Di tengah derasnya arus globalisasi, dan krisis keteladanan moral, kehadiran ‘kiai kampung’ tetap menjadi penopang utama dalam kehidupan keagamaan dan sosial umat di tingkat akar rumput. Kiai kampung bukan sekadar figur keagamaan semata, melainkan juga penjaga nilai, peneduh konflik, sekaligus pembentuk karakter umat yang berakar pada tradisi Islam dan kearifan lokal.
Kiai kampung hidup bersama masyarakat, memahami denyut persoalan umat secara langsung, dan hadir bukan sebagai otoritas formal yang berjarak, melainkan sebagai teladan yang menyatu dengan realitas sosial. Dalam banyak kasus problematika masyarakat mulai dari konflik keluarga, kenakalan remaja, kemiskinan spiritual, hingga disorientasi nilai. Kiai kampung menjadi tempat bertanya, mengadu, dan mencari solusi. Nasihatnya tidak hanya bersandar pada teks keagamaan, tetapi juga pada kebijaksanaan hidup (ḥikmah) yang lahir dari pengalaman panjang berinteraksi dengan umat.
Peran kiai kampung dalam membentuk karakter umat tampak jelas melalui pendekatan keteladanan (uswatun ḥasanah). Akhlak pribadi kiai sangatlah kesederhanaan, keikhlasan, kesabaran, dan istiqamah hal itulah menjadi pendidikan karakter yang hidup. Nilai-nilai seperti tawadhu’, gotong royong, toleransi, dan kepedulian sosial tertanam bukan melalui ceramah semata, tetapi melalui contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah kiai kampung berfungsi sebagai “kurikulum berjalan” bagi umatnya.
Dalam menghadapi problematika sosial kontemporer, kiai kampung juga berperan sebagai penyeimbang antara nilai-nilai agama dan perubahan zaman menjadi filter kultural yang mencegah umat terjerumus pada ekstremisme, radikalisme, maupun liberalisme yang lepas dari akar moral. Dengan bahasa yang sederhana dan pendekatan persuasif, kiai kampung menanamkan Islam yang ramah, moderat, dan membumi Islam yang tidak hanya benar secara teologis, tetapi juga maslahat secara sosial.
Sebutan ‘kiai’ sebetulnya sangat lekat bagi sebagian kalangan warga Nahdlatul Ulama mungkin sudah tidak asing lagi, panggilan ini dialamatkan kepada orang alim yang menguasai banyak ilmu agama Islam. Sejatinya gelar kiai yang disandang oleh orang yang dianggap alim dan menguasai banyak ilmu agama Islam itu bukan untuk kesombongan dan ketamakan karena telah memperoleh gelar dan panggilan tersebut. Tentunya ada beban dan tanggung jawab yang harus diemban oleh kiai kampung dari amanah yang diberikan masyarakat kepadanya.
Para jamaah atau warga menaruh harapan besar kepada kiai kampung agar bisa membimbing dalam hal berbagai misalnya dalam beribadah, bersosial masyarakat, dan berbagai pertanyaan seputar persoalan yang berkaitan dengan agama Islam. Sosok kiailah yang nantinya bisa menjawab berbagai persoalan dan pertanyaan dari para jamaahnya.
Melihat sosok kiai kampung, maka jangan lupakan dari sisi semangatnya dalam membentuk dan membimbing karakter umat. Kiai kampung sangat ikhlas dalam mengerjakan segala yang menjadi kebutuhan masyarakat, misalnya menjadi mubaligh, guru ngaji, imam shalat, dan menjadi penggerak dalam acara keagamaan rutin. Dari berbagai rutinitas tersebut kiai kampung sangat ikhlas semata-mata mengharapkan ridlo Allah SWT.
Menurut KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sebagai orang yang menjadi jamaah Nahdlatul Ulama, pegangan saya itu ya dari syarhul hikam lagi “Jangan kau temani atau jadikan guru orang yang perilakunya tidak membangkitkan kamu kepada tuhan dan kata-katanya tidak menunjukan kamu kepada Tuhan”. Loh, siapa yang perilakunya jadi contoh bagi kita itu ? kepada Tuhan tidak lain tidak bukan adalah ulama secara keseluruhan walaupun zaman sekarang ada ulama politik dan sebagainya tapi ulama-ulama yang betul-betul masih ikhlas itulah yang kita pegang kalau pakai istilah saya ‘Kiai kampung’ yang menghidupi pesantren, mengisi pengajian-pengajian, mempertahankan madrasah mengisi masjid-masjid dengan pengajian, dan sebagainya mereka itulah yang harus kita perhatikan.
Berikut ini merupakan analisa saya terkait beberapa peran dan semangat kiai kampung yang bisa kita semua pahami dan bisa kita jadi pegangan sebagai contoh teladan yang baik untuk umat atau jamaah dan masyarakat lingkungan sekitar.
Kiai kampung, sebagai penggerak acara keagamaan rutin. Acara keagamaan Islam merupakan rangkaian yang selalu diperingati sebagai wujud rasa syukur atas pemberian nikmat yang Allah SWT berikan kepada hambanya. Wujud acara keagamaan Islam misalnya acara slametan dan tahlilan atas meninggalnya seseorang, acara peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, acara peringatan 1 Muharram dan lain sebagainya. Tentunya, ada tugas terkhusus sebagai kiai kampung. Kiai kampung yang harus menjadi penggerak dalam acara keagamaan tersebut. Bukan hanya sekedar sebagai penggerak saja, namun terkadang diminta juga untuk mengisi ceramah dan memimpin do’a dalam rangkaian acara keagamaan Islam.
Kiai kampung sebagai guru ngaji madrasah atau pondok pesantren. Hidup di perkampungan biasanya kiai kampung identik menjadi seorang guru ngaji di madrasah dan pesantren yang ada di desanya. Kiai kampung memberikan segala ilmu dan pengetahuan yang sudah didapatkannya semenjak menimba ilmu pesantren untuk bisa para santri atau masyarakat awam bisa memperoleh pengetahuannya seputar pemahaman agama Islam. Kesediaan kiai kampung dalam membimbing masyarakat awam pedesaan beliau lakukan dengan ikhlas dan semata-mata hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT dan selalu mengajak agar terus mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keadaan perkampungan biasanya masih banyak orang-orang yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar dan belum tahu tentang tata cara beribadah. Maka kiai kampung akan membimbing dengan sabar.
Kiai kampung, sebagai orang yang ahli pengobatan. Tidak jarang pula kiai kampung juga sebagai seseorang yang ahli dalam pengobatan, dengan media air putih yang dibacakan do’a atas berbagai keadaan buruk ataupun sakit yang menimpa diri seseorang. Karena keikhlasan do’a yang tulus kiai kampung walhasil segala hajat yang dimintanya d ijabah oleh Allah SWT dan kegiatan yang demikian bukanlah hal musyrik karena masyarakat tetap menganggap bahwa kesembuhan yang mereka dapat itu datang dari Allah SWT, dan kiai hanyalah perantaranya saja.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh KH Abdurrahman atau Gus Dur, maka dapat disimpulkan bahwa seorang kiai kampung haruslah mampu membentuk mental spiritual masyarakat dan sebagai perekat umat agar selalu terciptanya suasana yang tentram dan harmonis. Bahkan bukan itu saja, kiai kampung posisinya sebagai lentera penerang di lingkungan sekitar dan berperan besar sebagai seseorang yang mampu membimbing secara rohani menuju jalan terang dan sebagai panutan hidup.
Pandangan Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menegaskan bahwa ulama memiliki kedudukan strategis sebagai ḥāris al-akhlaq (penjaga moral umat). Dalam risalah Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, beliau menekankan bahwa keulamaan tidak semata diukur dari keluasan ilmu, tetapi terutama dari adab, keikhlasan, serta tanggung jawab sosial yang melekat pada diri seorang alim. Ilmu, menurut Hasyim Asy’ari, harus melahirkan ketundukan kepada Allah dan kemanfaatan bagi umat, bukan sekadar prestise atau kekuasaan simbolik.
Dalam konteks ini, kiai kampung merepresentasikan bentuk ideal dari konsep keulamaan tersebut. Kedekatannya dengan masyarakat, kesediaannya mengajar tanpa pamrih, serta pengabdiannya yang tulus dalam membimbing umat menunjukkan implementasi nyata nilai keikhlasan dan tanggung jawab sosial sebagaimana ditekankan oleh KH Hasyim Asy’ari. Kiai kampung tidak hanya mentransmisikan ilmu keagamaan, tetapi juga menanamkan adab dan akhlak melalui keteladanan hidup sehari-hari. Dengan demikian, keberadaan kiai kampung menjadi manifestasi konkret dari keulamaan yang berakar pada moralitas, pelayanan umat, dan kesinambungan tradisi Islam yang berkeadaban.
Istilah kiai kampung sebenarnya sudah lama dipopulerkan oleh Gus Dur, ya tentu karena melihat sikap dan semangat keikhlasan perjuangan gigihnya berjuang di jalan kebenaran dan menuntut umat agar selalu terjalin komunikasi secara rohaniyah dengan Allah SWT.
Terakhir yang ingin penulis sampaikan sederhana saja Maka dari itu, muliakanlah para kiai kampung di manapun berada, karena beliau-beliaulah yang terus menerus memberikan ketentraman hidup dan selalu mengajak kebaikan kepada masyarakat. Eksistensi kiai kampung merupakan aset peradaban yang sukar tergantikan. Di saat institusi formal sering kali tidak menjangkau lapisan masyarakat paling bawah, kiai kampung hadir dengan ketulusan dan komitmen moral membentuk karakter umat dari bawah perlahan, konsisten, dan penuh kesabaran. Maka menjaga keberlanjutan peran kiai kampung berarti menjaga ruh pendidikan Islam, karakter umat, dan masa depan kehidupan sosial yang berkeadaban.
Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb.
Oleh: A’isy Hanif Firdaus, S.Ag. Mahasiswa Program Magister Universitas Wahid Hasyim Semarang, Penulis Keislaman, LTN PCNU Kabupaten Brebes