Berkah Mbah Ma’shum Lasem

0

KH Ma’shum Ahmad Abdul Karim adalah ulama besar asal Lasem, Jawa Tengah yang berdarah Minangkabau. Saat NU berdiri tahun 1926 ada tiga tokoh Lasem yang menjadi pendukung utama: KH Ma’shum, KH Baidhowi dan KH Cholil.

Warga Lasem, setiap masuk bulan Rabiul Awal (mulud) tidak hanya menunggu diselnggarakan maulid nabi di mushala dan masjid, bahkan di rumah-rumah. Tapi, juga menunggu peringatan haul Mbah Ma’shum yang jatuh awal Rabiul Awal. Tahun ini jatuh pada hari Selasa, 10 September 2024.

Warga Lasem tak bisa melepaskan Mbah Ma’shum yang sedikit banyak ikut mengangkat kota Lasem menjadi lebih terkenal. Dengan adanya trio ulama itu kota Lasem yang hanya setingkat kecamatan itu dijadikan cabang NU tersendiri, seringkat kabupaten. Bukan ikut Rembang, induk kabupatennya.

Mbah Ma’shum tentu memiliki ratusan santri yang tersebar di mana-mana. Ayah KH Ali Ma’shum, Rais Am keempat Syuriah PBNU ini, memiliki kelebihan tersendiri untuk seseorang agar bisa memiliki ilmu ladunni (ilmu tanpa belajar). Banyak ulama yang sengaja menyempatkan nyantri walau sehari hanya untuk ikut pengajian Mbah Ma’shum. Mereka berharap berkah bisa memafatkan ilmunya untuk masyarakat. Mbah Ma’shum adalah sahabat KH Hasyim Asyari saat nyantri kepada Syekhona Kholil di Bangkalan.

Yang tak bisa melupakan jasa Mbah Ma’shum antara lain santri bernama Hamzah atau sering disebut Mbah Hamzah atau KH Hamzah asal Pemalang yang kini tinggal di Tegal. Ia memiliki pengalaman yang sangat tak bisa dilupakan.

Pada awal tahun 70-an, ia menjadi santri langsung diplilih Mbah Ma’shum menjadi santri setia. Ke mana pun Hamzah ikut termasuk pada Muktamar NU ke 25 tahun 1971 di Surabaya. Kadang disuruh Mbah Nyai Ma’shum antar makanan ke Mbah Baidlowi.  Di waktu senggang Hamzah juga diminta memijit Mbah Ma’shum. Kesempatan belajar baru  muncul ketika Mbah Ma’shum mengajar.

Baca Juga :  Buletin Jum’at Risalah NU edisi 66

“Pada jam 02 dinihari saya memijat Mbah Ma’shum sambil menangis karena pikiran saya saat itu membayang, saya dari Pemalang jauh ke ke Lasem untuk mencari Ilmu, tapi di Lasem kenapa hanya ditugasi mijat guru. Pokoknya urusan rumah tangga Mbah Ma’shum saya yang urus,” kata Hamzah. “Bagaimana nanti kalau saya pulang, apa hasil saya mondok?” tangisnya dalam hati.

Sampai pukul 03.00 dinihari Mbah Ma’shum bangun dan salat tahajud dua rekaat dan hajat dua rekaat kemudian zikir secukupnya dan berdoa. Lantas Mbah Ma’shum berkata: “Hamzah kowe gak usah kuwatir. Kuwe mijeti aku iku ngaji.” (Hamzah jangan khawatir karena dengan memijat ini kamu juga sama dengan mengaji).

Sontak Mbah Hamzah malu. “Masya Allah, mbah Ma’shum mengerti isi batinku.”

“Saya belum bisa apa-apa Mbah,” kata Hamzah.

Mbah Ma’shum menampik. “Kamu bisa. Semua kitab nanti aku ijazahkan kepadamu.”

“Baik mbah saya terima ijazahnya,” kata Hamzah. Setelah itu hati Hamzah tenang. Mbah Ma’shum dikenal wali besar yang kata-katanya mustajab. Mbah Hamzah tak berani berkata apa-apa.

Malam berikutnya, Hamzah terlibat pembicaraan dengan anak-anak asal Pemalang dan Tegal di Pesantren Al-Hidayat Soditan Lasem itu.  “Untung sampean kabeh biso ngaji. Aku ngaji mung karo mbah Ma’shum tok.”

Mereka menjawab: “Sing untung sampean kang Hamzah wis oleh ijazah kabeh kitab soko mbah Ma’shum. Sampeyaan kudu yakin.”

Mbah Hamzah menjawab: “Aku yakjin tapi belum haqqul yakin,” katanya.

Ibnu Aqil

Hari Sabtu (tanggal dan tahunnya lupa) pengajian Mbah Ma’shum pagi hari dimulai. Diawali mengaji Al-Quran lantas membaca kitab Syarah Ibnu Aqil atau Alfiyah Ibnu Malik. Biasanya Mbah Ma’shum menyuru Kang Abrori (Ketua NU dan MUI Lampung tahun 2000-an), atau Kiai Fauzi Demak atau Kiai Busyro Ilyas dari Danasri, Cilacap.

Baca Juga :  Gus Dur dan Media

Tapi, khusus hari ini entah kenapa, Mbah Ma’shum meminta Hamzah duduk di sampingnya. Hamzah gemetaran takut disuruh baca kitab yang masih asing baginya.

Setelah membaca Al-Quran bersama-sama, Mbah Ma’shum menyuruh Abrori membaca kitab Ibnu Aqil. Tak begitu lama kemduian Mbah Ma’shum menghentikan dan meminta Abrori menyerahkan kitab itu kepada Hamzah.

“Ayo sekarang Hamzah yang membaca meneruskan apa yang dibaca Abrori,” kata Mbah Ma’shum.

“Dereng saget Mbah (belum biusa Mbah),” kata Hamzah.

Suara di luar mulai terdengar ramai dan yang mencemooh Hamzah. “Tukang pijat apa bisa membaca kitab.”

“Biasa mengisi kamar mandi mana mungkin bisa baca kitab,” teriak yang lain.

“Biasanya dengan santri puteri mbah,” kata yang lain. Memang Hamzah agak istimewa ia bisa masuk pesantren puteri tanoa izin karena ia pesuruh khusus Mbah Puteri.

Hamzah menangis mdengarnya, Tapi, Mbah Ma’shum memaksanya terus untuk baca. Nah Ma’shum kemudian menepuk punggungnya. “Wocoen karo izin Allah. (Bacalah dengan izin Allah). Ayo baca kamu pasti bisa.”

Aneh. “Seketika itu hati saya menjadi terang benderang dan semua kesulitan di hadapan saya terang benderang,” kata Hamzah. “Sepertinya Mbah Ma’shum menyalakan saklar lampu yang menerangi batin saya,” kata Hamzah.

Semua santri terpana dan tak percaya menyaksikan Hamzah yang tukang pijat dan tukang nuntun Mbah Ma’shum itu membaca kitab Ibnu Aqil bab Jamak Takstir dengan lancar. Tak ada satu kata pun yang tak dijelaskannya.

Semua melongo kagum. “Sejak itu setiap pengajian Ibnu Aqil saya yang membacanya,” kata Hamzah.

Para santri yang membully Hamzah meminta maaf. “Kang Hamzah ini berbohong ya, sebelum nyantri ke sini sudah pandai?” kata yang lain.

Baca Juga :  Antara Pasuruan dan Bagdad

Seorang santriwati nyeletuk: “Kang Hamzah bohong pura-pura gak alim.”

Saat tulisan ini dibuat, Mbah Hamzah sedang mengikuti acara haul maha gurunya, seorang wali Allamah Syekh Ma’shum Allasemi. (Musthafa Helmy)

Leave A Reply

Your email address will not be published.