Membaca Dinamika Israel – Palestina

0

Oleh: Zahid Lukman (Pengurus Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra` Wal Huffazh Nahdlatul Ulama)

Konflik Israil-Palestina yang masih berlangsung saat ini adalah salah satu isu politik internasional paling panas di dunia. Dalam berbagai kajian, agama Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Palestina sering dipandang sebagai akar konflik. Ada dua perspektif di tengah internal umat Islam yang mengaitkan agama dengan konflik Israil-Palestina. Perspektif pertama meyakini bahwa konflik di Palestina adalah konflik antar-agama, yaitu Islam versus Yahudi.

Perspektif kedua memandang bahwa konflik di kawasan itu bukan pertempuran antar-agama, melainkan pertempuran antar dua entitas: penjajah dan terjajah. Namun, perspektif kedua ini tetap menggunakan agama sebagai landasan untuk membela bangsa Palestina karena prinsip melawan kezaliman memang ada dalam ajaran Islam.

Kajian tafsir kali ini akan mengemukakan sebuah teks dari sejumlah teks-teks Al-Quran yang berbicara tentang Israel. Ayat-ayat al-Quran menggambarkan orang-orang Yahudi sebagai kelompok dengan berbagai sifat buruk. Namun al-Quran juga menggambarkan citra positif kaum Yahudi. Diantara ayat yang menggambarkan citra buruk orang-orang Yahudi adalah QS. Al-Baqarah ayat 44.

 

  1. Al-Baqarah [2] : 44

 

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ (٤٤)

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? (QS. Al-Baqarah: 44)

 

Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsir Al-Munir menyebut salah satu sababun nuzul Surat Al-Baqarah ayat 44. Ia mengutip As-Saddi, Bani Israil di Madinah menganjurkan orang lain untuk menaati, bertakwa, dan berbakti kepada Allah. Sedangkan perbuatan mereka sendiri menyalahi ucapan. Oleh karena itu, Allah mencela perbuatan buruk mereka.

Hal senada juga disebut dalam Tafsir Ibn Katsir, pada mulanya kaum Bani Israil memerintahkan orang lain taat kepada Allah, takwa kepadanya, dan mengerjakan kebajikan, kemudian mereka bersikap berbeda dengan apa yang mereka katakan itu, maka Allah mengecam sikap mereka. Allah Swt. mencela mereka atas perbuat­an itu dan memperingatkan mereka akan kesalahannya yang me­nyangkut hak diri mereka sendiri, karena mereka memerintahkan ke­pada kebaikan, sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakannya.

Baca Juga :  Tahun Baru, Momentum Perbaharui Catatan Kebaikan

Keterangan dalam Al-Quran dan Tafsirnya, menyebutkan bahwa dalam ayat ini juga ditujukan kepada pendeta-pendeta Yahudi. Allah mencela tingkah laku dan perbuatan mereka yang tidak baik. Pendeta-pendeta mereka yang bertugas untuk menyuruh dan melarang, hanya mau menyebutkan yang hak yang terdapat dalam ajaran kitab suci mereka (Taurat), apabila sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka dan mereka tidak mengerjakan hukum-hukum yang terdapat dalam kitab itu apabila berlawanan dengan hawa nafsu mereka. Pendeta-pendeta  Yahudi yang berada di Kota Madinah secara rahasia menasihatkan kepada orang lain untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw, akan tetapi mereka sendiri tak mau beriman kepadanya. Mereka menyuruh orang lain untuk taat kepada Allah dan melarang mereka dari perbuatan maksiat tetapi mereka sendiri melakukan perbuatan-perbuatan maksiat itu.

Sifat Bani Israil yang demikian menggambarkan mereka memiliki citra sebagai orang-orang yang tidak memiliki integritas (tidak sesuai antara kata-kata dan perbuatan). Mereka menyuruh orang lain supaya berbuat kebaikan, tapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang mereka ucapkan itu.

Pembahasan di atas adalah Bani Israil sebagai anak keturunan Israil (sebagai bangsa). Lalu bagaimana dengan Negara Israil hari ini?

Merujuk dari pelitian Setyawan (2009) menyatakan, dalam sejarah bangsa Yahudi kerap mengalami penindasan di negara tempat bangsa Yahudi berdiam sehingga menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah yang dianggap sebagai tanah leluhurnya yaitu Palestina. Nasionalisme bangsa Yahudi diwujudkan melalui gerakan Zionisme.

Selama kurun 1920-1948, gerakan Zionisme dibantu oleh pemerintah Inggris dalam pembentukan negara Israel dengan memberi kemudahan orang-orang Yahudi dari berbagai dunia untuk pindah ke Palestina, menguasai ekonomi Palestina, melakukan tekanan kepada gerakan-gerakan rakyat Arab Palestina yang menentang Zionisme bahkan dengan kekerasan fisik. Selain itu pemerintah Inggris lebih memberi dukungan kepada kaum Yahudi setiap terjadi konferensi antara Arab dan Yahudi tentang Palestina. Sekutu Inggris adalah Amerika Serikat, maka wajar jika kedua negara ini konsisten mendukung negara Israel. Kedua negara ini gemar mengkampanyekan perdamaian dunia, tetapi di sisi lain menghambat perdamaian. Dalam kasus Israel – Palestina ini contohnya.

Baca Juga :  Pelajaran dari Perang Uhud

Sikap kedua negara tersebut sama dengan sifat Yahudi, tidak punya integritas. Antara menganjurkan dan melanggar dilakukan dalam waktu bersamaan.

Kembali ke tema, bahwa sebagai kitab suci yang juga memuat catatan sejarah, al-Quran banyak bercerita tentang Bani Israil. Bahkan, kisah tentang Bani Israil mendominasi bagian dari al-Quran yang memuat catatan sejarah. Di dalam al-Quran, Bani Israil disebut sebagai kaum terpilih karena banyak sekali nabi dan tokoh sejarah penting lainnya berasal dari kaum ini. Akan tetapi, kaum Yahudi dan Bani Israil juga digambarkan sebagai kelompok yang banyak melakukan perbuatan buruk, termasuk di antaranya adalah tidak memiliki integritas, sebagaimana disebutkan di atas. Sifat buruk lainnya misalnya pembangkangan, pengkhianatan, penyelewengan ajaran, bersikap rasis, serta pembunuhan terhadap para nabi yang diutus oleh Allah kepada mereka.

Dua model citra –baik dan buruk– inilah yang menjadi landasan dua perspektif utama di kalangan internal umat Islam dalam menyikapi konflik Israel-Palestina, pertama yang menyatakan bahwa konflik ini adalah konflik agama Islam versus Yahudi, dan kedua yang menyatakan bahwa bukan agama yang menjadi akar konflik. Perspektif pertama dipengaruhi oleh ayat-ayat al-Quran yang menggambarkan orang-orang Yahudi sebagai umat yang bersifat amat buruk. Sebaliknya, perspektif kedua menggunakan ayat-ayat yang menggambarkan citra positif kaum Yahudi sebagai dasar pemikiran.

Namun sebenarnya, kedua model citra ini tidaklah kontradiktif. Pujian al-Quran terhadap Bani Israil di satu sisi, dan kecaman atas sifat buruk mereka di sisi lain, menunjukkan bahwa secara teologis, kaum Muslimin tidak diperintahkan untuk membenci Yahudi (Israel) dengan alasan ras atau agama mereka, melainkan karena sifat-sifat mereka. Jika bangsa Israel meninggalkan sifat-sifat buruk tersebut, atau menghentikan penjajahan terhadap bangsa Palestina, tentu kaum Muslimin juga seharusnya meninggalkan kebencian tersebut.

Baca Juga :  Semangat Literasi Kaum Santri

Kisah Bani Israel bisa dijadikan pelajaran untuk manusia di masa kini. Sebab sikap, pola pikir, dan perilaku (kondisi psikologis) manusia tidak akan berubah. Jika kita terjebak pada ciri fisik, maka akan sangat mudah bagi kita untuk merasa bahwa para pelaku kejahatan dalam al-Quran adalah orang lain belaka. Namun jika kita menelaah kondisi psikologis mereka, baik motivasi maupun pola pikirnya, kita akan terkejut bahwa mungkin sekali perangai buruk yang berulang kali disindir dalam al-Quran adalah perilaku diri kita sendiri.

Saat kita membaca dan menghayati al-Quran dengan sungguh-sungguh, dapat direnungi bahwa sebenarnya ciri-ciri Bani Israil sangat relevan dengan masa kini dan bahkan mungkin jika kita menyadari, ternyata yang kita baca pada tiap halamannya adalah diri pribadi.

Semoga dinamika Israil – Palestina segera berakhir baik, dan kita semua tergolong pribadi berintegritas. *

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.