Gus Yahya dan Peradaban Tunggal

0

H. Ishaq Zubaedi Raqib (Jurnalis Senior NU/Ketua LTN — Lembaga Infokom dan Publikasi PBNU)

Menulis Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, tidak sulit. Memahami visinya tentang Nahdlatul Ulama (NU), tidak susah. Tidak rumit menjelaskan hasratnya soal bangun peradaban masa depan. Tidak sukar menerima caranya memaknai nilai Islam Aswaja An Nahdliyah. Sangat mudah memahami gagasan dia dalam menjaga NKRI. Dan, tidak sulit menerimanya sebagai sosok gigih penganjur hidup harmonis.

Kenapa ? Sebab, dengan cara dia berekspresi saja, kita sudah dibantu memahami cara hidup di dunia yang kian menyempit ini. Dunia nir sekat. Dunia yang lepas dari terminologi ruang dan waktu. Dunia di mana nilai luhur kemanusiaan mengalami “cross content” dalam semua keyakinan. Dunia di mana agama saling sapa dan saling isi dalam praktek dan amaliyah. Agama yang menjelma faktor kebahagiaan bersama. Agama yang mengglobal.

Visi Gus Yahya

Beginilah visi Gus Yahya…
Ia melihat gerak dunia mengarah pada satu wujud kampung raksasa. Tak ada lagi satu orang atau satu kelompok bisa mengasingkan diri dari yang lain. Setiap orang harus bersinggungan dan tinggal bersama di atas bumi yang kecil. Tidak lagi mungkin suatu peradaban tumbuh terpisah dari peradaban lain. Kini masyarakat dunia bergerak massif, tanpa bisa dibendung, mengarah pada terwujudnya satu peradaban tunggal.

Peradaban yang saling bercampur satu sama lain. Dalam keadaan seperti ini, maka isu tentang perbedaan jadi semakin krusial. Dulu orang bisa dengan mudah memelihara identitas sendiri walaupun berbeda dari yang lain, tanpa saling mengganggu. Mereka memang menciptakan ruang yang memungkinkan setiap kelompok hidup dan tumbuh terpisah dari yang lain. Itu dulu. Dulu sekali !

Dulu di Inggris tidak terbayangkan ada etnis “asing” jadi wali kota apalagi perdana menteri. Tiba-tiba, dalam dua dasawarsa terakhir, London memiliki wali kota dari etnis Pakistan dan Inggris punya perdana menteri keturunan India. Bagaimana mungkin semua terjadi ? Karena dunia saat ini cenderung mengarah pada satu kampung besar. Satu peradaban tunggal yang saling bercampur. Dan, isu perbedaan pun menjelma sesuatu yang krusial.

Orang yang dulu bisa nyaman memelihara cirinya sendiri tanpa terganggu dan memisahkan diri dari yang lain, sekarang tidak lagi. Orang yang dulu biasanya saling berpisah, kini harus bertemu. Dipaksa harus terlibat dalam urusan peradaban bersama ; dalam keadaan saling berbeda. Peradaban yang “dihidupi” bersama ini, butuh unsur-unsur yang dapat memelihara harmoni di tengah perbedaan azali.

Satu abad kemarin…
Jika satu kelompok aspirasi sosial politik tertentu bertemu kelompok lain, yang terjadi adalah konflik. Dalam kasus tertentu, berujung konfrontasi dan perang. Ketika globalisasi mulai berkembang, terbentuklah aliansi antara satu kelompok kepentingan dengan kelompok lain. Lahir persekutuan militer besar yang meniscayakan benturan di antara konsolidasi kekuatan militer internasional. Pecah Perang Dunia II.

Baca Juga :  Meningkatkan Peran Diplomasi Pertahanan Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Konflik di Semenanjung Korea

Itu terjadi satu abad kemarin…

Pasca PD II, ada kesadaran di kalangan masyarakat internasional untuk menginisiasi satu tatanan baru. Tatanan yang bisa memaksa semua orang meski berbeda, untuk mengembangkan hasrat hidup berdampingan secara damai. Meski akhirnya lahir Piagam PBB pada tahun 1945, tapi sejarah mencatat ; bahwa konsesus internasional itu tidak serta merta membuat dunia jadi aman damai tanpa konflik.

Sampai hari ini, konflik di antara aspirasi politik dan ekonomi yang berbeda-beda masih muncul. Ada sejumlah kawasan yang masih bergolak karena konflik antarkepentingan. Menjadi tanggung jawab semua, untuk memikirkan bagaimana masyarakat manusia di masa depan, agar sungguh-sungguh mampu dapat mengembangkan kehidupan yang harmonis di antara perbedaan-perbedaan yang ada.

Jika tidak, maka konflik antarperbedaan itu akan berujung pada kehancuran umat manusia. Jika konflik itu dibiarkan dan potensi konflik diperbolehkan berkembang menjadi konflik-konflik yang aktual, maka tidak akan ada masa depan bagi dunia selain kehancuran bersama. Tak akan ada pemenang, yang ada adalah kekalahan untuk semua. Kekalahan yang akan bermuara para kehancuran semua.

Visi Gus Dur

Dalam konteks ini, Gus Yahya ingat pesan gurunya, Gus Dur. Presiden RI ke-4 itu mengingatkan ; “tidak ada cara lebih baik untuk membantu Islam selain dengan menolong kemanusiaan seluruhnya”. Jika setiap muslim hanya “terobsesi” memenangkan agamanya, lalu mengabaikan apalagi menganggap yang lain sebagai rintangan, maka Islam tidak akan benar-benar mencapai kemaslahatan ‘ammah.

Dalam konteks kawasan, Indonesia sebagai pemegang presidensi ASEAN, telah mengumumkan proposal agenda besar ; Asean sebagai pusat pertumbuhan/epicentrum of growth. Memang pendekatannya agak “economic heavy”. Namun dari sisi lain, Gus Yahya lewat Nahdlatul Ulama (NU), mengajak para agamawan kawasan untuk berpikir tentang skenario-skenario, mungkin bukan yang terbaik, tapi yang dapat menemukan akar konflik-konflik laten di kawasan.

Dan di antara potensi yang bisa menjadi hambatan bagi agenda membangun “epicentrum of growth” itu adalah potensi konflik. Sebab, di samping menjadi satu kawasan dengan potensi ekonomi besar, Asean juga merupakan kawasan dengan heterogenitas luar biasa. ASEAN diisi oleh masyarakat yang sangat beragam. Jumlah muslim bisa yang terbesar di Indonesia tapi jadi minoritas di negara Asean tertentu. Begitu juga dengan penganut agama lain.

Baca Juga :  Legenda Pers Kaum Santri, Menguatkan Media Digital

Demikian pula di kawasan Indo Pasific. Jumlah muslim yang terbesar di Indonesia, justeru minoritas di India. Padahal skala minoritas di India, bisa menjadi angka amat besar di negara dan kawasan lain. Kalau di Indonesia terdapat sekitar 250 juta populasi muslim, maka di India sekitar 200 juta. Diprediksi, tahun 2050, populasi Muslim di India akan lebih banyak daripada di Indonesia dan jadi minoritas di tengah penduduk India yang melampaui angka 1,5 miliar.

Sementara dalam konteks Indo Pasific–kawasan Samudera Hindia dan sekitar Samudera Pasifik (mulai India sampai dengan Filiphina sampai dengan Australia), populasi penganut Buddha, lebih dominan. Diperkirakan terdapat sekitar 43 persen penduduk Pasifik beragama Buddha. Lebih banyak dari populasi muslim, satu angka di bawahnya : 42 persen. “Ini data yang saya sendiri belum lama dapat. Selebihnya ini yang lain-lain. Kristen dan lain-lain,” ujar Gus Yahya.

Diingatkan Gus Yahya, ketika berpikir tentang agenda ekonomi dan strategi untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi, dalam realitasnya akan terdapat variabel lain yang campur aduk. Termasuk variabel-variabel berupa perbedaan budaya dan agama. Maka ketika berpikir tentang strategi untuk membangun epicentrum pertumbuhan, pengaruh luasannya akan berimbas ke seluruh kawasan Indo-Pasifik.

Terutama variabel heterogenitas masyarakat ASEAN dan Indo-Pasifik yang berpotensi mendorong terjadinya konflik-konflik sehingga bisa menghambat agenda epicentrum of growth. Dari kawasan ini NU mencoba menawarkan satu sumbangan yang mungkin berguna bagi pergulatan ASEAN dalam membangun epicentrum of growth, dengan memperhatikan dan berpikir tentang variabel di luar variabel ekonomi.

Visi Asoka

Dalam balutan heteroginitasnya, masyarakat kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik memiliki warisan dan peradaban yang beririsan. Mereka mengadopsi satu karakter, satu warna budaya yang sama. Ini semua bermula dari abad ke-3 SM. Alkisah, di India, bertahta seorang raja besar bernama Asoka. Setelah separuh masa kekuasaan dihabiskan dalam perang dan pembantaian yang luar biasa, Asoka berbalik menjadi raja yang mempromosikan toleransi dan harmoni.

Hebatnya, kampanye untuk toleransi dan harmoni itu, dilakukan Asoka dalam skala yang luar biasa luas dengan pengerahan kapasitas besar-besaran sehingga mencapai ke ujung-ujung Indo-Pasifik. Salah satunya tercatat hingga Nusantara. Dan salah satunya melahirkan kerajaan besar, yakni Sriwijaya di Palembang. Palembang menjadi salah satu basis dan aktor peradaban yang sangat kuat dari kampanye toleransi dan harmoni produk Raja Asoka.

Ketika memperingati Harlah NU ke-99, Gus Yahya sengaja memilih Palembang. Salah satu alasannya ; Palembang pewaris dari Sriwijaya. Sriwijaya ini adalah bagian peradaban paling kuat dalam sejarah Nusantara dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi dan harmoni. Sriwijaya berhasil mempersatukan sebagian besar Nuantara dan ini merupakan inisiatif berskala peradaban yang dilakukan di kawasan negara kepulauan ini.

Baca Juga :  Implementasi “Rahmatan Lil ‘Alamîn” dalam Maulid Nabi

Kejayaan itu bertahan selama 7 abad ; dari abad ke-7 sampai abad ke-14. Dan, mewariskan nilai-nilai budaya dan peradaban secara sangat dalam di tengah masyarakat. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, adalah nilai-nilai adiluhung yang diadopsi Majapahit dari warisan Sriwijaya. Majapahit adalah kerajaan besar di Nusantara yang mengalami kontroversi perbedaan agama, khususnya di lingkungan kekuasaan.

Sejarah mencatat, di lingkaran terdalam keluarga keraton, di samping memeluk agama Buddha, sebagian yang lain memeluk agama Hindu. Perbedaan anutan keyakinan itu dapat diselesaikan, begitu Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma, dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”, tidak ada kebenaran yang terbelah, dan jika sudah “benar” maka ia pasti satu. Jika masih terbelah, berarti belum satu.

“Kita bisa melihat display tampilan dari satu peradaban besar yang pasti akan berguna, apabila kita kapitalisasi sebagai satu strategi untuk membangun kawasan ASEAN Indo-Pasifik ini. Karena dalam catatan sejarah masyarakat di kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik, dulu pernah mengalami satu kesatuan peradaban yang dibangun di atas basis nilai-nilai toleransi dan harmoni dulunya,” ajak Gus Yahya.

Visi Asean

Untuk memetakan potensi yang bisa mendorong lahirnya harmoni di kawasan Asean, maka perlu dilakukan identifikasi nilai-nilai yang dipegang bersama. Walaupun, misalnya yang satu muslim, satu Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, tapi di antara yang berbeda ini ada nilai-nilai yang disetuju semua kelomlok. Misalnya terkait nilai-nilai tentang kasih sayang, keadilan dan nilai tentang ikatan keluarga.

Selanjutnya, mengidentifikasi nilai- nilai yang harus dikembangkan agar jadi pendorong untuk tidak lagi berkonflik satu sama lain. Jika dianggap urgen, maka perlu rekontekstualisasi nilai-nilai tersebut dengan mengadaptasi, serta membuat penyesuaian terhadap nilai-nilai yang lama yang sekian lama mendorong konflik. Ini hal-hal yang merupakan ilustrasi dari kemauan dan kemungkinan.

Ini bisa dilakukan, untuk membuat penyesuaian dalam tataran nilai-nilai, agar semua umat manusia bisa hidup berdampingan secara damai. Membangun konsolidasi untuk harmoni di tengah perbedaan, sudah dilakukan. Selanjutnya, melakukan kapitalisasi untuk mencapai dan membangun strategi yang lebih kuat ke depan. Nilai-nilai ini adalah alat mengonsolidasikan satu basis konstituensi masyarakat di ASEAN dan Indo-Pasifik. (*)

(detik.com)

Leave A Reply

Your email address will not be published.