Mengarifi Sejarah (Inspirator, Muassis dan Penyokong Berdirinya NU)

0

Mari kita bayangkan sebuah fragmen:

Di rumah Kiai Abdul Fattah di Pekalongan menjadi tempat rutin mengaji. Di majelis tersebut, hadir Kiai Irfan Ketijayan — seorang ‘arifin penghafal kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Setiap kali bertemu Luthfi bin Yahya, seorang pemuda yang turut hadir di majelis pengajian itu, Kiai Irfan menatapnya dengan tajam. Lalu menangis. Suatu kali, peristiwa itu berulang kembali disaksikan Kiai Abdull Fattah da Kiai Abdul Adzim.

Tak lama kemudian Kiai Irfan mendekat kepada pemuda berwajah Arab itu, “Bib, saya mau bertanya. Mengapa cara dan gaya berpakaian engkau selalu menyukai warna putih. Sarung, baju dan kopyah seluruhya berwarna putih, persis apa yang kerap dilakukan guru saya?”

Mendengar pertanyaan itu, Habib Luthfi bin Yahya terkejut dan bertanya,“Siapakah guru Romo Kiai?”

Kiai Irfan pun menjawab, “Habib Hasyim bin Umar bin Yahya”.

Habib Luthfi ingin menjawabnya tapi hatinya menolak. Seraya membatin, merendah. Mau mengakui, tapi dirinya merasa belum menyamai ilmu sebagaimana kakeknya. Akhirnya, Kiai Abdul Adzim dan Kiai Abdul Fattah menjawabnya, “Lha, beliau memang cucunya”.

Mendengar jawaban itu, Kiai Irfan terkejut. Ia buru-buru merangkul dan mencium cucu Sang Guru tersebut sembari meneteskan air mata. Air mata bahagia. Kiai Irfan melanjutkan pertemuan indah itu, dan berkisah tentang hubungan Habib Hasyim bin Umar bin Yahya dengan Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Tebuireng Jombang. Betapa Kiai Hasyim Asy’ari dan kalangan habaib mempunyai hubungan yang indah, saling menghormati, mencintai ilmu dan orang-orang alim.

Maka, setelah ada isyaroh (baik tongkat dan tasbih yang dibawa As’ad Syamsul Arifin) dari Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bankalany, maka berdirilah Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim Asy’ari menyampaikan kepada Habib Hasyim bin Umar bin Yahya. Sang Habib Pekalongan ini pun langsung menyambut dengan bahagia kehadiran wadah (organisasi) bagi perjuangan dakwah Islam ala Ahlussunnah Waljamaah ini.

Kisah hubungan indah Kiai Hasyim Asy’ari dan Habib Hasyim bin Umar bin Yahya, tak hanya disaksikan oleh Kiai Irfan, melainkan juga oleh Habib Abdullah Faqih Al-Atthas Pekalongan, seorang ulama ahli fikih (wafat pada 14 Rajab 1347 H). Juga Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, yang lebih sepuh. Sedang Habib Hasyim bin Yahya wafat pada tahun 1350H, menyusul kemudian pada 1351H, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas, Empang Bogor pun wafat. Mereka hidup sezaman dengan Kiai Adam Krapyak Pekalongan dan Kiai Ubaidillah, para waliyullah yang menggenggam samudra keilmuan.

Sumber Primer

Terdapat sejumlah dokumentasi resmi dalam pendirian NU. Salah satunya adalah Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama, yang diterbitkan pada 1926. Dokumentasi ini menjadi legal formal organisasi pada masa penjajahan Belanda, mengungkap daftar para pengurus pertama NU. Dalam dokumentasi tersebut, jelas tak ditemukan nama kakek Habib Lutfhi, Habib Hasyim bin Umar bin Yahya.

Dalam ejaan lama, berikut ini daftar nama pengurus NU sekaligus tokoh yang menjadi pengurus pertama NU: Kjahi Hadji Moehammad Hasjim bin Asj’ari (Rois), Kjahi Hadji Sa’id bin Saleh (Wakiloerrois), Kjahi Haji Mas Alwi bin Abdul Aziz (katib), Kjahi Abdullah bin Ali (A’wan), Hadji Hasan Gipo (President), Hadji Ahdjzab (Vice President), Hadji Ihsan (Kassier), Moehammad Sadiq alias Soegeng Yudhadhiwirya (Secretaris), Hadji Saleh Samil (Commissaris).

Memang ada seorang tokoh yang, meskipun tidak disebut resmi dalam statuten pendirian NU, 31 Januari 1926, tapi justru menjadi Inspirator berdirinya NU. Ya, tokoh itu tak lain adalah Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bankalany. Kisah-kisah awal pendirianya NU, sebagai asbabul wurud, tak lepas dari ulama pesantren yang menjadi guru para kiai pada zaman itu.

Bila kemudian ada yang menyatakan bahwa selain Syaikhona Muhammad Kholil al-Bankalany ada tokoh lain, sebelum berdirinya NU, agaknya hal itu klaim sepihak – perlu diverifikasi lebih dalam. Klaim sepihak tidak bisa dijadikan pijakan sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah adalah fakta, bukan dongeng. Kalau ada sumber lisan, itu pun harus diverifikasi usianya sezaman atau tidak.

KH As’ad Syamsul Arifin menjadi sumber lisan yang dipercaya, karena usianya sezaman dengan muassis NU. Apalagi, Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situndo itu, pelaku langsung yang terlibat dalam proses awal berdirinya NU.

Terdapat frase “tidak mau ditulis” dalam pernyataan buku karya Muhdor Ahmad Assegaf, Cahaya dari Nusantara: Maulana Habib Luthfi bin Yahya – Catatan Kekaguman dan Kecintaan Seorang Santri (Pemalang: Penerbit Abna’ Seuwun, 2020, hlm. 156-159) patut menjadi renungan kita seraya mempertanyakan. Bila kalimat itu langsung disampaikan pelaku langsung, bisa dipahami sebagai kesaksian dan fakta penting yang bisa memberikan data baru. Tapi, di dalam buku tersebut, dipungut kisah lisan disampaikan dari forum ceramah sang cucu, tentang tokoh dimaksud.

Terkait “tak mau ditulis”, kita dapat memetik hikmah dari perjalanan hidup K.H. Masjkur, Pimpinan Tertinggi Markas Barisan Sabilillah di Malang pada zaman Revolusi Indonesia, 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar dan secara resmi Pemerintah Belanda mengakui Kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 dan berakhirnya masa Revolusi Fisik. Dan memang, dalam buku KH Masjkur: Sebuah Biografi ditulis Soebagio I.N. (Jakarta: Gunung Agung, 1982) tak banyak mengungkap peran perjuangan sang tokoh, terkait peristiwa-peristiwa penting saat perjuangan kecuali saat-saat beliau menjadi Menteri Agama dalam beberapa kabinet pemerintahan pada masa berikutnya.

Ajaran Kaum Santri

Sebagaimana ajaran kaum santri, perjungan tak harus ditonjolkan kepada orang lain. Kesadaran untuk mencari semata-mata ridha Allah Ta’ala, menjadi pengangan para ulama kita. Ada alasan Kiai Masjkur “tidak mau ditulis”, setidaknya tak menonjolkan diri. Semasa hidup Kiai Masjkur hanya ingin adanya masjid yang berdiri sebagai bentuk penghormatannya.

Bila di Yoyakarta berdiri Masid Syuhada’, maka di Malang berdirilah Masjid Sabilillah – nama yang dinisbatkan dari Barisan Sabilillah. Sesudah itu, selepas wafat baru generasi berikutnya menggali jejak perjuangan Kiai Masjkur. Sehingga, K.H. Masykur pada akhirnya dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.

Di luar itu, seperti disebutkan Habib Luthfi bin Yahya, bahwa kakeknya berperan atas berdirinya NU, perlu dikaji lebih dalam dengan bukti-bukti primer. Misalnya, apakah ada nama tersebut pada dokumen rapat, berita surat kabar sezaman, dan risalah atau memoar tokoh sezaman. Bila semua sumber, baik primer maupun sekunder, tidak ada maka bisa dikatakan bahwa hal itu belum bisa dikategorikan sebagai Kebenaran Sejarah.

Akhirnya, dalam kaitan NU, tersebab hubungan penuh keintiman Kiai Hasyim Asy’ari dan Habib Hasyim bin Umar bin Yahya, maka Muktamar ke-5 NU diadakan di kota Pekalongan. Hubungan dan jasa baik keduanya menjadi alasan penting perhelatan itu, dan makin berkembangnya NU di kawasan ini.

Sayangnya, berdasar sumber Habib Luthfi bin Yahya ternyata akhirnya dalam buku Pelajaran Ahlusunnah Waljamaah Ke-NU-an, jilid 1 untuk kelas 2, Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren yang disusun Divisi Keilmuan RMI PCNU, Penerbit RMI PCNU Kabupaten Tegal, menyebut Habib Hasyim bin Umar bin Yahya sebagai muassis NU, sebagaimana peran Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bankalany.

Padahal, dalam Sejarah NU eksistensi Syaikhona Muhammad Kholil adalah Inspirator beridirinya NU. Bukan Muassis NU, karena beliau lahir Desember 1820, wafat pada bulan Desember 1925). Sedang NU berdiri pada 31 Januari 1926.

Dalam buku tersebut disebutkan, salah satu pendiri NU adalah kakek Habib Luthfi, Habib Hasyim bin Yahya Pekalongan. Bahkan, diungkap secara lengkap tentang kronologis pendirian NU yang tak terlepas dari kakek Habib Luthfi. Hal ini yang merupakan pembelokan fakta sejarah yang perlu diluruskan.

Kegelisahan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, bisa dimaklumi. Ia merespons beredarnya buku ajaran di madrasah yang memuat tentang sejarah berdirinya NU. Pada Rapat Pleno PBNU di Jakarta, Minggu 28 Juli 2024, Gus Yahya menjelasakan, tentang buku yang memuat fakta-fakta yang tak tepat, sehingga berpotensi terjadi penyesatan sejarah. Dari buku tentang Habib Luthfi itu, kemudian digunakan sebagai referensi atau sebagai bahan ajar di madrasah-madrasah mengenai sejarah pendirian NU yang isinya berisi narasi yang menyimpang Tak sesuai dengan fakta sesungguhnya.

Mengarifi Sejarah

Di sinilah, sebenarnya terjelaskan betapa hubungan para ulama terdahulu terjalin dengan baik dan harmonis ketika menyebut nama Kiai Hasyim Asy’ari dan Habib Hasyim bin Umar bin Yahya. Keharmonisan hubungan antara ulama pesantren dan kalangan habaib, dzuriyah Rasulullah s.a.w. Di sinilah, sikap arif itu harus kita pegangi dalam menilai Sejarah. Mengarifi Sejarah.

Bila kita memahami kisah mula perjalanan Kiai As’ad Syamsul Arifin diutus Syakhona Kholil Bangkalan ke Tebuireng, dengan tasbih dan tongkat (simbol) Nabi Musa a.s. bisa dikatakan: Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bankalany adalah Inspirator berdirinya NU.

Sedang Habib Hasyim bin Umar bin Yahya adalah Penyokong berkembangnya NU pada dekade awal berdirinya. Data Sejarah menyebutkan, kalangan habaib menyambut dan turut bergabung dalam memperkuat perjuangan NU di sejumlah daerah, bukan hanya di Pekalongan.

Sedang Muassis (Pendiri) NU adalah Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH Abdulwahab Hasbullah — dua tokoh yang tak diragukan eksistensinya di kalangan ulama pesantren. Dalam hal muassis NU, kita pun mengenal sejumlah nama lain, seperti KH Mas Alwi bin Abdul Aziz (pengusul nama Nahdlatul Ulama), KH Ridlwan Abdullah (Pencipta Lambang NU), KH Ahmad Dahlan Ahyad Kebondalem (Wakil Rais Akbar NU), KH Nawawi Sidogiri, KH Asnawi Kudus, dll.

Demikianlah, wallahu a’lam. ***

Riadi Ngasiran (Nahdliyin Journalist cum Historian, Tim Kerja Museum Nahdlatul Ulama, Surabaya)

Leave A Reply

Your email address will not be published.