Tausiyah: Satu Dinar untuk Ibunda

0

Oleh: H. Musthafa Helmy (Pimpred Majalah Risalah NU)   

Mahdi mengemas dua helai baju yang dimilikinya dan membungkusnya dalam kain mukena ibunya yang telah usang. Ia kenakan jubah yang mulai pudar warnannya serta memiliki beberapa tambalan. Ia tinggalkan desa kesayangannya, Rikan, menuju Shiraz, sebuah kota megah di abad pertengahan.

Terik menyenangat menerpa bebataun dan memantulkan cahaya silau. Matahari tepat di atas saat peluhnya mulai mengucur deras. Shiraz masih jauh, sekitar sepuluh mil lagi. Tapi, burung-burung telah menyapanya. Hingga ia tak kuasa menahan panas dan dahaya di Ashkari. Masjid tak begitu besar menghibur dan melindunginya.

Ya Tuhan. Begitu ramai desa kecil ini, gumamnya. Mahdi masuk ke ruangan itu. Anak-anak berlarian bahagia. Di dalam tampak beberapa orang sibuk menyiapkan acara. Acara apa gerangan? Ia baca sekilas, perayaan Maulid Nabi. Oh, ia gembira. Ia tak faham jika ibundanya wafat pada saat bulan Maulid Nabi atau Rabiul Awal.

Belum penah ia saksikan acara semacam itu. Acapkali acara seperti itu dislenggarakan, tapi tak menariknya untuk datang di Rikan.

Sang ibu, Fathimah, selalu datang acara itu. Sang ibu yang bekerja memintal kain itu tak seberapa penghasilannya. Tapi, ia selalu menabung dari sisa yang bisa dimakan. Mahdi kadang membantu mencari kayu bakar. Ia bertanak gandum setiap hari dicampur susu kambing ternakannya sendiri. Kambing satu-satunya itu sudah habis ia jual saat sang ibu menjelang wafat.

Saat sang ibu wafat. Mahdi menangis meraung. Ia merasa tak berdaya ketika ibu yang menggidupinya sejak bayi hingga 20 tahun itu tiba-tiba harus pergi dan tak pulang lagi. Habis air matanya, mengering. Tapi, ada satu dinar yang disisakan sang ibu. “Pakailah untuk kepentinganmu. Carilah pekerjaan di kota Shiraz. Tolonglah ibumu dengan doamu jika ibumu meninggalkanmu, anakku.”

Ibunya memasan, di Shiraz ia bisa belajar agama dengan  Syekh Ali Shirazi yang banyak mengarang kitab bermazhab Syafi’i. Jangan poernah membiarkan dirimu tak mengenal ilmu, kata sang ibu. Mahdi hanya bisa mengangguk kala itu tanpa bisa lagi menitikkan air mata.

Fathimah wafat dengan diantar puluhan orang yang meneguhkan bahwa dia orang baik. Sakit hanya sepekan sebelum merenggang nyawa. Ia memeluk Al-Quran saat wafat itu. Hingga sepekan pengajian diselenggarakan ketua desa. Masyarakat bahu membahu memberi makanan untuk Fathmah.

Di masjid ini, kembali semua terbayang, keindahan bersama ibunda. Dan ia tersadar ketika orang mulai banyak dan ia duduk di depan menghadap seorang ulama. Syekh Ahmad Najih yang sudah sepuh. Ia segera menghampiri ulama itu dan mnciumi tangannya berkali-kalio.

Syekh Najih memberi penjelasan mengapa merayakan maulid, mengapa membaca syair-syair tentang kelahiran Rasulullah, yang tak lain untuk menunjukkan kecintaan. Kita harus melahirkan kecintaan itu dan tidak bisa dipendam dan sebagai pengakuan saja. Karena Rasyulullah itu nyata maka kecintaan kita juga harus nyata.

Syekh menyebut pendapat beberapa sahabat besar  Rasulullah dan kalangan ulama tentang membaca kita kelahiran Nabi. Mereka lanta berdiriu saat kelahiran Rasulullah dibacakan dalam bentuk syair Bahasa Arab yang indah. Mahdi terlena dan tiba-tiba seolah ditarik untuk mengikuti. “Ya Rasulallah, ya Rasullallah.” Suara serempak terdengar membahana hingga jauh di tengah gulita.

Makan disajikan. Panggang daging kambing menyengat di balur merica dan samin. Mahdi makan lahap melebihi yang lain. Seharian ia tak makan. Dirabanya, masih ada dinar di saku bajunya yang dijahit khusus.

Malam itu, ia merebahkan badannya di bagian luar masjid. Angin musim panas selalu menghiburnya, seolah sahabat. Ada beberapa orang yang tidur. Mereka saling berkenalan dan banyak yang dari desa lain. Mahdi yang termuda dan dari desa yang cukup jauh. Shiraz masih dua mil lagi.

BACA JUGA

Kiamat Tiba

Tiba-tiba kesejukan angina malam itu berubah menjadi panas membara. Kiamat tiba. Mahdi bingung, seperti yang lain. Ia tak tahu ke mana hendak pergi. Tapi, jemaah masjid itu mengarah pada satu titik, diikutinya. Orang-orang berteriak ‘Ya Rasulallah’. Artinya, semua orang meminta bantuan Rasulullah untuk atasi bencana kiamat itu.

Kemudian orang-orang itu memasuki surga. Mahdi juga ikut. Ia melihat orang-orang yang mendapatkan jatah istana di surga. Maka pada giliran Mahmi terakhir, ia bergairah hendak masuk, namun seorang malaikat yang menjaga istana mencegahnya.

“Engkau belum boleh masuk karena engkau belum pernah menyelenggarakan maulid nabi.”

Mahdi kaget. Ia terbangun sambil teriak malam itu. “Ya Rasulallah.”

“Ada apa?” tanya jemaah yang lain.

Mahdi menangis. Siang itu juga ia belanjakan uang satu dinar untuk merayakan maulid nabi di masjid itu. Satu dinar sebanding dengan tujuh gram emas yang cukup untuk menyelenggarakan acara maulid secara sederhana,  mengundang jemaah dan lingkungan masjid itu, khususnya Syekh Ahmad Najih.

“Dahulu di zaman Abbasiyah ada seorang laki-laki yang  setiap masuk bulan Rabiul Awal ia kenakan baju indah dalam rangka menghormati kelahiran Rasulullah. Tiba-tiba ia mati dan muncul suara kepada warga di desanya agar memuliakan jenazahnya karenan ia diangkat sebagai wali Allah berkat penghormatannya kepada kelahiran Rasulullah,” kata Syekh Najih.

“Orang tidak akan menjadi miskin dengan menyelenggarakan maulid nabi,” katanya. “Peringatan maulid ini agak istimewa karena diselenggarakan sendiri oleh saudara kita Mahdi.”

Mahdi juga memberi sekedar sambutan. Maulid Nabi ini dipicu dari mimpi tantang kiamat. “Saya berharap dengan menyelenggarakan maulid ini ibunda di alam barzakh bisa mendapatkan syafaat Rasulullah.”

Malam itu ia kembali bermimpi. Ia melihat ibundanya yang tengah bahagia dengan baju indah. Wewangian surga merebak. Ibunya tampak muda dan cantik. Mahdi menciumi tangan ibunya bekali-kali menampakkan rindu yang meruyak dadanya.

“Bagaimana ibu bisa seperti ini?’

“Berkat kamu anakku. Aku yang mewariskan kepadamu satu dinar lalu engkau manfaatkan untuk melaksanakan maulid Nabi maka kemudian datang malaikat memberi aku pakaian indah berkat engkau memuliakan nabi Muhammad dengan menyelenggarakan maulidnya. Teri kasih anakku.”

Bangun dan Mahdi berniat untuk selalu menyelenggarakan maulid setiap tahunnya. Karena menurut ulama, ketika kisah kelahiran itu dibaca maka turun para malaikat memenuhi rumah itu. Betapa indahnya rumah yang dimasuki malaikat.

 

Dikutip bebas dari Targhibul Musytaqin libayani Mandzumati Zainil Abidin oleh Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani, terbitan Syirkah Piramida, Surabaya, tanpa tahun, halaman 4. Dilengkapi pula dari I’anatuth Thalibin karya Sayid Bakri Satha jilid 3 halaman 365.

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.