Gegap gempita kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadlan begitu terasa di tengah-tengah kita. Banyak sekali aktivitas yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan suci nan berkah itu, mulai dari membersihkan tempat ibadah, seperti mushalla, surau, langgar, dan masjid, hingga acara munggahan. Tradisi munggahan yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslim di Indonesia sebetulnya merupakan ekspresi kebahagian dalam rangka mempererat tali silaturrahim dengan cara makan bersama. Secara historis, tradisi munggahan sudah ada di tengah-tengah masyarakat muslim pulau jawa sejak Islam mulai melakukan penetrasi ajarannya di Nusantara, yakni kira-kira abad ke-7 Masehi dan berkembang pesat di era Walisongo, sekitar abad ke-14 Masehi.
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa kata “munggahan” berasal dari kata “punggah” atau “munggah” dalam Bahasa Jawa yang berarti “naik”. Dari uraian ini, sebenarnya dapat dipahami bahwa tradisi munggahan sebenarnya bentuk asimilasi antara nilai-nilai ajaran Islam dengan tradisi lokal. Sebagaimana jamak diketahui, dalam komunitas masyarakat muslim sunni, ada suatu malam yang mempunyai keutamaan apabila di dalamnya diisi dengan amalan-amalan baik, yaitu Malam Nisfu Sya’ban. Pada malam itu, amal perbuatan manusia diangkat ke haribaan Allah s.w.t., berdasarkan hadits yang ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Musnadnya, al-Nasa’i dalam al-Sunan al-Sughra, dan al-Baihaqi dalam bab “Fadhail al-A’mal”:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ؟ قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ؛ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِم.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa sebulan pun dari bulan-bulan (selain Ramadhan) sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Itu adalah bulan yang dilupakan oleh banyak orang, (bulan) antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada Tuhan semesta alam, maka aku senang amalku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa”.
Di dalam al-Qur’an, ada ayat dalam surat al-Dukhan yang secara tersirat membicarakan keutamaan malam Nisfu Sya’ban, yaitu: فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (QS. Al-Dukhan, 44:04). Terjemahan sederhana dari ayat ini adalah: “Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”. Para ahli tafsir seperti Ibnu Abi Hatim, al-Qusyairi, al-Kirmani, bersepakat, bahwa yang di maksud malam yang didalamnya dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah sebagaimana termaktub dalam surat al-Dukhan ayat 04 di atas adalah Malam Nisfu Sya’ban. Imam al-Thabari memberikan komentar terhadap ayat di atas sebagai berikut:
أَنَّهَا لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ؛ يُبْرَمُ فِيهَا أَمْرُ السَّنَةِ، وَتُنْسَخُ الْأَحْيَاءُ مِنَ الْأَمْوَاتِ، وَيُكْتَبُ الْحَاجُّ؛ فَلَا يُزَادُ فِيهِمْ أَحَدٌ، وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُمْ أَحَدٌ.
Sesungguhnya malam itu adalah malam Nishfu Sya’ban; pada malam itu ditetapkan urusan (takdir) tahunan, dan disalin (ditulis ulang) orang-orang yang hidup dari orang-orang yang mati, dan ditulis (nama-nama) jamaah haji; maka tidak ditambahkan seorang pun dari mereka, dan tidak dikurangi seorang pun dari mereka. (Jami’ al-Bayan, hal. 22, Juz 10).
Senada dengan itu, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil, menyitir pernyataan Ikrimah yang menegaskan bahwa yang dimaksud ayat 04 dari surat al-Dukhan di atas adalah malam Nisfu Sya’ban.
وَقَالَ عِكْرِمَةُ: هِيَ لَيْلَةُ النِّصفِ مِنْ شَعْبَانَ، يُبرَمُ فِيْهَا أَمْرُ السَّنَةِ، وتُنسَخُ الْأَحْيَاءُ مِنَ الْأَمْوَاتِ، فَلاَ يُزَادُ فِيْهِمْ أحدٌ، وَلاَ يُنْقَصُ مِنْهُمْ أَحَدٌ.
Dan berkata Ikrimah: “Malam itu adalah malam Nishfu Sya’ban; pada malam itu ditetapkan urusan (takdir) tahunan, dan disalin (ditulis ulang) orang-orang yang hidup dari orang-orang yang mati, maka tidak ditambahkan seorang pun dari mereka, dan tidak dikurangi seorang pun dari mereka”. (Ma’alim al-Tanzil, hal. 172, Juz 04).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pada malam Nisfu Sya’ban, catatan amal perbuatan manusia yang dilakukan selama setahun diangkat ke haribaan Allah s.w.t. sehingga kita dianjurkan untuk berpuasa dan berzikir supaya catatan perbuatan yang kita lakukan selama setahun tersebut berbarengan dengan apa yang kita lakukan. Dengan demikian, aktivitas berpuasa di bulan Sya’ban, berzikir, dan membaca surat-surat tertentu dalam al-Qur’an seperti Yasin dan lain sebagainya, pada hakikatnya mengikuti sunnah Nabi Muhammad s.a.w. sebagaimana tergambar dalam hadits di atas. Dalam hadis itu, Rasulullah s.a.w. menegaskan: فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِم yang artinya maka aku senang amalku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa.
Lalu apa kaitan antara tradisi munggahan yang dilakukan oleh umat muslim di Nusantara dengan nilai-nilai ajaran Islam di dalam peringatan Nisfu Sya’ban? Menurut penulis, tradisi munggahan dan nilai-nilai peringatan malam Nisfu Sya’ban punya keterkaitan yang cukup erat. Apabila ditelisik dari sisi bahasa, tradisi munggahan yang berasal dari Bahasa Jawa yang berarti “naik” adalah kesadaran bahwa selama satu tahun catatan amal perbuatan dinaikkan ke haribaan Allah s.w.t.. Sedangkan dalam ajaran Islam sebagaiman diurai dengan cukup jelas di atas, pada malam Nisfu Sya’ban, amal perbuatan manusia diangkat ke haribaan Allah, dan Dia turun ke langit dunia untuk mengampuni dosa-dosa hamba-Nya meskipun sebanyak bulu domba.
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ.
Dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. menginformasikan: Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah Ta’ala turun pada malam Nishfu Sya’ban ke langit dunia, lalu Dia mengampuni (dosa) lebih banyak dari jumlah bulu domba milik suku Kalb. (HR. Ahamd, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Baihaqi). Suku Bani Kalb adalah suku Arab Badwi yang hidup di pedalaman Jazirah Arab pada masa Rasulullah s.a.w.. Mereka hidup dengan cara nomaden dengan mengandalkan peternakan unta dan domba dalam kehidupan sehari-hari. Dari suku ini, muncul sahabat Rasulullah s.a.w. seperti Zaid bin Haritsah dan Dihyah al-Kalbi.
Dengan kesadaran itulah, kaum muslim di Nusantara mengisi tradisi munggahan dengan berkumpul, merajut tali silaturrahim, dan makan bersama. Bukankah merajut tali silaturrahim, bersedekah, dan memberi makan merupakan ejawantah dari nilai-nilai ajaran Islam? Karena itu, maka dakwah yang dilakukan para walisongo dalam mengawinkan ajaran Islam dengan tradisi lokal dapat diterima dengan baik, sehingga Islam menjadi agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat Nusantara. Wal akhir, sebagai penutup dari tulisan ini, penulis hendak mengajukan pertanyaan, kapan dan di mana kita akan melakukan munggahan menjelang Bulan Suci Ramadlan?
H. Mohammad Khoiron
Wakil Ketua LBM
PWNU DKI Jakarta