Rekontekstualisasi Ajaran Islam untuk Tatatan Dunia Baru

0

Bagian Pertama, Refleksi Pasca Perang Dunia

Konflik atas nama Islam, baik internal (sesama muslim) maupun eksternal (muslim maupun non-muslim) masih terus marak di belahan dunia hingga saat ini. Berbagai upaya besar yang telah dilakukan oleh berbagai pihak tidak kunjung mampu menyelesaikannya, bahkan intensitas konflik cenderung meningkat sehingga mengganggu keamanan dan stabilitas global. Pola yang tampak dalam konflik-konflik tersebut ternyata muncul pula dalam fenomena-fenomena konflik yang terkait dengan agama-agama dan atau ideologi-ideologi di luar Islam.

Refleksi historis menunjukkan bahwa fenomena konflik ini di masa lalu adalah fenomena yang normal. Masa dahulu adalah rimba identitas-identitas yang saling berkompetisi supermasi satu sama lainnya, baik identitas rasial, etnik, agama, budaya, klan, maupun ideologi-ideologi lainnya. Lebih dari itu, Konflik peperangan di masa lalu adalah mekanisme yang wajar untuk menyelesaikan persaingan dan pertentangan.

Dan sekarang ini, sejalan semakin terintegrasinya masyarakat global ke dalam suatu wahana pergaulan yang menghubungkan semua aktor yang ada satu sama lain, dan seiring pula dengan perkembangan teknologi khususnya teknologi militer, perwujudan konflik antaridentitas berkembang menjadi semakin intens tingkat kekerasannya dan semakin luas skala ketelibatan pihak-pihak di dalam konflik itu.

Hal ini disebabkan karena keterhubungan antarpihak menjadikan dimungkinkannya konsolidasi kekuatan secara besar-besaran ke dalam aliansi-aliansi politik dan militer berskala internasional. Sementara itu, perkembangan teknologi melahirkan persenjataan militer dengan daya rusak yang semakin meraksasa pula. Di dalam sejarah dunia telah mengalami puncak konflik antar identitas dalam wujud perang-perang besar, yaitu perang dunia pertama pada 1914-1918 dan perang dunia kedua 1939-1945. Dua perang dunia tersebut mengakibatkan korban kemanusiaan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tidak kurang dari 10 juta korban jiwa, 21 juta korban luka dalam perang dunia pertama dan lebih dari 60 juta korban jiwa dalam perang dunia kedua. Dua perang dunia tersebut, yang melibatkan lebih dari 50 negara, menjadi hentakan peradaban bagi umat manusia sedemikian rupa sehingga mendorong masyarakat internasional untuk membangun konsensus politik baru demi mengupayakan terwujudnya suatu tata dunia yang diharapkan mampu menekan kecenderungan konflik antaridentitas dan mencegah terulangnya perang besar seperti perang dunia pertama dan kedua.

Pada tanggal 26 Juni 1945 di San Francisco Amerika Serikat sejumlah negara besar menandatangani kesepakatan yang kemudian disebut “Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Piagam itu pada gilirannya menjadi dasar dibentuknya organisasi PBB yang dimaksudkan berfungsi sebagai rezim internasional dalam konstruksi tata dunia baru.

Komponen-komponen Utama dari Tata Dunia Baru

Pertama, adalah rezim perbatasan internasional yang menetapkan batas-batas definitif dari setiap negara sebagai lingkup kedaulatan yang dihormati dan dilindungi dari serangan pihak luar.

Hal ini mengubah pola interaksi antara negara yang bertetangga dari ketegangan militer dan konflik abadi, menjadi jaminan hak dan kedaulatan atas dasar aturan-aturan yang disepakati. Di atas rezim perbatasan internasional itu hubungan antarnegara dijalankan dan dikelola di dalam tatanan yang didasarkan atas aturan-aturan (rules-based order).

Kedua, adalah nilai hak asasi universal yang berisi prinsip penghormatan atas kesetaraan hak dan martabat bagi semua manusia terlepas dari perbedaan latar belakang apapun, baik tas, etnik, agama, ideologi sekular maupun label-label identitas lainnya. Nilai ini dimaksudkan untuk menghentikan persaingan perebutan supremasi di antara kelompok-kelompok yang ada dengan menghilangkan diskriminasi. Umat manusia diatur, diperintah agar mengedepankan dialog dengan setara dan rasional untuk menyelesaikan pertentangan. Negara-negara baru yang lahir sesudah perang dunia kedua mendapatkan legitimasi dan kedaulatan atas dasar prinsip-prinsip tata dunia baru ini, di bawah perlindungan rezim organisasi PBB.

Dalam kurun beberapa dekade kemudian, rezim tata dunia baru tersebut secara relatif berhasil ditegakkan sebagai suatu kemapanan internasional, walaupun di dalam dirinya terdapat kerawanan-kerawanan yang berpotensi menimbulkan krisis sistemik. Setidaknya saya mencatat ada 3 kerawanan: Pertama, bahwa perangkat-perangkat aturan yang diperlukan sebagai kelengkapan dari rules-based order yang diidelalisasikan belum komplit. Masih banyak isu-isu menyangkut nilai-nilai dan aturan-aturan yang belum disepakati secara internasional.

Misalnya aturan-aturan mengenai perbatasan (garis batas) perairan yang dituangkan dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Low of the Sea) masih menyisakan berbagai masalah sehingga tidak sepenuhnya mampu menutup potensi-potensi sengketa batas-batas perairan antar negara. Indonesia memiliki pengalaman sengketa perbatasan dengan Malaysia di kawasan pulau Sipadan dan Ligitan dan belakangan dengan China di kawasan laut Natuna. Timor-Timur berhadapan dengan Australia di selat Timur, Turki bersengketa dengan Siprus di ladang minyak dan gas di perairan laut Tengah bagian timur, dan lain sebagainya. Kedua, desain struktural dari organisasi PBB itu sendiri oleh banyak anggota-anggotanya dipandang tidak mencerminkan kesetaraan universal dengan adanya wewenang khusus bagi anggota-anggota tetap dewan keamanan PBB terutama hak veto yang ada pada mereka.

Ketiga, sejumlah aktor global baik negara-negara atau penguasa-penguasanya, gerakan-gerakan dengan ideologi transnasional maupun korporasi-korporasi multinasional melakukan upaya-upaya untuk melemahkan skema rules-based order yang ada demi agenda-agenda dominasi global. Dewasa ini perkembangan dinamika internasional semakin membangkitkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya bencana-bencana besar akibat ketegangan politik militer yang terus memuncak. Pada saat yang sama peran dan wibawa organisasi PBB terus merosot sehingga organisasi PBB cenderung disfungsional sebagai pengelola hubungan antara negara dalam pergaulan global.

Baca Juga :  AL-QUR'AN MENJADI PEGANGAN DAN HIDAYAH BAGI SEMUANYA

Dunia seolah terjebak dalam kebimbangan yang luar biasa berbahaya, yaitu apakah tata dunia pascaperang dunia kedua ini masih layak untuk dipertahankan (PBB dan lainnya)? Apakah tata dunia ini punya kapasitas untuk mencegah bencana konflik global yang berpotensi meruntuhkan seluruh bangunan peradaban umat manusia? Kalau konstruksi tata dunia ini ditinggalkan, apa alternatifnya? Apabila kebimbangan ini tidak segera menemukan jawaban yang meyakinkan, maka masa depan keberadaan umat manusia sebagai penduduk planet bumi ini sungguh terancam.

Bagian Kedua, Perubahan Tatanan Dunia

Runtuhnya kemapanan peta politik global akibat perang dunia kedua dan lahirnya tatanan politik baru sesudah piagam PBB. Sebelum perang dunia pertama, ada peta politik global yang mapan selama ratusan tahun, yakni peta politik dunia yang global didasarkan atas identitas-identitas komunal terutama yang bersifat keagamaan. Ada kerajaan-kerajaan dengan identitas Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan lain sebagainya.

Dua perang dunia meruntuhkan peta dunia yang sudah mapan tersebut, disusul dengan lahirnya konfigurasi politik global yang baru, yang pada gilirannya digiring ke dalam tatanan politik baru berdasarkan konsensus internasional, konsensus setelah perang dunia kedua. Hal ini mengakibatkan perubahan-perubahan fundamental baik ditingkat struktur politik internasional maupun ditingkat masyarakat-masyarakat lokal. Perubahan-perubahan itu bergulir dalam skala yang luas, sehingga melahirkan wajah baru bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan. Empat perubahan mendasar dapat kita tandai, yaitu:

1) Perubahan tatanan politik internasional

  1. a) Pada masa lalu, hampir setiap negara atau kerajaan menyandang identitas agama. Pada masa kini, sebagian besar negara-negara yang ada telah melepaskan identitas agama dan menggantinya dengan identitas nasional.
  2. b) Pada masa lalu, tidak ada rezim perbatasan antarnegara, sehingga hubungan antarnegara berlangsung senantiasa dalam kerangka interaksi militer. Bahkan negara-negara yang secara geografis bersandingan satu dengan lain cenderung terjebak dalam perang abadi di garis batas jangkauan militer masing-masing. Saat ini, dengan adanya rezim internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka perbatasan antarnegara jauh lebih terjamin kemapanannya sebagai batas-batas kedaulatan masing-masing.

2) Perubahan demografi dan kewargaan

  1. a) Migrasi mengikuti aspirasi dan kontak-kontak ekonomi mendorong pergerakan manusia melintasi batas-batas negara, sehingga, pada masa kini, kita mendapati potret demografis yang sangat heterogen di berbagai kawasan, termasuk tumbuhnya komunitas muslim dalam jumlah yang signifikan di kawasan-kawasan yang pada masa lalu hanya memiliki penduduk non-muslim saja, seperti di Eropa, Amerika, dan kawasan-kawasan lainnya.
  2. b) Pada masa lalu, karena setiap negara atau kerajaan menggunakan identitas agama, maka status kewarganegaraan didasarkan pula atas identitas agama dari penduduknya, dan supremasi agama penguasa dijadikan landasan penilaian. Penduduk yang memeluk agama berbeda dari agama negara cenderung dipersekusi atau sekurang-kurangnya diberi status sebagai warga kelas dua. Pada masa kini, dengan dilepaskannya identitas agama, maka negara mentolerir keragaman identitas agama di antara warganya.

3) Perubahan dalam standar norma-norma (‘urf)

Praktik-praktik mengabaikan sebagian hak-hak kemanusiaan yang pada masa lalu ditolerir, seperti perbudakan, penjajahan antarbangsa, persekusi dan diskriminasi atas minoritas, kini secara umum dipandang sebagai kejahatan menurut standar norma-norma keadaban.

4) Globalisasi

Globalisasi yang didorong oleh interaksi-interaksi ekonomi dan perkembangan teknologi telah menjadikan batas-batas fisik, yaitu batas-batas geografis, maupun batas-batas politik antarbangsa semakin kurang relevan dalam dinamika sosial. Perkembangan teknologi juga telah secara dramatis menjembatani jarak fisik, sehingga setiap peristiwa yang terjadi di manapun berpotensi memicu rangkaian konsekuensi-konsekuensi global.

Seiring dengan perubahan-perubahan tersebut masyarakat internasional masih bergulat untuk mengatasi berbagai ancaman konflik, baik yang merupakan warisan dari konstruksi peradaban lama maupun yang lahir dari dinamika politik yang baru. Yang jelas bahwa fokus pergulatan masyarakat Internasional dalam hal ini adalah mencegah terulangnya perang-perang besar seperti perang dunia pertama dan kedua.

Bagian Ketiga, Posisi Agama-Agama dan Tanggapan Islam Terhadap Tata Dunia Baru

Agama-agama sejak lahirnya mengibarkan klaim sebagai penyelamat umat manusia mengemban dalam dirinya tendensi supremasi untuk menundukkan seluruh dunia di bawah otoritas agama yang bersangkutan tak terkecuali Islam. Itu sebabnya dalam sejarah struktur otoritas agama senantiasa mengembangkan kapasitas ekspansi untuk memperluas jangkauan pengaruhnya. Perebutan supremasi antara agama inilah yang menjadi penyumbang terbesar dari konstruksi peradaban sebelum perang dunia pertama.

Setelah konsensus internasional pasca-perang dunia kedua itu posisi normatif dari agama-agama masih tetap pada posisi yang mereka pegang dalam konteks peradaban lama sehingga tendensi dasar dari agama-agama yaitu ekspansionisme dan kompetisi supremasi berbenturan dengan kepentingan masyarakat internasional untuk mencegah konflik. Di pihak lain sejauh menyangkut Islam masalah mendasar ini dipertajam dengan trauma kekalahan militer pada dunia pertama yang disusul dengan kolonisasi atau penjajahan wilayah berpenduduk muslim yang sebagai besar merupakan bekas Turki Utsmani oleh kerajaan-kerajaan Kristen Barat.

Baca Juga :  Santri harus Terus Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan

Hal ini melahirkan mindset yang dominan di dunia Islam yang memandang tata dunia baru hasil konsensus internasional pasca-perang dunia kedua sebagai kelanjutan dan peneguhan kemenangan Kristen-Barat atas Islam. Walaupun realitas politik yang baru telah lahir di sebagian dunia Islam dengan format, struktur dan norma-norma politik yang baru wawasan keagamaan yang dominan masih merujuk kepada wacana yang mapan sejak masa kejayaan Turki Utsmani.

Situasi ini melestarikan kecenderungan resistensi dunia Islam terhadap tata dunia baru tersebut dan dengan sendirinya menghidupi api permusuhan di dalam sekam tata dunia yang masih penuh ketidaksempurnaan. Akar dari masalah ini adalah kerawanan-kerawanan yang ada dalam hubungan antara wawasan keislaman yang mapan dengan konstruksi normatif dari tata dunia baru tersebut. Dalam hal ini dapat diidentifikasi empat pusat kerawanan.

Pertama, menyangkut pandangan tentang status non-muslim di tengah kehidupan bermasyarakat dan norma-norma menyangkut interaksi antara muslim dengan non-muslim. Kedua, pandangan tentang model negara yang diterima oleh syariat. Ketiga, pandangan yang menyangkut hubungan antara syariat Islam dan hukum negara sebagai hasil dari proses-proses politik modern. Keempat, pandangan menyangkut penyikapan terhadap konflik-konflik yang melibatkan kelompok-kelompok dari kalangan umat Islam.

Apabila wawasan keislaman terutama yang berkaitan dengan empat pusat kerawanan di atas tidak berubah maka Islam akan terus menjadi kekuatan yang mengancam stabilitas tata dunia dan berpotensi mendorong terjadinya konflik-konflik besar yang mengancam keamanan global. Di sisi lain, perubahan-perubahan dalam wawasan keislaman itu sendiri menuntut dipenuhinya prasyarat-prasyarat dan disiplin prosedural yang tidak mudah dipenuhi.

Bagian Keempat, Syariat dan Politik

Sebagai taklîf (beban) individu pengamalan syariat adalah wujud ketaatan kepada Tuhan berdasarkan iman. Pada tingkat kolektif masyarakat syariat berfungsi sebagai sendi tertib sosial. Sedangkan tertib sosial itu sendiri pada dasarnya adalah konstruksi politik. Itu sebabnya itu sejumlah aspek dalam syariat melibatkan kategori-kategori politik dan penerapannya di dalam masyarakat mensyaratkan koersi (pemaksaan) politik oleh otoritas yang dianggap sah.

Selama lebih dari tiga belas abad, yaitu sejak Rasulullah saw berhasil menciptakan tatanan sosial politik bagi masyarakat Madinah sampai dengan runtuhnya Turki Utsmani, kehidupan kolektif umat Islam dikerangkai dengan suatu model politik yang kurang lebih tetap atau konstan, tanpa perubahan yang berarti. Maka selama lebih dari tiga belas abad itu pula ortodoksi syariat tumbuh dan mapan sebagai konstruksi tertib sosial yang saling berkelindan, tak terpisahkan dengan model konstruksi politik tersebut.

Model ortodoksi syariat dan konstruksi politik yang mapan laksana sepasang jodoh atau dua sisi mata uang yang sama. Dengan runtuhnya Turki Utsmani model konstruksi politik yang tumbuh selama tiga belas abad itu pun hilang begitu saja. Maka ortodoksi syariat kehilangan pasangannya. Ketika konstruksi-konstruksi politik yang baru, kemudian bermunculan ortodoksi syariat tidak dapat secara seirama menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Kesulitan ortodoksi syariat beradaptasi dengan perubahan itu berakar pada dua hal.

Pertama, karena dalam ortodoksi syariat itu dikembangkan disiplin paradigmatik yang mencegah atau membatasi perubahan-perubahan. Kedua, model otoritas politik yang disemati wewenang untuk menginisiasi dan menyangga perubahan-perubahan dalam ortodoksi syariat itu sendiri sudah tidak ada. Kepincangan ini menjadikan operasionalisasi syariat (tathbîq asy-syarî’ah) suatu arena pergulatan yang cenderung kacau akibat hilangnya koherensi antara kerangka konseptual ortodoksi syariat dengan realitas obyektif dari konstruksi politik yang tersedia.

Konstruksi negara bangsa yang merupakan basis dari tata dunia hari ini tidak menyediakan fungsi hakim sebagaimana disyaratkan dalam tathbîq asy-syarî’ah. Bahkan negara-negara yang mengklaim identitas Islam pun secara konseptual tidak punya kapasitas untuk menyediakan pemangku peran hâkim yang dapat diterima universal oleh dunia Islam seluruhnya. Sebab, tidak satu pun dari negara-negara Islam itu memiliki legitimasi sebagai wakil konstruksi politik Islam sebagaimana yang disyaratkan dalam kerangka kerja ortodoksi syariat. Persis, karena masing-masing negara Islam dibangun dalam kerangka kerja negara bangsa.

Bagian Kelima Pilihan-Pilihan dan Konsekwensi-Konsekwensi Obyektif

Hingga saat ini, dunia masih dirundung konflik ketidakadilan dan aniaya. Permusuhan atas nama agama masih terus berlangsung di banyak kawasan. Eksploitasi politik dan ekonomi yang tidak adil pun merupakan pemandangan yang lazim di mana-mana. Doktrin Islam menuntut koherensi antara iman, wawasan keagamaan, dan tindakan atau amal perbuatan. Di dalam syariat yang mapan, menegakkan al-imâmah al-‘uzhmâ sebagai hâkim universal dipandang sebagai kewajiban mutlak. Kenyataan bahwa sejak berakhirnya Daulah Umayyah kesatuan imâmah tidak terjadi dan tidak pernah lagi terjadi hingga sekarang.

Baca Juga :  Ngaji Qonun Asasi NU Bareng Gus Yahya (5)

Berdirinya Daulah Abbasiyah di Baghdad diiringi oleh berdirinya Daulah Bani Ahmar di Kordova di Spanyol. Bahkan di kemudian hari Turki Utsmani yang tegak sebagai Daulah yang paling berpengaruh di dunia Islam pada masanya tetap saja harus berbagi wilayah politik dengan daulah-daulah Islam lainnya; Tinbuktu di Afrika, Syafawi di Persia, Mughal di India dan lain sebagainya.

Para ulama pada masa-masa itu, mentolerir ketiadaan imâmah tunggal dengan alasan kedaruratan akibat luasnya wilayah yang menyulitkan konsolidasi, tetapi alasan obyektif dalam realitas adalah kemustahilan politik dari pusat-pusat kekuasaan yang ada untuk tunduk satu sama lain.

Sementara itu, menegakkan satu imâmah tunggal bagi seluruh umat Islam tetap dipertahankan sebagai cita-cita yang wajib diperjuangkan. Jelas bahwa ada masalah besar yang tidak terpecahkan selama berabad-abad, yaitu inkoherensi antara wawasan normatif dengan realitas obyektif, kesenjangan antara wawasan syariat dengan tathbîq-nya.

Masalah ini terus membesar dan semakin kompleks sehingga yang kita dapati hari ini adalah konfigurasi yang sangat dalam pergulatan politik terkait syariat. Pada dasarnya, di tengah keseluruhan lanskap realitas global hari ini, dunia Islam menghadapi dua pilihan. Pertama, apakah akan kembali kepada wawasan syariat lama? Kedua, mengembangkan wawasan baru?

Kalau kita memaksakan tathbîq atas dasar wawasan lama maka yang kita dapati adalah konstruksi sosial- politik yang disyaratkan untuk menopang tathbîq itu sendiri. Di dunia Islam sudah tidak ada lagi setelah keruntuhan khilâfah Turki Ustmani. Memaksakan upaya mendaulat al-imâmah al-‘uzhmâ di tengah keragaman sistem politik yang sudah mapan di dalam realitas konsekuensinya adalah juga kekacauan yang bahkan lebih besar lagi karena negara-negara yang sudah ada dipaksa bubar, yang merupakan negara-negara di mana umat Islam saat ini tinggal.

Maka jelas bahwa pilihan kembali kepada wawasan lama dalam kenyataannya membawa konsekwensi-konsekwensi yang bertentangan bahkan meruntuhkan maqâshid asy-syarî’ah, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan memelihara harta. Bahkan, secara langsung bertentangan dengan tujuan syariah itu sendiri, karena hal itu akan menyebabkan kehancuran yang meluas terhadap institusi agama dan tempat ibadah, jiwa, akal, keturunan (keluarga), dan harta.

Bagaimana mungkin kita memaksakan apa yang kita anggap sebagai syariat di satu sisi sementara di sisi lain jelas-jelas membawa konsekwensi keruntuhan maqâsid-nya. Dengan demikian pilihan pertama ini tertolak. Sebagai alternatifnya adalah mengubah seperangkat pandangan fiqih yang telah mapan sebagaimana disebut di atas. Di dalam fiqih itu sendiri kita mengenal kaidah; ‘Hukum itu ada dan tidak adanya berputar mengikuti ‘illat-nya (al-hukm yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman).

Berdasarkan prinsip ini, mengubah pandangan fikih yang telah mapan tentang ketidakrelevanan untuk kembali mendirikan al-imâmah al-uzhmâ atau khilâfah memerlukan pendekatan yang dianggap sah dalam pandangan fikih. Bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fiqih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilâfah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat. Cita-cita mendirikan kembali negara khilâfah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non-Muslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi.

Karena itu cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islâmiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau non-Muslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam (ukhuwah basyariyyah), seperti yang disuarakan Nahdlatul Ulama sejak tahun 1984.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya memanglah tidak sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini. Namun demikian piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia. Karena itu, Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai, harmonis, dan adil.

Daripada bercita-cita dan berusaha untuk menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara khilâfah, kami memilih jalan lain, mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru tentang fiqih, yaitu fikih yang akan dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia. Visi yang seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariat.

(Pidato Ilmiah KH. Yahya Cholil Staquf pada penganugerahan DR di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Februari 2023)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.