Menguatkan Karakter Utama, Menyongsong Abad Kedua

0

KH. Miftachul Akhyar (Rais Aam PBNU) 

Dalam hitungan kalender hijriah, saat ini kita sedang menapaki tahun ke-99 perjalanan Nahdlatul Ulama. Penghujung abad pertama ini seharusnya menjadi momentum bagi seluruh warga dan pimpinan Nahdlatul Ulama untuk mempersiapkan bekal terbaik guna menyongsong perjalanan khidmah pada abad berikutnya.

Soal hari lahir Nahdlatul Ulama, al-faqîr ingin mengajak semua pihak untuk kembali kepada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Anggaran Dasar yang secara tegas menyatakan bahwa “Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926”. Artinya, kalender hijriah adalah patokan utama dalam perhitungan hari lahir Nahdlatul Ulama.

Dalam upaya menyiapkan bekal dan khidmah terbaik itu, kita patut mengingat salah satu petuah Syaikh Ibnu Athâ’illâh Assakandary:

وُرُوْدُ الْإِمْدَادِ بِحَسَبِ الْإِسْتِعْدَادِ، وَشُرُوْقُ الْأَنْوَارِ عَلَى حَسَبِ صَفَاءِ اْلأَسْرَارِ

“Datangnya karunia (pertolongan) Allah Subhânahû wa Ta’âlâ itu sesuai dengan tingkat persiapan hati untuk menerimanya. Dan memancarnya cahaya Ilahi itu sesuai dengan kadar kejernihan hati/jiwa.”

Pertanyaannya kemudian, persiapan apa yang telah kita lakukan untuk menyongsong abad baru Nahdlatul Ulama? Pertanyaan ini terutama ditujukan kepada individu-individu pengurus dan pimpinan Nahdlatul Ulama di semua tingkatan. Sebab, sebagaimana dawuh Syaikh Ibnu Athâ’illâh Assakandary di atas, datangnya karunia Allah akan disesuaikan dengan tingkat kesiapan dan persiapan kita.

Menurut hemat al-faqîr, sedikitnya ada empat karakter utama yang perlu kita perkuat secara bersama-sama untuk memperkokoh bangunan jam’iyah ini. Pertama, karakteristik keulamaan dalam setiap individu pimpinan. Sebagai organisasi yang didirikan oleh para ulama dan aulia, serta menjadikan ulama sebagai pimpinan, panutan dan teladan, hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar.

Sahabat Ibnu Mas’ud radliyallâhu ‘anhu pernah memberikan catatan untuk para ulama (ahli ilmu):

﴿لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ صَانُوْا عِلْمَهُمْ وَوَضَعُوْهُ عِنْدَ أَهْلِهِ لَسَادُوْا بِهِ أَهْلَ زَمَانِهِمْ، وَلَكِنَّهُمْ بَذَلُوْهُ لِأَهْلِ الدُّنْيَا لِيَنَالُوْا بِهِ مِنْ دُنْيَاهُمْ فَهَانُوْا عَلَى أَهْلِهَا. سَمِعْتُ نَبِيَّكُمْ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا كَفَاهُ اللهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَهَمَّ آخِرَتِهِ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا وَقَعَ﴾ عن عبد البر فى جامع بيان العلم ج 1/187

Baca Juga :  Ngaji Qonun Asasi NU Bareng Gus Yahya (2)

“Seandainya ahli ilmu menjaga ilmu dan meletakkannya pada ahlinya, niscaya akan memelihara penduduk zamannya. Akan tetapi mereka mencurahkannya kepada ahli dunia untuk memperoleh harta-harta mereka, sehingga mereka merendahkan diri di hadapan ahli dunia.” Aku mendengar Nabi kalian shallallâhu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menjadikan cita-citanya untuk menggapai akhirat, maka Allah akan mencukupkan baginya dunia dan akhiratnya. Dan barangsiapa cita-citanya hanya untuk mencari dunia, maka Allah tidak peduli di lembah mana dia berada.”

Seorang sufi masyhur, Imam Sahl bin Abdullah At-Tustary, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Khathîb al-Baghdâdy, juga pernah memberikan sinyal peringatan:

﴿اَلنَّاسُ كُلُّهُمْ سُكَارَى إِلاَّ الْعُلَمَاءَ، وَالْعُلَمَاءُ كُلُّهُمْ حَيَارَى إِلاَّ مَنْ عَمِلَ بِعِلْمِهِ﴾

(“إقتضاء العلم العمل” للخطيب البغدادي ص 28)

“Semua manusia dalam kondisi mabuk (tidak sadar), kecuali para ulama. Dan para ulama pun semuanya kebingungan, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya.”

 

Dawuh Imam Abdullah At-Tustary itu senada dengan peringatan Imam Al-Ghazaly:

﴿النَّاسُ كُلُّهُمْ هَلْكَى إِلَّا الْعَالِمُوْنَ. وَالْعَالِمُوْنَ كُلُّهُمْ هَلْكَى إِلَّا الْعَامِلُوْنَ. وَالْعَامِلُوْنَ كُلُّهُمْ هَلْكَى إِلَّا الْمُخْلِصُوْنَ. والْمُخْلِصُوْنَ عَلَى خَطَرٍ عَظِيْمٍ﴾

“Semua manusia akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu pun akan binasa kecuali yang mengamalkan ilmunya. Yang mengamalkan ilmunya pun akan binasa kecuali mereka yang ikhlas. Dan mereka yang ikhlas pun masih dalam kekhawatiran yang besar.”

 

Kedua, mempersiapkan setiap kader dan individu pimpinan sebagai mata air-mata air kecil yang jernih dan bermanfaat bagi masyarakat. Juga, menyadari tanggung jawab masing-masing, baik tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada umat manusia, maupun tanggung jawab kepada Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.

Di tengah kegersangan hidup manusia modern, keberadaan ulama diharapkan menjadi mata air yang jernih dan mampu menyirami seluruh anak bangsa serta siapapun yang melewati negeri itu. Sebagaimana sabda Kanjeng Nabi Shallallâhu Alayhi wa Sallam:

﴿إنّمَا مَثَلُ الْعَالِمِ كَمَثَلِ يَنْبُوعٍ مِنْ مآءٍ يَسْقِى بَلَدَهُ وَمَنْ مَرَّ بِهِ، و َكَذَا العَالِمُ يَنْتَفِعُ بِهِ أَهْلُ بَلَدِهِ وَمَنْ مَرَّ بِهِ﴾ رِوَايَاتٌ رَوَاهَا الْحَكِيْمُ التّرْمُذِى فِى الأَمْثَال منَ الْكِتَابِ والسنَّةِ.

Baca Juga :  MEMBANGKITKAN KESADARAN BER-JAM’IYAH

“Sesungguhnya perumpamaan seorang alim adalah seperti mata air, yang menyirami negeri dan setiap orang yang melewatinya. Demikian juga orang alim, penduduk negeri dan orang yang melewatinya dapat mengambil manfaat dari keberadaannya.”

Jangan sampai para pimpinan Nahdlatul Ulama justru menjadi sosok dan figur ulama yang buruk (ulamâ’ sû’) seperti pohon Difla, sebagaimana digambarkan oleh Nabi Isa Alayhis Salâm dalam sabda beliau:

﴿يَا عُلَمَاءَ السُّوْءِ! جَعَلْتُمْ الدُّنْيَا عَلَى رُؤُوْسِكُمْ، وَاْلآخِرَةَ تَحْتَ أَقْدَامِكُمْ، قَوْلُكُمْ شِفَاءٌ وَعَمَلُكُمْ دَاءٌ، مِثْلُكُمْ كَمَثَلِ شَجَرَةِ الدِّفْلَي –(شجر مُرٌّ أخضر، حسن المنظر، دائم الأزهار، يكثر فى الأودية)–  تُعْجِبُ مَنْ رَآهَا، وَتَقْتُلُ مَنْ أَكَلَهَا﴾ (إقتضاء العلم العمل؛ ص 67) .

 

“Hai Ulama’ Sû’! Engkau jadikan dunia di atas kepalamu, dan akhirat di bawah telapak kakimu. Ucapanmu dianggap obat, tapi perbuatanmu justru menjadi penyakit. Perumpamaan kalian seperti tanaman Difla (bunga yang indah tapi beracun, banyak terdapat di lembah), yang menakjubkan orang yang melihatnya, tapi membunuh orang yang mencicipinya.

Sahabat Umar bin Khaththâb radliyallâhu ‘anhu juga pernah memberikan peringatan dini terkait dengan keberadaan ulama yang mencintai dunia.

قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: ﴿إذا رَأيتُمْ العَالِمَ مُحِبًّا للدُّنْيَا فَاتَّهِمُوا عَلَى دِينِكُمْ. فَإنَّ كُلَّ مُحِبٍّ يَخُوضُ فِيْمَا أحَبَّ﴾ المرشد الأمين من إحياء علوم الدين؛ ص 18.

“Jika engkau melihat seorang alim yang mencintai dunia (menjadikan dunia di hati dan telapak tangannya), maka curigailah (ajaran) agama yang kalian ambil darinya. Karena seseorang yang mencintai sesuatu akan tenggelam dalam apa yang dia cintai.”

Ketiga, meningkatkan kesadaran nidhomiyah atau disiplin organisasi. Merapikan shaf pimpinan Nahdlatul Ulama di semua jenjang kepengurusan dalam satu irama gerak yang selaras dan taat asas, menjadi dasar semangat untuk membangkitkan kesadaran ber-jam’iyah di tengah masyarakat. Jika dua karakter sebelumnya telah terbangun dengan kokoh, tentu para pimpinan Nahdlatul Ulama di semua jenjang akan mampu menjadi muharrik di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya.

Baca Juga :  Ngaji Qonun Asasi NU Bareng Gus Yahya (9)

Ketika ketulusan dan kesungguhan semangat dalam berkhidmah juga telah menjadi landasan utama, tantangan dan dinamika organisasi serumit apapun akan dapat dikelola dengan baik. Setiap individu pimpinan akan mengedepankan prinsip al-ittihâd fi al-ittifâq (bersatu dalam kesepakatan), atau paling tidak al-ittihâd fi al-ikhtilâf (bersatu dalam perbedaan) dalam merespons setiap persoalan, dengan tetap berpegang pada aturan main organisasi.

Keempat, internalisasi nilai-nilai Mabadi’ Khaira Ummah. Keberhasilan para pendahulu kita dalam menjalankan roda organisasi dengan capaian yang gemilang, tidak bisa dilepaskan dari kesungguhan mereka dalam menerapkan lima prinsip Mabadi’ Khaira Ummah. Yaitu, al-shidqu (kejujuran), al-amânah wa al-wafâ bi al-‘ahdi (menjaga kepercayaan dan pemenuhan janji yang telah disampaikan), al-adâlah (menempatkan semua hal pada porsi dan proporsinya), al-ta’âwun (gotong royong), dan  al-istiqâmah (konsisten dalam melaksanakan tugas dan amanah).

Kelima prinsip itu seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan warga Nahdlatul Ulama. Tapi, tampaknya semakin banyak warga Nahdlatul Ulama yang melupakannya. Karena itu, tidak ada pilihan bagi para pimpinan Nahdlatul Ulama, kecuali bersama-sama memperkuat internalisasi nilai-nilai tersebut dalam setiap sikap dan gerak langkah, baik secara pribadi maupun secara organisasi.

Semoga Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berkenan memberikan karunia terbaiknya kepada kita semua, serta menjaga perjalanan jam’iyah tercinta ini hingga selamanya. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.