AL-TIBYÂN FÎ AL-NAHYI ‘AN MUQÂTHA’AH AL-ARHÂM WA AL-AQÂRIB WA AL-IKHWÂN: PENTINGNYA MERAJUT SILATURRAHIM

0

Menurut Artistotels, manusia adalah “Zoon Politicon” atau makhluk sosial, di mana secara naluri mereka ingin berhubungan erat antara satu dengan yang lain, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Dimensi hubungan yang beragam itu, pada hakikatnya bermuara pada konsep “al-Ta’aruf” atau saling mengenal satu sama lain dalam konteks “al-Mu’amalah al-Insâniyah” atau interaksi antara sesama umat manusia.

Allah s.w.t. berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat, 49:13).

Penegasan serupa juga termaktub dalam ayat lain: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. (QS. Al-Nisa, 04:36). Dalam al-Sunnah, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang ingin supaya dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahim”. (HR. Bukhari, 2067).

Merajut Silaturrahim Dalam Pandangan KH. Hasyim Asy’ari

Berangkat dari perintah Allah dan Rasul-Nya itu, Mbah Kyai Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama secara khusus membahas pentingnya menjaga silaturrahim dan melarang bagi siapapun untuk memutusnya dalam sebuah karya khusus. Karya itu diberi nama Al-Tibyân Fî Al-Nahyi ‘An Muqâtha’ah Al-Arhâm  Wa Al-Aqârib Wa Al-Ikhwân yang secara harfiah berarti “Penjelasan mengenai larangan memutuskan tali silaturrahim kepada kerabat dan saudara”. Kitab ini menjadi salah satu karya Mbah Kyai Hasyim Asy’ari yang berbahasa Arab. Karya ini selesai ditulis pada hari Senin, tanggal 20 Syawal 1360 H, bertepatan dengan 10 Nopember 1941 M. Selanjutnya, kitab ini ditela’ah dan ditahqiq oleh cucu beliau sendiri, yakni KH. Muhammad Isham Hadziq.

Baca Juga :  FÎ RIHÂBI AL-BAIT AL-HARÂM: MENGENAL KA’BAH

Dalam pengantarnya, Kyai Isham menjelaskan bahwa kitab ini ditulis berangkat dari kekawatiran Mbah Kyai Hasyim ketika melihat fenomena masyarakat. Kala itu, masyarakat banyak melakukan kegiatan yang menjurus pada perselisihan yang berujung renggangnya tali silaturrahim antar keluarga dan kerabat, sehingga berdampak pada renggangnya persatuan nasional secara umum. Meskipun pada awalnya kitab ini diperuntukkan untuk warga nahdliyyin, namun seiring dengan perkembangan zaman dan luasnya fenomena perselisihan di tengah-tengah kaum muslimin, maka kitab ini disebarluaskan demi memberikan edukasi kepada masyarakat umum.

Dilihat dari fisiknya, kitab ini tidaklah tebal, namun sarat akan manfaat di dalamnya, seperti diistilahkan dalam bahasa Arab: “Hâdzal Kitâb Shaghîrul Hajm, Kabîrun Naf’i”. Tebal kitab ini hanya 18 halaman yang terdiri dari beberapa sub pembahasan, yaitu (1) Muqaddimah, (2) Khutbatul Kitab, (3) Tanbîh al-Murâd bi al-Rahmi allatî Tajibu Shilatuhâ, (4) Tanbîh al-Murâd bi al-Hijrah al-Mahrumah, (5) Fâidah fî Bayânin anna Hajra al-Muslim min al-Kabâir, (6) Far’un fî Bayânin anna al-Hajra al-Madzkûr min Asbâb al-Fusq, (7) Nuktah al-Murâd bi Qath’i al-Rahim al-Muharram.

Dengan menyitir ayat al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 1 : “Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu seling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”, Mbah Kyai Hasyim menegaskan bahwa seorang muslim harus selalu takut kepada Allah dari perbuatan memutus tali silaturrahim. Hal ini berdasar keimanan yang kuat bahwa Allah s.w.t. selalu mengawasi gerak-gerik umat manusia, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Oleh sebab itu, perasaan takut terhadap azab Allah merupakan bagian dari ciri seorang yang beriman.

Salah satu azab pedih yang akan ditimpakan kepada umat manusia, apabila mereka memutuskan tali silaturrahim antar sesama, terutama kepada keluarga dan saudara dekat. Para pemutus tali silaturrahim itu, adalah orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, dengan membuat permusuhan yang berujung pada perselisihan dan peperangan. Orang seperti ini akan merugi, baik di dunia, terlebih di akhirat. “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, memutuskan apa yang diperintahkan Allah disambungkan (silaturrahim), dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi” (QS. Al-Baqarah, 02:27).

Baca Juga :  Seabad Media NU; Pembelaan Terhadap Palestina

Menurut Mbah Kyai Hasyim, orang yang memutus hubungan silaturrahim atau disebut “Qâthi’ al-Rahim” adalah mereka yang melanggar perjanjian atau pakta integritas dengan Allah s.w.t.. Dikatakan demikian, karena manusia diciptakan oleh Allah bersuku-suku dan berbangsa untuk saling mengenal. Manusia bisa saling mengenal karena adanya silaturrahim antara yang satu dengan yang lain. Tanpa silaturrahim, mustahil bagi manusia untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya.

Dalam hal ini juga, Mbah Kyai Hasyim Asy’ari juga mengutip pernyataan Muhammad al-Baqir (w. 117 H) bahwa ayahnya, yakni Ali Zainal Abidin (w. 94 H) pernah berpesan kepadanya: “Janganlah kamu berteman dengan orang yang memutuskan tali silaturrahim, karena keberadaannya mendapat laknat dalam al-Qur’an pada tiga hal, yakni pendengaran, pengelihatan, dan hati”. Allah s.w.t. berfirman: “Apakah seandainya berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi, dan memutuskan hubungan kekeluargaanmu? Mereka itulah orang-orang yang yang dilaknat oleh Allah, lalu Dia menulikan pendengarannya dan membutakan pengelihatannya. Tidaklah mereka merenungkan al-Qur’an, ataukah hati mereka sudah terkunci?”. (QS. Muhammad, 47:22-24).

Jika ditelisik lebih jauh, para ulama mengklasifikasi para pemutus silaturrahim sebagai bagian dari orang-orang munafik. Sebab, mereka mendapat laknat berupa kondisi yang tidak mau mendengarkan kebenaran yang datangnya dari Allah, sehingga dianggap tuli, baik pengertiannya secara hakiki, maupun majazi. Selain itu, para pemutus silaturrahim juga mendapatkan laknat berupa kondisi yang tidak mampu melihat kebenaran sehingga sulit membedakan mana yang hak dan yang batil. Ketidakmampuan itu menyebabkan dirinya buta dalam arti yang luas yakni buta hati dan mata batin. Dengan demikian, maka laknat itu berlanjut pada kondisi hati mereka yang terkunci, sehingga sulit menerima kebenaran yang datangnya dari wahyu Allah s.w.t.. Sebagai konsekuensi logis, para pemutus silaturrahim ini akan berada dalam neraka jahannam, kekal dan abadi di dalamnya.

Baca Juga :  Menjadi Petugas Haji 1953

Selanjutnya, Mbah Kyai Hasyim Asy’ari mengutip sebuah hadits dari jalur Abu Musa al-Asy’ari r.a.: Tiga golongan yang tidak akan masuk surga, yaitu: (1) Peminum khamer, (2) pemutus tali silaturrahim, dan (3) orang yang mempercayai sihir. (HR. Ahmad, 11107, dan al-Nasa’i, 4920). Di samping hadits ini, beliau juga mengutip sebuah hadits dari jalur Aisyah r.a.: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Rahim (rasa kasih sayang antar kerabat) menggantung di Arasy, ia berkata: Barang siapa yang menyambungku maka Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskanku, maka Allah akan memutuskannya”. (HR. Muslim, 2555). Beliau juga mengutip Hadits Qudsi dari jalur Abdurrahman bin Auf r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah s.w.t. berfirman: Aku adalah al-Rahman, Aku menciptakan al-Rahim dan Aku jadikan kata itu pecahan dari nama-Ku. Barang siapa yang menyambungnya, maka Aku akan bersambung (dengan orang itu), dan barang siapa yang memutuskannya, maka Aku akan memutuskan juga (hubungan dengan orang itu”. (HR. Ahmad, 1571).

Dari beberapa dalil al-Qur’an dan al-Hadits yang dikutip oleh Mbah Hasyim mengenai pentingnya menjaga silaturrahim dan teguran keras bagi yang memutuskannya, kita memahami bahwa usaha beliau dalam mengedukasi umat tidaklah main-main. Persatuan antara kerabat dan famili menjadi starting point untuk membangun ukhuwah islamiyah secara khusus dan ukhuwah wathaniyah secara umum. Apalagi jika melihat tahun ditulisnya kitab ini (1941 M), yakni era pergerakan kemerdekaan, maka memperkuat tali silaturrahim menjadi embrio dari tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa, demi terciptanya kemerdekaan. Walhasil, kurang lebih empat tahun setelah kitab ini ditulis (1945), Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya. Wallahu A’lam bis Shawab

Mekkah, 04 Juli 2024

H. Mohammad Khoiron (Wakil Sekretaris LBM PWNU DKI Jakarta)

Leave A Reply

Your email address will not be published.