Di antara rintihan lapar Rahban, di antara desisan melas Syifa, di antara mata nanar Hamar, kegundahan Himyar dan kemasgulan Sanura, tiba-tiba mereka mendengar suara keras detak ladam kuda yang dipacu kencang mendekat.
Sanura sedikit takut karena suaminya tengah bekerja yang dia takutkan suaminya berbuat masalah sehingga aparat khilafah mendatang rumahnya. Atau atau, atau yang tak mereka ketahui. Derap ladam kuda itu perlahan mulai terhenti dan terdengar suara berat seorang laki-laki.
“Assalamu alaikum.”
Sanura segera meraih kerudungnya dan membuka pingtu kayu yang tak berengsel.
“Wa alaikum salam,” jawabnya.
Tapi, amboi, aduhai, subhanallah. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Begitu juga anak-anaknya yang segera menggosok matanya. Mimpikah mereka manakala mata mereka menatap pemandangan yang tak pernah mereka lihat.
Laki-laki yang penuh pesona, sangat sangat sangat tampan dengan bulu cambang tipis yang tengah mereka hadapi. Pakainannya wow, baju sutera yang belum pernah mereka lihat sebelumnya di kerajaan. Sabuknya ada timang emas yang dipahat kalimat Allah. Baunya, sangat wangi yang belum pernah mereka cium wewangian itu sebelumnya.
Laki-kaki itu tingginya sekitar 1.95 cm. Surbannya berwarna merah seperti para pejabat istana. Ada pisau kecil bersarung emas bertatah berlian menempel di sabuk yang menempel di pinggangnya.
Ihwal kudanya, subhanallah, rasanya mereka belum pernah melihat kuda kekar bagus seperti itu di Bagdad dan sekitarnya. Kuda itu tegap dan kekar dengan bulu berwarna keemasan. Dibalut sutera yang disulam bunga-bunga benang emas. Matanya tajam dan seolah mengerti dengan siapa yang ia hadapi. Kuda perang yang hebat.
“Wa alaikum salam,” jawab Sanura lagi hingga dua kali sambil ternganga menatap laki-laki yang dikesankan seperti malaikat itu. Keempat anaknya berdiri di sisinya.
“Rumah Ardasir?” tanyanya.
“Iya, rumah Muhammad Ardasir.”
“Apa ada persoalan dengan suami saya, Tuan?” tanya Sanura.
“Iya.”
“Kami keluarga asal Persia yang telah memeluk Islam sepekan lalu. Suami saya bersaudara dengan Ardazar yang menolak memeeluk Islam karena takut dengan lingkungan dan kaluarga. Karena kami memilih Islam sehingga kami harus pindah ratusan mil ke Bagdad.”
“Aku akan memberi upah tiga hari suamimu,” kata laki-laki itu.
“Terima kasih Tuan, memang suami saya bilang bahwa ia bekerja pada seseorang yang sangat berkuasa yang selaam dua hari ia belum mendapatkan upahnya. Ia berjanji hari Jumat ini upahnya itu akan turun.”
“Upahnya sudah ada dan terimalah. Katakan kepada Ardasir agar bekerja lebih baik lagi. Majkikmannya bilang bahwa ia bekerja sangat baik dan rapi. Ia ingin Ardasir bekerja lebih baik lagi agar mendapatkan upah yang lebih banyak lagi.”
“Terima kasih.”
Laki-laki memberinya kantung uang yang ternyata sangat berat di tangan Sanura yang membawa ramai-ramai dibantu anak-anaknya. Tak seberapa lama, ketika ia keluar lagi untuk bertemu sang tamu, sang tamu sudah hilang. Tak ada suara derap kuda ketika mereka pergi. Anak-anak dan ibu itu saling memandang dan kemudian saling mengangkat bahunya. Ajaib.
Dibukanya, mereka makin tereperanjat. Uang dinar emas berkilauan memenuhi z mereka. Dihitungnya ada seribu dinar. Seribu dinar itu bisa untuk membeli seribu ekor sapi. Sanura segera mengemasi uangnya dan dimaukkan dalam kantung aslinya dan diletakkan di bawah almari reyot yan ditinggalkan pemiliknya di gubuk kontrak itu. Ia ambil satu keping untuk dibelanjakan makan malam ini.
Sharraf, tempat penukaran uang terdekat dimiliki seorang Yahudi bernama Bahamoud. Bekali-kali ia membenahi letak kaca pembesarnya untuk memastikan mata uang ini. Ia menggeleng. “Ini uang yang sangat mustahul dimiliki seseorang di dunia,” katanya.
“Memangnya kenapa Tuan Bahamoud?”
“Emas ini di atas karat tertinggi emas yang ada di dunia. Berat jenisnya juga beda dengan berat jenis emas yang adi sini. Jika selama ini satu dinar bernilai 100 dirham, untuk mata uangmu ini aku tak berani menaksir. Tolong ciritaka dari mana kau dapatkan mata uang ini?”
Sanura bercerita lengkap hingga kepergian laki-laki misterius ini.
“Suamimu kerja di mana?”
“Saya tidak tahu. Dia hanya bilang bahwa ia bekerja pada seorang yang sangat berkuasa.”
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersakasi bahwa Muhamma adalah utusan Allah,” kata Bahamoud, tiba-tiba.
“Bawalah ini 1.000 dirham sebagai hadiah dariku untukmu seibagai orang yang memanduku beriman kepada agamamu,” kata Bahamoud yang lantas melepas kippah (topi kecil khasYahudi).
Malam itu keluaga Ardasir berpesta pora makanan dan buah-buahan terlezat yang ada di kota itu. Dua puluh dirham mereka habiskan di malam itu, padahal makan di restoran termahal di kota itu hanya menghabiskan 5 dirham untuk berenam.
Sekantung Pasir
Ardasir pulang usai Isya dengan gontai. Ia ambil pasir dan dimasukkan dalam kantung gandum untuk mengelabui istri dan anak-anaknya. Begitu galaunya dia.
Tapi, dari jauh ia melihat lampu menyala di rumahnya pertanda istrinya ada uang untuk membeli minyak. Karena selama empat malam rumah itu gelap gulita. Juga tercium bau makanan daging yang dibakar dengan balutan madu. Ia pikir ada orang yang mengirim makanan sedekahan Jumat untuk keluarganya?
Ketika pintu rumah digeser, Ardasir kaget melihat hidangan mewah yang melimpah. Ardasir hampir pingsan tapi isterinya segera memeluknya.
“Teruna kasih suamiku. Terima kasih ayahku yang tekah bekerja keras.”
Maka berceritalah mereka tentang 1000 dinar dan 1000 dirham yang mereka belanjakan sebagian untuk makan malam ini. Ardasir terhenyak melalui sebutir anggur hijau yang dimakannya. “Subhanallah…subhanallah…subhanallah…”
Isteruya mengambil karung gandum di luar dan dibukanya. “Gandumnya bagus,” kata sang istri.
Ardasir semakin terperanjat. Pasir itu telah berubah menjadi gandum dengan izin dan kuasa Allah.
“Ayah bekerja di mana? Beruntung ayah memiliki majikan sebaik itu,” kata isterinya sambil bekali-kali menciumi tangannya.
Ardasir tak ingin bercerita bahwa ia bekerja membersihkan sebuah masjid yang hampir roboh dan merawatnya sehingga menjadi ramai jemahnya. Ardasir percaya bahwa semua ini karena kemurahan Allah.
Malam itu mereka tidur dalam keadaan kenyang.
Dikutip bebas dari kitab Al-Mawaidzul ‘Usfuriyah karya Syaih Muhammad bin Abu Bakar Al-Usfuri hadis keenam halaman 5-6.
(Musthafa Helmy)