Selawat dalam Kuda Turki

0

Istana Damaskus di musim gugur tahun 67 H atau 686 M bisa disebut mengasyikkan. Khalifah Abdul Malik bin Marwan tengah asyik bercengkerama dengan keluarganya, Bani Marwan dan Bani Umayyah di taman utara. Tampak bunga-bunga mulai bermekaran. Udara sejuk menyenangkan membuat mereka tak lagi mengenakan mantel buku. Anak-anak riang berlarian. Seorang anak jatuh dan segera dibopong para palayan asal Turki yang sigap.

Khalifah kelima Bani Umayyah yang kahir tahun 26 H di Madinah atau 646 M itu baru memangku jabatan khalifah mengantikkan sang ayah Marwan bin Hakam pada tahun 65 H atau 684. Sebelumnya, Abdul Malik dikenal sebagai ahli fikih kota Madinah. Menurut Al-A’masy ada empat ahli fikih Madinah yang hidup di masa Tabi’in itu. “ Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Qubashah bin Duwaib dan Abdul Malik bin Marwan.” Ia menjadi khalifah selama 21 tahun delapan bulan hingga wafatnya dalam usia 60 tahun, tahun 86H atau 705.

Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kejayaan. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari perpecahan, sehingga pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, Daulah Bani Umayyah mencapai puncak kejayaannya.

Kuda Turki

Di luar istana, adalah Awfaq anak muda putera sulung Zayyad saudagar kaya Damaskus. Ia kala itu tengah mencoba kuda terbaiknya, kuda langka yang belum pernah dimiliki warga Damaskus. Khalifah sendiri tak memiliki kuda sehebat kuda yang berwarna merah keperakan itu.

Kuda ini dibeli Zayyad dari seorang saudagar kaya asal Dailam yang sudah menawarkan kuda itu ke mana-mana dengan harga yang tergolong tinggi. Hanya khalifah saja yang belum ia pernah tawarkan. Zayyad tertarik karena kuda itu bukan sembarang kuda, memiliki naluri perang dengan kesetiaan tinggi.

Kuda ini lebih tinggi dari kuda Arab lainnya, tingginya 173 cm. Warna yang paling sering ditemui adalah cokelat, hitam dan abu-abu. Biasanya, bagian kaki bawah kuda yang juga kini disebut kuda Thoroughbred itu berwarna putih, seperti sedang memakai kaus kaki. Harga 2000 Dinar diangap wajar untuk kuda hebat ini.

Awfaq ingin beradu kencang dengan kuda Arab milik Lubab, teman sebayanya yang juga anak saudagar tembikar Damaskus. “Engkau lari duluan, aku akan menyusul setelah beberapa menit,” kata Awfaq sedikit menyombongkan diri.

Lubab setuju. Apalagi Awfaq menyerahkan lima dinar untuk Lubab sebagai hadiah. Mereka mencoba mengadu pacu kudanya di gurun barat Damaskus.

Lubab sudah tak tampak di mata karena melaju kencang, tertutup pasir yang berterbangan membubung. Awfaq kemudian menyusulnya. Benar hanya lima menit Lubab sudah tersusul. Padahal kuda Arab itu terkenal hebat dan kencang larinya.

“Aku menyerah, kudamu memang hebat,” kata Lubab sambil acungkan jempol.

Awfaq menepuk pundak kudanya dan kuda itu menyeringai dalam dengusnya. Kakinya dihentakkan layaknya pemenang.

Lubab menantang, “Bagaimana jika kita pacu masuk kota” kata Lubab.

“Boleh. Siapa takut,” jawab Awfaq.

Kembali Lubab mendahului Awfaq beberapa menit. Keduanya kantas perbacu masuk kota melintasi gerbang kota. Beberapa orang berhamburan menghindar. Beberapa orang mengumpat dengan sumpah serapah  dan doa buruk. Seorang wanita hingga terbuka kerudungnya. Ada laki-laki yang terbang surbannya. Ia memaki dan mengumpat serapah kepada dua remaja kaya itu.

Ketika hendak mendekati istana, kebetulan keluarga Khalifah tengah berhamburan ke luar istana sambil berlarian. Kuda Awfaq yang melintas kencang tak bisa dikendalikan. Kuda itu melawan dikekang hingga menginjak dan menerjang seorang anak keluarga khalifah yang masih berusia enam tahun. Seketika itu juga meninggal mengenaskan.

BACA JUGA

Istana heboh. Khalifah Abdul Malik geram. Ia perintahkan aparatnya untuk mengejar dan menangkap pelaku. Semula Lubab yang ditangkap tapi segera dilepas karena bukan dia pelakunya. Awfaq ditangkap tak lama di dekat rumahnya. Ibunya menghiba untuk dilepaskan dan akan memberi uang diyat, denda nyawa. Aparat itu bergeming dan memborgol Awfaq yang menangis meronta ketakutan.

Tiba-tiba dalam perjalanan ia teringat Rasulullah. “Ya Allah bebaskan aku dan aku akan memperingati kelahiran Nabi keseyanganmu dengan semeriah mungkin. Aku berjanji ya Allah,” katanya dalam hati sambil mempercepat langkah mengikuti derap kuda apparat istana.

Ketika tiba di balairung istana, Awfaq yang ketakutan, mulai tegar. Hakim dan jaksa sudah duduk di tempat pengadilan mendadak itu. Tapi, khalifah yang bergelar amirul mukminin itu mendadak sontak berubah dari amarah yang memuncak menjadi lembut lunak. Bahkan ia tersenyum menemui Afwaq laki-laki tampan keturunan Kufah itu. Khalifah menanyakan nama dan nama orang tuanya.

“Apakah engkau telah menyihirku sehingga aku berubah sikap memandangmu anak muda,” kata Khalifah yang masih berusia 40 tahun itu.

“Tidak baginda.”

“Lalu, apa yang engkau lakukan sehingga aku melunak melihatmu.”

“Bagaimana mungkin itu tetrjadi baginda?’

“Aku melihatmu seolah melihat anakku sendiri. Katakana apa yang engkau lakukan, adakah doa untuk bisa mengubah amarahku?”

“Tidak juga baginda.”

“Tapi,” kata khalifah.

“Benar. Kami berjanji kepada Allah. Jika kami bebas maka kami akan menyelenggarakan kelahiran Nabi Muhammad dengan meriah dan megah, mengundang sebanyak mungkin orang di rumah kami.”

“Hanya itukah?”

“Benar baginda.”

“Jika demikian, engkau aku bebaskan tanpa perlu membayar diyat.  Anak laki-laki kami yang meninggal telah menjadi syahid. Dan aku beri engkau 1.000 dinar untuk ikut serta bersedekah memperingati kelahiran Rasulullah, orang yang paling kita cintai bersama. Berkat beliau alam semesta ini diciptakan Allah subhanahu wata’ala.”

Zayyad langsung sujud bersyukur melihat anaknya dibebaskan dari hukuman mati. Ibu Awfaq, Halimah juga bersujud gembira sambil menangis. “Terima kasih Allah. Betapa mulianya Rasulullah, betapa mulianya Amirul Mukmnin, betapa mulia dan agungnya agama kita,” teriaknya berkali-kali.

Dikutip dari I’anatut Thalibin karya Sayid Abu Bakar Bakri bin Muhammad Syatha jilid 3 halaman 365 terbitan Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut, 1995. (H. Musthafa Helmy – Wartawan senior NU)

Leave A Reply

Your email address will not be published.