Oleh: Muzahidin Lukman
Hari Santri merupakan momen istimewa yang mengingatkan kita pada peran penting santri dalam perjalanan bangsa. Santri adalah sebutan peserta didik di Pesantren. Pada awalnya, pesantren didisain dengan khittah sebagai sentral pendidikan Islam yang integral (kâffah), yang concern terhadap bidang agama dan non-agama.
Penilaian ini tidak semata didasarkan pada idealisme ajaran Islam yang dipercaya kâffah, melainkan juga bisa dilihat dari fakta historis peran pesantren di era Walisongo dan era kerajaan Islam. Di era-era tersebut, pesantren tidak hanya concern di bidang ilmu agama, melainkan juga menjadi sentral dinamika sosial. Pesantren menjadi pusat pergerakan sosial, pendidikan, politik, perdagangan, pertanian, seni, budaya, dll. Bahkan di era kolonial dan era perang kemerdekaan, pesantren menjadi medan heroisme perlawanan rakyat mengusir penjajah.
Kali ini kita akan fokus pada peran santri dan pesantren dalam pergerakan pendidikan. Mari kita belajar dari QS. Al-‘Alaq Ayat 3-5.
- Al-‘Alaq Ayat 3-5:
اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ (3) الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ (4) عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ (5)
Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia (3); yang mengajar (manusia) dengan pena (4), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5).
Imam Al-Baidhawi (wafat 685) menjelaskan, pengulangan kata iqra’ pada ayat ke-3 ini untuk menunjukkan makna melebih-lebihkan atau mengoptimalkan. Atau kata iqra’ pertama dalam surat ini bermakna mutlak, sedangkan yang kedua untuk menunjukkan makna melebih-lebihkan atau mengoptimalkan. (Nasiruddin as-Syairazi al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut, Darul Ihya’: 1418 H], juz VI, halaman 325).
Berbeda dengan Al-Baidhawi, Imam Al-Maraghi (wafat 1371 H) menjelaskan, kata iqra’ bermakna: “Lakukan apa yang telah Aku perintahkan, yaitu membaca.” Menurutnya, pengulangan fi’il amar atau kata perintah ini karena suatu bacaan tidak akan mendatangkan ilmu kecuali dengan diulang-ulang. Adapun pengulangannya disesuaikan dengan kebiasannya. Pengulangan perintah Ilahi, konteksnya adalah pengulangan objek yang dibaca. Dengan begitu, kemampuan membaca atau dalam konteks sekarang identik dengan istilah literasi, menjadi kemampuan alamiah Nabi saw. (Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir: Matba’ah Musthafa al-Babil Halabi: 1365H/1946M], jus XX, halaman 199).
Bila digabungkan pendapat Al-Baidhawi maupun Al-Maraghi di atas, dapat disimpulkan bahwa makna pengulangan kata iqra` adalah mengoptimalkan suatu proses, konteksnya adalah soal bacaan atau literasi. Nah, dalam hal ini santri adalah pribadi-pribadi yang selalu berproses secara optimal lahir batinnya, semenjak berada di pesantren bahkan pasca pesantren. Keoptimalan gerakan pendidikan pesantren dapat ditilik dari sejarah awalnya yang tercermin dalam filosofi santri. Filosofi santri adalah pandangan hidup tentang seluruh sistem kepercayaan dan keyakinan santri.
Diantara filosofi santri yang paling mendasar adalah bahwa santri merupakan manusia lahir-batin. Santri disebut manusia lahir-batin karena santri percaya bahwa manusia terdiri dari dua dimensi yang tak terpisahkan, yakni dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir manusia adalah aspek-aspek kehidupannya yang bersifat inderawi, kasat mata, dan logis, seperti intelektual, skill, keterampilan, etos kerja (ikhtiar), prestasi, dll. Sedangkan dimensi batin adalah, hal-hal yang tidak kasat mata atau sama sekali gaib, seperti moralitas dan spiritualitas.
Filosofi seperti ini, tidak mengizinkan santri memandang sebelah mata terhadap aspek-aspek lahiriah, sebagaimana santri tidak boleh mengabaikan aspek-aspek batiniah. Santri dituntut menjadi manusia ideal secara lahir dan batin: secara intelektual dan moral-spiritual; secara etos kerja (ikhtiyâr) dan kepasrahan (tawakkal).
Filosofi seperti inilah yang kemudian menelurkan khittah sistem pendidikan pesantren berorientasi pada dua demensi manusia. Yaitu sistem tarbiyyah yang berorientasi pada aspek batin manusia: moral-spiritual, dan sistem ta’lîm yang berorientasi pada aspek lahir manusia: skill dan intelektualitas. Khittah sistem pendidikan pesantren yang concern terhadap aspek lahir dan aspek batin seperti ini, tentu sangat ideal menjadi pilihan, di saat lembaga-lembaga pendidikan formal hanya concern terhadap aspek lahir manusia belaka.
Kembali ke QS. Al-‘Alaq ayat 4. Imam Al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam tafsirnya menjelaskan, kata الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ, maknanya menulis. Maksudnya, Allah mengajarkan manusia dengan pena. Kemudian Al-Qurthubi menyebutkan riwayat sebagai berikut:
وَرَوَى سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: الْقَلَمُ نِعْمَةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى عَظِيمَةٌ، لَوْلَا ذَلِكَ لَمْ يَقُمْ دِينٌ، وَلَمْ يَصْلُحْ عَيْشٌ
Said meriwayatkan dari Qatadah, ia berkata: “Pena merupakan nikmat agung dari Allah. Andai kata tidak karena pena, agama tidak akan tegak dan kehidupan tidak akan baik.”
Al-Qurthubi lalu mengatakan: “Firman Allah ini menunjukan atas kesempurnaan kedermawanan Allah; yakni dengan memberi pengetahuan kepada hamba-hambaNya atas hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui, memindahkannya dari kegelapan kebodohan menuju cahaya ilmu. Kemudian Allah mengingatkan keutamaan menulis, karena besarnya manfaat menulis yang tidak dapat diperoleh kecuali hanya dengan menulis; yakni tidak terkodifikasinya ilmu pengetahuan, tidak terikatnya hikmah, tidak terjaganya kabar, dan maqalah orang-orang terdahulu, serta tidak ada kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kecuali ditulis. Andaikan tidak karena pena, urusan agama dan dunia tidak akan tegak.” (Syamsudin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, [Mesir, Darul Kutub al-Mishriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 120).
Syekh Mustafa Al-Maraghi mengatakan: “Allah menyifati DzatNya dengan Dzat yang menciptakan manusia dari segumpal darah; lalu mengajarkan manusia dengan pena untuk menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari sesuatu yang paling hina, kemudian sampai pada kesempurnaan insani dengan mengetahui hakikat berbagai hal. Seakan-akan Allah mengatakan: “Renungkanlah wahai manusia, kamu menemukan dirimu telah beralih dari derajat yang paling rendah dan hina menuju derajat yang lebih tinggi dan mulia. Karena itu, wajib adanya Tuhan yang Maha Mengatur, Maha Kuasa, Maha Bijaksana, dan yang lebih baik dari segala hal yang telah diciptakanNya”. (Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, [Mesir: Matba’ah Musthafa al-Babil Halabi: 1365H/1946M], jus XX, halaman 200).
Syekh Wahbah Zuhaili (wafat 2015 M) dalam tafsirnya setelah menafsirkan ayat-ayat di atas menyimpulkan sebagai berikut:
لهذا بدأت دعوة الإسلام بالترغيب في القراءة والكتابة، وبيان أنها من آيات اللَّه في خلقه، ومن رحمته بهم، وكانت معجزة محمد صلّى اللَّه عليه وسلّم الخالدة، وهو العربي الأميّ، قرآنا يتلى، وكتابا يكتب، وأنه بذلك نقل أمته من حال الأميّة والجهل إلى أفق النور والعلم
Karena itu dakwah Islam dimulai dengan motivasi membaca dan menulis (semangat literasi); dan denganpenjelasan bahwa membaca dan menulis merupakan ayat-ayat Allah, serta merupakan rahmat bagi makluk-Nya. Mukjizat abadi Nabi Muhammad saw, seorang Arab yang ummi atau tak mampu baca tulis adalah kitab suci Al-Qur’an yang dibaca dan ditulis. Dengan itu, Nabi Muhammad saw membawa umatnya dari keadaan tidak mampu baca tullis, menuju cakrawala cahaya dan ilmu. (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, At-Tafsir Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], jus XXX, halaman 318).
Peradaban madani membutuhkan manusia-manusia dengan integritas keilmuan lahir-batin: saintis yang agamis, politikus yang religius, pemikir yang ahli dzikir, filsuf yang tasawuf, pakar ekonomi yang islami, ilmuwan yang beriman, budayawan yang budiman, artis yang agamis, hartawan yang zuhud dan dermawan. Semua ini, sejalan dengan filosofi santri dengan semangat literasinya dan khittah sistem pendidikan pesantren. Hanya santri yang bisa melakukan! Wallahu a’lam.