Karya M. Quraish Shihab
Bulan ini hingga beberapa waktu ke depan kita akan menjalani masa politik. Bagaimana cara berperilaku politik secara beradab? Buku terbaru karya M. Quraish Shihab yang berjudul Islam dan Politik: Perilaku Politik Berkeadaban layak menjadi bahan bacaan yang cukup recommended untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami dengan ide yang mengalir dan tidak ertele-tele , tidak terlalu tebal, pembahasannya pun relevan dengan kondisi perpolitikan di Indonesia.
Buku Islam dan Politik ini memiliki pembahasan menarik hampir di setiap babnya. Dimulai dengan pembahasan Islam dan politik, politik Nabi dan para sahabat, as-siyasah asy-syar’iyyah, syarat pemimpin, pengangkatan kepala negara, serta beberapa kisah penuh hikmah yang memuat tokoh-tokoh Muslim ketika mengambil keputusan dalam pemerintahan.
Dalam pembukaan, Quraish Shihab menjelaskan perihal apa itu Islam dan apa itu politik. Dewasa ini, makna yang melekat pada Islam dan politik sudah berbeda dari yang sebenarnya.
Dalam politik ada yang namanya siasat, yang diambil dari kata sais atau pengendali. Orang yang berpolitik itu berarti mengendalikan sesuatu dan ada tujuannya. Untuk itu, dia menyebut politik dapat membawa manfaat dalam menghalangi kerusakan dan membawa pada kebaikan. Dalam Islam, yang berpolitik harus tahu arahnya ke mana dan bagaimana mengendarainya, serta ada akhlaknya.
Dijelaskan, tidak ada ruang dalam hidup yang lepas dari politik, bahkan dalam hal bacaan al-Quran juga didasari oleh kebijakan politik. Ada beberapa lafaz al-Quran yang penyelesaiannya karena politik. Diantara Abu Bakar, Umar dan Usman, disebut ada ikhtilaf tentang satu lafaz al-Quran yang pembacaannya disepakati melalui keputusan politik. Selain itu, keputusan Usman memutuskan mushaf Utsmani yang juga dikenal dengan mushaf pemeritah pun merupakan keputusan politik. Ketika membaca dalam beberapa qiraatul Quran, ada beberapa bacaan yang sahabat-sahabat Nabi tidak setuju, terutama Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas diketahui memiliki bacaan-bacaan yang berbeda dari yang lain. Namun, karena dia bukanlah ketua tim yang ditunjuk oleh Utsman, maka yang dipakai adalah yang menjadi keputusan ketuanya. Artinya, ada bagian dalam bacaan Quran, yang keputusannya agar umat tidak ikhtilaf terus-menerus, penyelesaiannya lewat jalur politik.
Buku ini juga membahas seputar makna khilafah, dalam kaitannya Nabi Adam dan Nabi Daud. Terdapat perbedaan makna antara khalaif dan khulafa. Ada khalifah yang maknanya tanggung jawab umum bagi siapa saja atau public eligibility, tetapi ada juga khalifah yang melekat pada orang-orang tertentu, seperti Nabi Daud.
Selain pembahasan tersebut ada satu pembahasan lagi yang menarik dalam buku karya ahli tafsir tersebut, adalah mengenai kampanye. Dalam buku ini disebutkan bahwa para pakar hukum Islam memandang kampanye dilarang dalam Islam, sebab ia merupakan bentuk meminta jabatan. Hal tersebut dilandaskan pada hadits mengenai larangan meminta jabatan, yaitu:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Dari ‘Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Nabi saw berkata kepadaku: ‘Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik’.” (HR Al-Bukhari).
Dalam hadits lain yang berkaitan dengan larangan meminta jabatan, Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan:
دَخَلْتُ علَى النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِن بَنِي عَمِّي، فَقالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: يا رَسولَ اللهِ، أَمِّرْنَا علَى بَعْضِ ما وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَقالَ الآخَرُ مِثْلَ ذلكَ، فَقالَ: إنَّا وَاللَّهِ لا نُوَلِّي علَى هذا العَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ، وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عليه.
“Aku masuk menemui Nabi saw bersama dua orang sepupuku. Lantas salah satu dari keduanya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah yang Allah ‘Azza wa Jalla kuasakan kepada Anda’. Yang lain juga mengatakan ucapan seperti itu. Maka beliau bersabda, ‘Demi Allah, sesungguhnya kami tidak menyerahkan pekerjaan (jabatan) ini kepada orang yang memintanya atau orang yang berambisi mengejarnya’.” (HR Muslim).
Meskipun begitu, ada juga para ulama yang membolehkan berkampanye dengan alasan kebutuhan akan pengenalan visi misi yang akan menjadi pertimbangan bagi para pemilih.
Dalam buku ini beliau melampirkan beberapa dalil kebolehan berkampanye menurut para ulama, yang di antaranya adalah firman Allah dalam Al-Quran surah Yusuf ayat 55:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan’.” (QS Yusuf : 55).
Meskipun ayat di atas menyatakan secara gamblang bahwa Nabi Yusuf meminta suatu kedudukan di sisi raja Mesir kala itu, namun Quraish Shihab memberi catatan kritis bahwa sebelum Nabi Yusuf mengatakan hal tersebut, sang raja telah menunjuk dirinya terlebih dahulu. Sang raja menunjuk Nabi Yusuf untuk menduduki posisi yang tinggi dengan mengerjakan beragam bidang penting dalam tatanan kerajaan. Nabi Yusuf pun menerima, namun dengan memilih bidang yang sesuai dengan keahliannya saja sebagaimana terpatri pada ayat 55 di atas.
Berangkat dari ayat tersebut, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa seseorang boleh mencalonkan dirinya untuk menempati suatu kedudukan tertentu yang dikuasainya dan sesuai dengan keahliannya, selama motivasinya adalah untuk kebaikan masyarakat. Di sisi lain, dari ayat di atas pula, ketika proses berkampanye dan mencalonkan diri, seseorang dilarang melakukan kebohongan dan propaganda yang tidak sesuai dengan realita, sehingga nanti masyarakat tidak objektif dalam memilihnya.
Politik, dalam buku ini, digambarkan sebagai makna keadaban. Sementara makna politik saat ini mengalami distorsi dan pergeseran, yang membuat orang memandang politik sebagai sesuatu yang negatif. Politik akan mendatangkan kemuliaan dan kemaslahatan, jika pelakunya berakhlak mulia.
Biodata Buku :
Judul : Islam dan Politik, Perlilaku Politik Berkeadaban
Penulis : M. Quraish Shihab
Cetakan : Pertama, September 2023
Penerbit : Lentera Hati
Juml halaman : xvii + 203