kepada tim digital, ini harus segera diproses untuk diintegrasikan ke platform NU Online. Jadi pengurus nanti enggak harus download aplikasi Digdaya Persuratan, download NU Online sudah ada di situ. Cuma siapa boleh ngakses siapa enggak, itu kan bisa diatur, otorisasinya seperti apa, supaya bisa ngakses.
Jadi di NU Online itu nanti ada fitur-fitur yang tidak bisa diakses secara umum, tapi hanya authorized persons yang bisa mengakses. Tapi semuanya harus di situ, supaya enggak menuh-menuhin HP. Karena nanti ini akan ada banyak, macam-macam. Sekarang persuratan, besok nanti ada platform tentang kegiatan-kegiatan, pelaporan program, macam-macam. Itu semua harus integrated dalam satu platform raksasa. Saya minta ini segera diproses dengan NU Online.
Termasuk TVNU itu nanti harus ada, supaya orang bisa akses dari NU Online. Semuanya pokoknya harus masuk jadi satu platform di NU Online ini, supaya NU Online ini jadi universal, pokoknya segala yang online tentang NU ada di NU Online, begitu maksudnya. Kalau enggak ada di situ berarti enggak online. Nanti silakan diatur, dibicarakan teknisnya bagaimana, dan saya minta ini dilakukan dalam waktu yang relatif cepat.
Ini tadi kita sudah resmikan dengan, itu tadi namanya tumpeng juga? Tadi sempat kita rasan: tumpeng kok enggak lancip (runcing)? Mungkin penjelasannya karena supervisor digitalnya sudah tokoh sepuh, jadi sudah tidak lancip lagi, jadi makanya tumpengnya juga tidak lancip. Kita sudah resmikan, dan tadi sudah tanya: ini sampai ke cabang kapan deadline-nya, dan tim digital mengatakan Desember sudah bisa sampai ke cabang, semuanya. Jadi kalau sampai Desember belum nyampai ke cabang, awas nanti! Pokoknya harus dengan segera sampai ke cabang, soal platform persuratan ini. Tapi pada saat yang sama, secara simultan, kebutuhan-kebutuhan platform lain juga harus segera dikerjakan.
Platform program, platform untuk konsolidasi data-data, bukan hanya soal data kepengurusan, tapi juga data tentang layanan-layanan yang sudah ada di lingkungan NU, seperti layanan pendidikan, pesantren, sekolah madrasah, perguruan tinggi, layanan kesehatan, rumah sakit-rumah sakit, layanan apa pun di dalam NU ini, semua harus ada platform digital untuk basis konsolidasinya, dan ini harus dikerjakan dengan waktu yang tidak terlalu lama. Saya minta semuanya selesai di tahun 2025 ini. Tim digital, sanggup? (“sanggup”).
(Transkip sebagian sambutan Ketum PBNU Gus Yahya saat peluncuran aplikasi digdaya persuratan NU di Lobby PBNU, Jakarta pada Kamis, 1 Agustus 2024).