Syaikh Ibnu Athâillah al-Sakandarî berkata: Qatha’a al-Sâirîna lahû wa al-Wâshilîna Ilaihi ‘an Ru’yati A’mâlihim wa Syuhûdi Ahwâlihim. Ammâ al-Sâirûna faliannahum lam Yatahaqqaqû al-Shidqa Ma’allâh fîhâ. Wa Ammâ al-Wâshilûna faliannahû Ghayyabahum bi Syuhûdihi ‘anhâ.
Secara harfiah, pernyataan al-Sakandarî ini dapat kita pahami sebagai berikut. Allah memutus para pejalan spiritual (al-Sâirûn) dan mereka yang telah sampai pada tujuan spritual (al-Wâshilûn) dengan melihat amal dan menyaksikan keadaan mereka. Adapun bagi para al-Sâirûn, karena mereka belum mencapai derajat al-Shidq atau kejujuran bersama Allah dalam amal tersebut. Sedangkan para al-Wâshilûn, karena Dia menyelimuti mereka dengan penyaksian-Nya sehingga terhalang dari amal mereka.
Mungkin di antara para pembaca bertanya-tanya, mengapa Allah s.w.t. memutus para pejalan spiritual dan atau yang telah sampai pada puncak spiritual tersebut? Dan bagaimana kita memahami pernyataan al-Sakandarî di atas yang mungkin oleh sebagian para pembaca cukup sulit dicerna. Dalam dunia tasawuf, ada istilah yang disebut dengan paradoks spiritual atau al-Tanâqud al-Rûhî. Paradoks spiritual sendiri dalam diskursus tasawuf diistilahkan dengan situasi yang seolah bertentangan dengan sistematika logika umum, namun di dalamnya terdapat sebuah kebenaran mendalam tentang realitas transenden. Singkatnya adalah paradoks spiritual ini seringkali digunakan untuk menyampaikan pesan kebenaran yang melampaui pemahaman rasional.
Bila mengacu pada pernyataan al-Sakandari di atas, ada dua kata kunci yang menjadi paradoks, yakni al-Sâirûn atau para pencari spiritual, dan al-Wâshilûn atau mereka yang telah sampai pada puncak spiritualitas. Keduanya oleh Allah s.w.t. diputus dengan ketidak-mampuannya dalam menyaksikan amal perbuatan karena beberapa hal sesuai dengan kriteria derajat kedudukannya. Misalnya, bagi para al-Sâirûn, mereka tidak mampu menyaksikan amal perbuatannya karena ketidak-murnian niat atau “’Adamu Tahqîqi al-Shidq”. Contoh sederhana adalah seseorang yang sedang beribadah kepada Allah s.w.t., namun masih terikat oleh pujian dan hinaan manusia, maka yang bersangkutan akan buta terhadap hakikat amal perbuatan yang dilakukannya. Dengan kata lain, sikap riya’ maupun takut dicibir orang lain merupakan tembok penghalang dalam melihat hakikat amal perbuatannya.
Bagi para al-Wâshilûn atau yang telah sampai pada puncak spiritualitas, mereka tidak mampu menyaksikan amal perbuatannya disebabkan oleh intensitas persaksiannya terhadap Allah atau al-Syuhûd Anillâh. Hal ini agaknya selaras dengan pernyataan Ibnu Arabi dalam Fushûsh al-Hikam bahwa al-Syuhûd al-Muthlaq atau persaksian mutlak terhadap Tuhan akan melenyapkan kesadaran diri. Dalam fenomenologi spiritual, mereka yang telah sampai pada derajat al-Wâshilûn ini akan tenggalam dalam Fanâ’ fî al-Masyhûd atau lebur ke dalam entitas yang disaksikan. Artinya, tidak ada lagi pengakuan terhadap eksistensi diri, karena mereka sudah tidak membutuhkannya lagi, sehingga mereka tidak peduli dengan apa yang dilakukannya.
Di lain pihak Ibnu Abbâd al-Nafarî secara tegas mengatakan: Laqad Asbaghallâhu ni’matahû ‘alal farîqaini haitsu fa’ala ma’ahun dzâlika. Liannahû Abqâhum ma’ahû walam yada’hum lisiwâhu. Falwâshilûna fa’ala dzâlika bihim thau’an minhum, wassâlikûna fa’ala dzâlika bihim karhan. Walillâhi yasjudu man fissamâwâti wal ardhi thau’an wa karhan. Falwâshilûn qatha’ahum an dzâlika lisyuhûdihim lahû fî hadrati qurbihî. Waman syâhadahû wa lam yasyhad ma’ahû ghairahû idz muhâlun ‘an yarâhu wa yasyhada ma’ahû siwâhu. Wassâlikûna qatha’ahum ‘an dzâlika ‘adamu tahaqquqihim bis shidqi awil barâ’ati minad da’wâ. Fahum Abadan muttahamûna li anfusihim fî taufiyati ‘A’mâlihim wa tashfiyati ahwâlihim.
Pernyataan di atas, secara umum dapat dipahami bahwa Allah s.w.t. telah melimpahkan nikmat-Nya kepada dua kelompok, yakni para al-Wâshilûn dan para al-Sâirûn. Tujuannya tidak lain, karena Allah s.w.t. ingin memelihara mereka bersama-Nya dan tidak membiarkan mereka untuk selain-Nya. Bagi para al-Wâshilûn hal itu kehendak Allah sebagaimana diuraikan di atas terjadi atas kerelaan mereka sendiri, namun bagi para al-Sâirûn, hal itu terjadi lantaran terpaksa. Hanya kepada Allah segala yang ada di langit dan di bumi bersujud, baik dengan kerelaan maupun keterpaksaaan.
Bagi para al-Wâshilûn, terputusnya mereka dari segala sesuatu adalah karena penyaksian mereka terhadap Allah s.w.t.. Barangsiapa yang menyaksikan-Nya, maka mustahil baginya untuk melihat atau menyaksikan selain-Nya, karena tidak mungkin memandang-Nya sambil masih menyaksikan yang lain. Sedangkan bagi para al-Sâirûn, terputusnya mereka disebabkan oleh ketidakmurnian dalam hal kejujuran (shiddiq) atau belum terbebas dari klaim-klaim ego. Mereka senantiasa meragukan diri sendiri dalam memenuhi amal perbuatan serta mensucikan keadaan batin mereka.
Bila kita menganalisis pernyataan Ibnu Abbâd di atas, setidaknya ditemukan dua entitas yang bersifat kontradiktif, pertama adalah teologi sunni sebagai tesis dan yang kedua metafisika sufistik sebagai antitesis. Meskipun begitu, keduanya justru menjadi sintesis atau peleburan yang menghasilkan realitas baru dalam fenomena tasawuf. Hal ini bisa dilihat dari pemaknaan kata “Ni’matahu” yang dipresentasikan sebagai anugerah yang tidak hanya bersifat materialistik, namun juga bersifat transenden. Contoh kongkret yang bisa ditemui dalam realitas kehidupan adalah bahwa Allah s.w.t. tidak hanya memberikan nikmat berupa materi berupa sandang, pangan, dan papan. Lebih dari itu, ada nikmat yang jauh lebih utama, yakni iman dan Islam. Selanjutnya dalam pernyataan yang lain, Ibnu Abbâd membuat dialektika yang cukup menarik, yakni “Thau’an” (sukarela) dan “Karhan” (terpaksa).
Jika dianalisis lebih mendalam, dialektika kedua kata di atas mengerucut pada klasifikasi dua kelompok sebagaimana diurai di alinea-alinea sebelumnya, yakni al-Wâshilûn dan al-Sâirûn. Bagi para al-Wâshilûn, nikmat yang berupa fanâ’ al-Syuhûd atau peleburan penyaksian menjadi manifestasi kerelaan (Thau’an) sehingga yang bersangkutan mampu menembus wilayah al-Insân al-Kâmil yang telah melampaui dualitas. Sedangkan bagi al-Sâirûn, nikmat yang berupa al-Tahdîb atau pemurnian jiwa tidak lepas dari paksaan sebagai langkah yang harus dilakukan pada fase mujâhadah. Karena itu, bagi Ibnu Abbâd, term keterpaksaan tidak selalu bermakna pejoratif dan negatif. Bagi para al-Sâirûn, memaksakan diri untuk selalu berjalan dalam laku lampah spiritual, sebelum akhirnya mereka berada dalam derajat al-Wâshilûn.
(Transkip pengajian Syarah Hikam oleh Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar pertemuan ke-86 live di TVNU).