Pelajaran dari Perang Uhud:
Pahlawan Masa Kini adalah Mereka yang Punya Keteguhan Hati
Oleh:
Zahid Lukman
(Pengurus Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra` Wal Huffazh Nahdlatul Ulama)
Pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Secara etimologi ada juga yang mengartikan pahlawan sebagai akar kata pahala dan berakhiran wan, jadi pahalawan adalah mereka pantas memperoleh pahala karena jasa-jasanya bagi perjuangan menegakkan kebenaran. Kali ini kita akan memaknai pahlawan dengan belajar dari peristiwa perang Uhud.
Ali Imran [3] : 155
إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنْكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (١۵۵)
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Ali Imron: 155)
Dalam Al-Quran dan Tafsirya, disebutkan bahwa sewaktu pertempuran dalam perang Uhud ada sebagian dari kaum muslimin meninggalkan tempat pertahanan yang tidak boleh ditinggalkan terutama oleh barisan pemanah, tetapi mereka tinggalkan juga. Mereka merasa musuh sudah kalah sehingga mereka meninggalkan posisi dengan maksud untuk mendapatkan harta rampasan, akhirnya musuh menempati posisi mereka dan mereka kocar-kacir dan menderita karena serangan musuh yang bertubi-tubi. Meskipun demikian akhirnya mereka sadar dan menyesali kesalahan mereka, maka Allah mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun dengan membebaskan mereka dari hukuman di akhirat.
Peperangan yang terjadi dalam sejarah Islam di masa Nabi, tak ada satu pun yang dimulai oleh kaum muslimin. Sikap Nabi dan para sahabat dalam hal ini hanya defensif, mempertahankan diri, bukan ofensif, sesuai dengan prinsip-prinsip dalam al-Quran, “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai mereka yang melampaui batas”. (QS. Al-Baqarah/2: 190). Tetapi bila pihak musuh mengajak damai, sambutlah segera (QS. Al-Anfal/8: 61). Kita harus selalu siap menerima perdamaian jika kecenderungan ke arah perdamaian di pihak lain juga demikian. Tugas kita harus menjadi pelopor perdamaian, bukan menjadi pelopor peperangan.
Begitulah yang terjadi dalam perang Badar (QS. Ali Imran/3: 13, 123) pada bulan Ramadan tahun kedua setelah hijrah. Kemudian dalam perang Ahzab (perang parit, Al-Ahzab/33: 9) sekitar tahun ke-5 setelah hijrah, kaum musyrikin Mekah dengan kekuatan 10.000 orang, dengan bantuan Yahudi yang berkhianat setelah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah. Tetapi mereka kemudian lari dan kembali ke Mekah membawa kegagalan besar. Lalu yang terakhir perang Hunain tak lama setelah pembebasan Mekah pada tahun ke-8 hijrah.
Begitu juga dalam perang Uhud (Ali-Imran/3: 121) yang terjadi setahun setelah perang Badar, pihak musuh yang datang jauh-jauh dari Mekah mau menyerang Madinah. Kedatangan mereka dengan kekuatan 3.000 orang datang ke Madinah hendak membalas kekalahan dalam perang Badar. Dalam perang inilah kaum Muslimin dan Rasulullah mendapat cobaan berat.
Nabi SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya –seperti yang sudah menjadi cara hidup Nabi yang selalu bermusyawarah–. Sebagian mereka ingin bertahan di dalam kota, dengan alasan musuh tidak mengenal seluk beluk kota. Bila musuh sudah memasuki kota, akan kita kepung dan kita serang. Rakyat juga akan menyerang dengan batu dari atap-atap rumah. Yang lain menghendaki menyongsong musuh di luar kota, sebab jika musuh sampai menginjakkan kaki ke kota Madinah, penduduk akan menjadi korban, dan mereka akan menganggap sudah mendapat kemenangan dan akan membuat mereka bertambah berani. Atas dasar keputusan dengan pertimbangan itu, kaum Muslimin berangkat ke luar kota dibawah pimpinan Rasulullah SAW. Dalam perang ini tak ada yang menang dan tak ada yang kalah.
Dalam menghadapi ancaman tersebut, Rasulullah dengan pandangannya yang jauh, berani dan penuh tanggung jawab, segera memutuskan akan mengambil tempat di kaki Gunung Uhud, yang mengitari sebagian besar kota Madinah, sekitar tiga mil ke utara. Pada 7 Syawal tahun ketiga hijriyah (Januari 625) waktu subuh, ia sudah mengadakan persiapan untuk menghadapi perang itu. Madinah terkenal dengan musim dinginnya yang luar biasa, tetapi prajurit muslimin (700 sampai 1000 orang) subuh itu sudah siap. Di sebelah selatan mereka terdapat lembah yang curam dengan aliran air yang deras, sedang lorong-lorong bukit di belakang mereka ditempati oleh 50 orang pasukan pemanah untuk mencegah serangan musuh dari belakang. Pihak musuh sudah bersiap-siap hendak menyerang tembok Madinah, sedang pasukan muslimin berada di belakang mereka. Pada mulanya pertempuran itu menguntungkan kaum muslimin. Pihak musuh sudah porak poranda, tetapi barisan pemanah muslimin, yang tidak mentaati perintah Nabi meninggalkan posnya. Mereka ikut mengejar dan memperebutkan rampasan perang.
Perintah itu ialah: janganlah mengejar rampasan perang, dan jagalah disiplin kuat-kuat. Tidak sedikit musuh yang mati terbunuh, dan mereka sudah mulai mundur. Pada saat itu sebagian pasukan muslimin melanggar perintah, terus mengejar mereka karena tertarik oleh kemungkinan mendapatkan harta rampasan perang. Pihak musuh mengambil peluang yang telah ditinggalkan oleh pasukan pemanah, dan ketika itulah terjadi pertempuran satu lawan satu yang amat sengit dan menguntungkan pihak musuh. Sahabat-sahabat dari kaum ansar banyak yang terbunuh.
Tetapi mereka tidak kenal mundur. Dalam pertempuran ini, Hamzah paman Rasulullah dari pihak bapak, terbunuh sebagai syahid. Rasulullah sendiri juga mendapat luka-luka di bagian kepala dan muka, sebuah giginya tanggal. Kalau tidak karena keteguhan hati, keberanian dan ketenangannya, niscaya pihak kaum muslimin akan menderita kekalahan besar. Meskipun Rasulullah dalam keadaan luka, begitu juga kaum muslimin yang lain mengalami luka-luka, keesokan harinya mereka kembali ke medan pertempuran. Abu Sufyan dan pasukan Mekah-nya dengan hati-hati sekali segera menarik diri. Madinah dapat diselamatkan. Kaum muslimin dapat belajar dari peristiwa ini: keimanan, kesetiaan dan ketabahan, menjadi dasar keteguhan hati untuk terus berjuang. (Diringkaskan dari Tafsir Al-Quran A. Yusuf Ali).
Diantara nilai keteguhan hati dari perang Uhud yang dapat kita aplikasikan di masa kini ialah hendaknya kita punya kontribusi atau jasa besar bagi orang lain, karena semua ajaran dalam Islam memiliki implikasi positif bagi orang lain, bahkan untuk semesta alam ini (semua makhluk hidup), sebagaimana sabda Nabi yang artinya sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya, dan firman Allah yang artinya dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk membawa rahmat bagi sekalian alam.
Demikian keterangan al-Quran tentang perang Uhud. Semoga kita dapat mengambil hikmahnya dengan terus menggelorakan jiwa kepahlawanan. Amin.