Fitnah Akhir Zaman Semakin Merajalela

0

KH. Miftachul Akhyar (Rais Aam PBNU)

Di zaman yang semakin tua dan penuh pancaroba ini, kemampuan sebagian orang untuk membedakan perkara haq dan batil semakin berkurang. Sebab, perkara-perkara haq dan batil sudah bercampur sedemikian rupa, hingga sulit dibedakan.

Dalam kondisi demikian, tidak ada jalan lain bagi kita semua, kecuali tidak henti-hentinya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita, serta menjaga diri dan keluarga kita dari fitnah akhir zaman yang semakin merajalela.

Dengan adanya media sosial di tengah-tengah kita, maka tema tentang amal jariyah yang seringkali dibahas di berbagai majelis ilmu seyogianya juga diimbangi dengan pemahaman tentang adanya dosa jariyah. Jika selama ini masyarakat kita diajarkan mengenai tiga jenis amal yang tidak terputus pahalanya meski seseorang telah meninggal dunia (amal jariyah), maka sudah waktunya masyarakat juga diingatkan tentang adanya potensi dosa jariyah yang mungkin saja mereka lakukan tanpa sadar akibat pengaruh negatif penggunaan media sosial.

Dalam perkembangan kekinian, kita sama-sama menyaksikan bahwa pelaku penyebaran fitnah dan kabar bohong alias hoax yang sebagian juga disebarkan melalui saluran media sosial – ternyata bukan hanya berasal dari kalangan awam yang tidak berpendidikan. Tapi juga mereka yang berpendidikan tinggi serta memiliki kedudukan dan terhormat secara sosial. Tidak jarang, masyarakat awam menjadikan informasi dari orang-orang yang dihormati sebagai rujukan, meskipun kadang kebenarannya masih sangat perlu dipertanyakan.

Dalam sebuah riwayat, Sahabat Abdullah bin Mas’ud pernah memberikan peringatan tentang merebaknya fitnah dalam kehidupan masyarakat:

كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ، يَرْبُو فِيهَا الصَّغِيرُ، وَيَهْرَمُ الْكَبِيرُ، وَتُتَخَّذُ سُنَّةٌ مُبْتَدَعَةٌ يَجْرِي عَلَيْهَا النَّاسُ، فَإِذَا غُيِّرَ مِنْهَا شَيْءٌ، قِيلَ: قَدْ غُيِّرَتِ السُّنَّةُ، قِيلَ: مَتَى ذَلِكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ: إِذَا كَثُرَ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّ فُقَهَاؤُكُمْ، وَكَثُرَ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّ أُمَنَاؤُكُمْ، وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ ، وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّينِ.

Bagaimana keadaan dan sikap kalian (di zaman) ketika fitnah sudah melekat erat seperti pakaian? Manakala anak kecil (di zaman fitnah tersebut) berlagak seperti orang besar (ulama) dan orang tua pikun sebelum waktunya. Lalu orang-orang menganggap fitnah sebagai sunnah. Maka ketika ada orang yang (meluruskan dan) mengubah fitnah itu, maka dikatakan, “Sunnah telah diubah.” Para sahabat pun bertanya kepada Ibnu Mas’ud, “Kapan itu terjadi wahai Abu Abdurrahman (Ibnu Mas’ud)?” Beliau pun menjawab, “Ketika orang yang hafal Al-Quran semakin banyak, tapi ahli fikih semakin langka. Ketika  orang yang memegang urusan umat semakin banyak, tetapi yang dapat dipercaya semakin sedikit. Dan, ketika orang mencari dunia dengan amal akhirat, serta agama dipelajari tidak sesuai dengan tujuannya.”

Fenomena Kondisi Zaman

Baca Juga :  PENYEGARAN NU DI ABAD BARU

Inilah kondisi zaman kita saat ini. Saat fitnah dianggap sunnah, dan manakala ada orang yang mengingatkan agar masyarakat menjauhi fitnah tersebut, justru orang itu dianggap telah keluar dari sunnah. Belakangan ini, tidak jarang kita saksikan seseorang yang menginginkan kelurusan perjalanan umat, justru dituduh berbuat bid’ah. Dan, kita lihat hal itu semakin merebak dan nyata terjadi di sekitar kita.

Fenomena banyaknya anak-anak muda yang berlagak lebih alim dari para ulama sepuh, bisa jadi hanyalah puncak gunung es yang patut menjadi perhatian dan keprihatinan kita bersama. Demikian juga banyaknya “orang tua” yang seharusnya menjadi panutan masyarakat, justru cenderung lupa diri dan bertingkah seperti anak muda yang tidak tahu malu.

Dalam sebuah kesempatan, Rasûlullâh shallallâhu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda:

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ. (رواه ابن ماجه)

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya. (Saat itu) pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan. Pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah (justru) dikhianati. Di masa itu, para Ruwaibidhoh berbicara. Ditanyakan, ‘Siapakah Ruwaibidhoh itu?’ Beliau bersabda, ‘Orang bodoh yang berbicara dalam urusan publik’.” (HR. Ibnu Majah)

Di tengah tsunami informasi belakangan ini, banyak kita saksikan yang muncul di sana-sini, orang-orang yang sebenarnya tidak mengerti sama sekali mengenai urusan umat. Mereka juga tidak mengerti makna kehidupan, termasuk makna kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka umumnya asal bicara alias asal bunyi, tapi seakan-akan merekalah yang paling benar, sebagaimana disinggung dalam hadits di atas.

Baca Juga :  Menguatkan Karakter Utama, Menyongsong Abad Kedua

Berdasarkan data yang dicatat oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi, produksi hoax belakangan ini telah mencapai ratusan jumlahnya setiap bulan. Bahkan, disebutkan ada sekitar 900 ribu situs internet yang menyebarkan informasi hoax dari berbagai bidang. Dengan kata lain, produksi hoax telah menjadi industri tersendiri di tengah masyarakat kita. Hal ini tentu patut menjadi perhatian dan keprihatinan kita semua. Sebab, kebohongan yang diulang-ulang seribu kali bisa jadi akan berubah menjadi (baca: dianggap sebagai) kebenaran.

Fenomena Media Sosial

Media sosial telah mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat kita. Betapa media sosial, misalnya, telah mendorong sebagian kita -secara sadar atau tidak sadar– menjadi terbiasa membuka dan mengobral aib orang lain. Padahal agama telah mengajarkan kepada kita untuk menutupi kejelekan dan aib sesama. Orang pun secara tidak sadar terdorong mencari aib dan kejelekan orang lain.

Dalam kehidupan keagamaan, tidak sedikit fitnah dan informasi hoax yang telah meracuni kehidupan masyarakat. Yang lebih memprihatinkan, tatkala ada pihak-pihak yang berusaha mengingatkan dan meluruskan, sebagian masyarakat justru berbalik menyalahkan pihak tersebut. “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tapi mereka tidak menyadari.” (QS Al-Baqarah, 11-12).

Di tengah kondisi demikian, maka kejernihan pikiran dan kebeningan hati dalam mencerna setiap informasi yang masuk sangat dibutuhkan oleh setiap individu. Semua informasi yang masuk harus kita klarifikasi dan tabayun-kan. Lebih dari itu, setiap pribadi harus lebih berhati-hati ketika akan menyebarkan informasi kepada pihak lain, agar tidak terjerumus ke dalam penyebaran dosa jariyah dalam wujud informasi hoax.

Baca Juga :  NU tidak Bisa Mencalonkan Presiden, NU bukan Parpol

Sebagai panutan, tokoh masyarakat dan para dai juga perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan materi dakwah agar tidak bercampur dengan informasi hoax, apalagi informasi atau materi yang mengarah kepada perpecahan di tengah masyarakat. Jangan sampai tokoh masyarakat berperilaku seperti orang-orang kafir yang disebutkan dalam Al-Quran, yang sok berkata akan memikul dosa orang-orang beriman yang mau beralih mengikut jalan mereka. Padahal, “mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan dosa-dosa yang lain bersama dosa mereka, dan pada hari Kiamat mereka pasti akan ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan” (QS Al-Ankabût 12-13).

Sebagai penutup, untuk mengingatkan diri kita agar senantiasa menghindari dosa jariyah akibat menyebarkan informasi hoax, marilah kita sadari dan ingat betapa beratnya dosa yang akan ditanggung seseorang yang menyebarkan berita berisi kebohongan. Apalagi jika kebohongan itu turut menyesatkan kehidupan orang lain. Allah Subhânahû wa ta’âlâ berfirman:

لِيَحْمِلُوْٓا اَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِ ۙوَمِنْ اَوْزَارِ الَّذِيْنَ يُضِلُّوْنَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَزِرُوْنَ

(Ucapan mereka) menyebabkan mereka pada hari Kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya (dosa) yang mereka pikul itu.” (QS An-Nahl 25)

Semoga Allah Subhânahû wa ta’âlâ menjaga kita dan keluarga kita dari fitnah akhir zaman dan pengaruh buruk pemanfaatan media sosial yang menyebabkan kita terjerumus ke dalam dosa jariyah. Amin.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.