Siapa tak mengenal Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil yang lahir di Bangkalan, Rabu, 25 Mei 1836 atau 9 Shofar 1252 Hijriyah. Ulama besar yang wafat tahun 1925 itu tercatat sebagai maha guru ulama Jawa dan dikenal sebagai seorang waliyullah. Makamnya selalu ramai diziarahi.
Syaikhona tak hanya mengajar santrinya tapi juga sekaligus menguji kesetiaan para santri didiknya. Di antara santri didiknya itu antara lain KH Hasyim Asy’ari Jombang, KH Ma’shum Ahmad Lasem dn KHA Wahab Hasbullah Jombang.
Kiai Hasyim Asy’ari asal Tebuireng, Jombang yang dikenal sebagai salah seorang pendiri NU itu pernah digembleng Syaikhona Kholil dengan berbagai cara sehingga ia lulus ujian berat yang diterapkan Syaikhona Kholil.
Misalnya. ketika awal nyantri di Pondok Pesantren Martajasah, Bangkalan itu, Kiai Hasyim yang masih belia diuji dengan naik pohon bambu. Syaikhona Kholil terus mengawasi dari bawah sambil memberi isyarat tangan agar terus naik dan tidak boleh turun sampai ke puncak pohon bambu itu. Kiai Hasyim dengan takzim terus naik sesuai perintah gurunya. Begitu sampai di pucuk, Syaikhona Kholil mengisyaratkan agar Kiai Hasyim langsung loncat ke bawah. Tanpa pikir panjang Kiai Hasyim langsung meloncat dan selamat. Ternyata hal tersebut hanya ujian kepatuhan seorang santri kepada kiainya.
Begitu juga, sebagai murid ulama besar, Kiai Hasyim tidak pernah mengeluh ketika disuruh apa pun oleh gurunya, termasuk ketika disuruh menggembalakan kambing dan sapi, mencari rumput dan membersihkan kandang. Termasuk ujian paling berat yang dikenakan sang guru.
Ketika Syaikhona Kholil sedih karena kehilangan cincin pemberian istrinya yang jatuh di kamar mandi dan langsung masuk ke septic tank. Kiai Hasyim tanpa merasa disuruh langsung memohon izin untuk mencarinya. Setelah diizinkan, sejurus kemudian beliau masuk ke septic tank dan mengeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan. Betapa senang sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya hingga terucap doa: “Aku rida padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu.”
Berkat kesetiaan dan doa gurunya itu Kiai Hasyim kini menjadi ulama terkemuka Indonesia, dikenal sebagai ulama yang mengeluarkan fatwa jihad melalui Resolusi Jihad NU untuk mempertahankan NKRI dari masuknya Belanda dan Sekutu yang melahirkan Perang 10 November di Surabaya. Hari itu dikenal sebagai Hari Pahlawan. Sedangkan hari dikeluarkannya fatwa itu kini ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.
Orang kedua setelah Kiai Hasyim di NU adalah KHA Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang yang nyantri ke Bangkalan beberapa tahun di bawah Kiai Hasyim.
Suatu hari di bulan Syawal, Syekh Kholil memanggil semua santri dan memerintahkan agar penjagaan pondok diperketat karena akan ada seekor harimau yang akan masuk ke lingkungan pondok pesantren.
Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok pesantren, lengkap dengan senjata. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren masih ada hutan rimba, sehingga khawatir jika ada macan muncul dari hutan.
Setelah beberapa hari ternyata macan yang ditunggu-tunggu tidak juga muncul. Pada minggu ketiga, Syekh Kholil memerintahkan para santri untuk berjaga lagi. Ketika itu tiba-tiba muncul seorang pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.
Begitu sampai di depan rumah Syaikhona Kholil, pemuda itu mengucapkan salam. Mendengar salam pemuda tersebut, Syaikhona Kholil justru malah berteriak memanggil para santrinya “Hai santri-santri, macan! macan! Ayo kepung, jangan sampai masuk ke pondok.” Mendengar teriakan Syekh Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, pemuda itu lari terbirit-birit meninggalkan kompleks pondok.
Namun, karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Syekh Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu, pemuda itu tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Ditolak. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda Jombang itu tidur di bawah kentongan yang ada di masjid pesantren itu. Tengah malam, pemuda itu dibangunkan Syaikhona dan dimarahi.
Selanjutnya, Syekhona menjadi lunak juga hatinya. Pemuda yang kemudian diketahui bernama Abdul Wahhab bin Hasbullah itu diajaknya masuk ke rumah Syaikhona Kholil di timur masjid. Di situ, ia seperti telah lulus ujian dan kemudian dijamu Kiai Kholil seperti layaknya tamu. Sejak itu Kiai Wahab tercatat sebagai santri Syaikhona Kholil yang dikenal sebagai ulama yang mempopulerkan Alfiyah Ibnu Malik ke Indonesia.
Syekh Ahmad Qusyairi (murid Syeikhona Kholil dan teman seangkatan Kiai Wahab) menyebut Syekhona Kholil sebagai Imam Syibawaih pada zaman itu di bidang Nahwu dan Imam Imam Syarafuddin An-Nawawi di bidang fiqih.
Pemuda Abdul Wahab Hasbullah akhirnya menjadi santri setia. Bersama Kiai Wahab saat itu ada juga tokoh yang kelak ikut membidani NU seperti KH Mas Alwi, KH Hasan Gipo, KH Ridwan Abdullah, KH Dahlan Ahyad, KH Bisri Syansuri, KH Ma’shum Ahmad dan lain sebagainya.
Ternyata apa yang diprediksi melalui isyarah Syaikhona Kholil menjadi kenyataan. Kiai Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi “macan” NU yang ditakuti dan disegani. Tidak hanya berani secara fisik tapi ia juga berani mengorbankan harta miliknya untuk perjuangan umat dan NU.
Kiai Wahab dikenal sebagai ulama yang pemberani dan cerdas membuat keputusan. Berani berhadapan fisik dan debat dengan siapa pun dalam mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang digawangi NU.
Kiai Wahab yang berani itu pernah menghadapi Jepang yang memenjarakan Kiai Hasyim (Rais Akbar PBNU) dn Kiai Mahfudz Siddiq (Ketua Umum PBNU) yang menentang seikere (membungkuk menghadap arah matahari terbit). Alfatihah (Mustafa Helmy)